Descendant Of The DeathMaster
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksPortalLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Navigation
 Portal
 Indeks
 Anggota
 Profil
 FAQ
 Pencarian
Latest topics
» Descendant Of The Death Master
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:35 am by DeathMaster

» Shirotabi Come here ^o^v
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Aug 03, 2013 3:52 am by DeathMaster

» DeepBlue Kingdom
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Aug 01, 2013 7:05 am by Shirotabi

» Newsletter
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyMon Jul 22, 2013 11:01 pm by DeathMaster

» Lily - I don't even know a milimeter of Romeo and Cinderella
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyMon Apr 09, 2012 2:11 pm by DeathMaster

» Rules...? Sedikit aja kok!
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyMon Apr 09, 2012 12:45 pm by DeathMaster

» Perkenalan
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyWed Dec 08, 2010 8:28 pm by DeathMaster

» Siapa Male Chara Favoritmu?
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySun Nov 28, 2010 7:30 am by DeathMaster

» Forum Rules: Read This First!
Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Nov 27, 2010 11:42 pm by DeathMaster

Top posters
DeathMaster
Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_lcapDescendant Of The Death Master - Page 9 Voting_barDescendant Of The Death Master - Page 9 Vote_rcap 
Shirotabi
Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_lcapDescendant Of The Death Master - Page 9 Voting_barDescendant Of The Death Master - Page 9 Vote_rcap 
May 2024
MonTueWedThuFriSatSun
  12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
CalendarCalendar
Social bookmarking
Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of Descendant Of The DeathMaster on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of Descendant Of The DeathMaster on your social bookmarking website
Pencarian
 
 

Display results as :
 
Rechercher Advanced Search
Poll
Siapa Male Chara Favoritmu?
Ari
Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Tasuku
Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_lcap50%Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_rcap
 50% [ 1 ]
Ryo
Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_lcap50%Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_rcap
 50% [ 1 ]
Stats The Origin
Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Others
Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 9 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Total Suara : 2

 

 Descendant Of The Death Master

Go down 
Pilih halaman : Previous  1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10  Next
PengirimMessage
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:19 am

Tasuku.

________________________
___________________




“Kukira kau sudah menyerah,”

Tekk, tanganku jadi kaku sendiri, Stast tidur tenang diatas ranjang sementara selang selang yang kutancapkan kedalam tubuhnya pelan pelan menyedot cairan keperakan itu keluar.

“Aku sudah bilang kan, aku hanya bertaruh,” bisikku kalem, menghitung formula campuran yang sesuai perkiraanku.
Mendapatkan warna warna merah terang bercampur silver itu pelan pelan berubah menjadi lebih jernih,

Kelihatannya aku sudah berhasil mendapatkan apa yang kuinginkan.

“Bertaruhlah… kalau aku menang, berarti aku juga kalah…” Ia membisikkan kalimat sulit yang kupahami dengan mudah.

“Tidak ada yang akan berubah, jika ada,” Aku membereskan tabung percobaanku, “Aku akan menggantinya dengan yang lebih baik…”
Tanpa melihatpun, aku tahu Stast sedang tersenyum saat ini.

“Kau bisa bergerak?” Tanyaku, mencabuti selang selang itu dari tubuhnya, aku merangkulnya, mendudukkan dan memberikannya banyak bantal sebagai penyangga punggung itu, setelah mengambil begitu banyak darah darinya, ia lemah kini, bahkan mungkin tembakan beberapa peluru saja bisa membunuhnya, bisa kulihat betapa ringkihnya ia sekarang, terlepas dari wajah inosen tanpa dosa, lautan ilmu pengetahuan yang akan selamanya muda.

“Tak pernah lebih baik dari ini,” Stast terkekeh, “Tak pernah… diperlakukan sebaik ini sebelumnya,”

Aku terdiam, menatapnya kasihan,
Ferina… dan yang lain, mereka hanya memperlakukannya tidak semestinya, mereka setengah memanfaatkannya, setengah takut padanya.
Dalam dunia Undead, tidak ada kawan yang benar-benar kawan,
Aku mengira ngira apa selama ini Stast sangat kesepian?
Ia berbeda dengan yang lain.
Seperti apa yang kukatakan sebelumnya.
Ia mencintai kami, keturunannya, begitu dalam penuh kasih seperti darah dagingnya sendiri.
Ia selalu membantuku, tidak pernah bertanya ataupun mengeluh, memberikanku nasehat apapun jika aku butuh…
Bagaimana aku harus berterima kasih?

“Jika saja aku punya ayah,” Gumamku, “Aku pasti akan merawatnya sama seperti ini ketika ia sedang sakit,” Kakakku tidak pernah sakit, atau bisa jadi pernah tapi tidak mau mengakui bahwa ia sedang sakit.
Orang bilang aku mirip ayahku, baik sifat maupun penampilan, dan kakak kuat berambut hitam sama seperti ibu kami yang dulunya seorang mantan petugas kepolisian,
Berapa umur ayah kami jika saja ia masih hidup sekarang?
Belum setua Stast… tapi andai saja ia masih ada, tidak ada kesempatan bagiku untuk membahagiakannya, syukurlah ia tidak melihat anaknya menjadi makhluk seperti ini…

Stast meremas bahuku, aku tersadar dari lamunan,

“Aku tidak pernah punya anak, My Lord… jadi aku tidak tahu,” Ia menyambung lagi, “Tapi jika saja aku punya anak, pasti akan seperti ini rasanya.”

Aku tersenyum, mengangguk, “Istirahatlah sebentar,”

“Ini tidak akan sebentar, aku mungkin akan tidur selama dua tiga hari kedepan sebelum mulai berburu,” Stast menyeringai, “Temui dia, My Lord, kau dengar, aku akan memenangkannya, aku percaya diri sekarang.”



Ingin tertawa, aku mengiyakan sembari menarik selimut tebal menutupi Stast.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:20 am

Daina.



____________________________
________________________



Perlahan, aku bangkit dari tempat tidurku,
Lelah menangis, rasanya sejak datang kemari aku jadi sering sekali meneteskan air mata, entah karena kesepian, bertengkar dengan Tasuku, ditakut takuti vampir lain, atau karena rindu, mencemaskan kak Ari dan teman temanku yang lain.
Bayanganku dicermin samar samar terlihat kacau, mataku bengkak, rambut awut-awutan, aku meraih sisir sikat disampingku, mulai menyisiri rambut.

Tasuku, Ia berubah?
Aku tidak tahu ia berubah karena apa,
Mungkin saja ia memang jadi lebih lembut, penyabar, dan memperlakukanku lebih baik dari yang dulu, sedikit banyak, aku melihat kemiripan dengan pribadinya sebelum berubah menjadi Undead.
Tapi ditempat pertama, ia tetap saja menjalankan rencananya…
Pada akhirnya, hanya aku sendiri yang merasakan sakit.
Mengapa?
Mengapa perasaanku sama sekali tidak bisa menjangkau hatinya? Mengapa tidak tersampaikan?

Tanganku bergetar tidak bisa membendung kesedihan, bayangan cermin sekarang yang kulihat bukanlah refleksiku sendiri, melainkan pemandangan mengerikan Tasuku dan Kak Ari sama sama terbunuh dalam pertemuan mereka selanjutnya…

“Tidak…!” Aku melempar semua yang ada didepanku kearah cermin, membuat kaca didepanku retak, kemudian pecah berkeping keping.
Aku menutupi kedua telingaku dengan tangan, menolak menerima kenyataan.
Tidak boleh… Ini tidak boleh terjadi…
Apa yang harus kulakukan… apa yang harus…?
Pandanganku tertumbuk pada pecahan kaca dikakiku, hati meradang seperti menemukan jalan keluar,
Kegilaanku bangkit lagi.
Kak Ari sudah sering sekali mengatakan bahwa aku gila.
Ya, aku gila, jika menyangkut Tasuku aku ini bisa jadi sangat gila.

Tasuku membawaku kemari setelah aku jatuh dari tebing, ia jadi lebih baik lagi saat aku jatuh sakit, dan jauh lebih baik lagi setiap kali aku sekarat.

Cukup kan?
Cukup dengan aku menyakiti diriku sendiri kan?
Ia akan menuruti segala keinginanku… ya kan? Betapa dungunya, aku bisa saja mati, tapi…
Tak apa, aku mulai mengerti, bagaimana aku harus membuat diriku sendiri sekarat agar ia melihat kearahku.
Bagus sekali, Cinta yang sangat indah, Daina…


Konyol.


Meskipun akal sehatku melarang, nyatanya tanpa keraguan aku tetap memungut pecahan terbesar yang bisa kuraih.
Memegangnya dengan mantap kemudian mengarahkannya kepergelangan tanganku sendiri.
Kosong, hatiku benar benar kosong, Ujung tajam tersebut sudah menggores kulitku, aku merasakan nyeri tapi tidak mau berhenti, darah mengalir…

“Apa yang kau lakukan, lepaskan itu!”

Tasuku datang, cepat sekali, merampas benda dalam genggamanku, melemparkan sembarangan, ia tampak ragu untuk mendekatiku.

Aku terhuyung, masih bisa berdiri.

“Kenapa? Tidak ingin membunuhku?” Aku menantang, aku sudah tahu ia takkan mendekat, bau darah ini membuatnya mabuk kepayang, dilain pihak, aku senang menyakitinya, aku merasa menyakitinya dengan cara seperti ini. “Aku sudah tidak berguna lagi, kan? Aku hanya membantumu mempermudahnya sekalian…”

Tasuku berdecak kesal, “Kau…” Diluar dugaanku, ia berpaling, mengobrak-abrik laci meja rias lalu menarik keluar sehelai sapu tangan besar.
Mendatangi tergesa gesa, membalut lukaku, semua dilakukannya tanpa ragu seakan ia manusia biasa sama sepertiku.

“Aku tidak pernah mengerti pikiran perempuan,” Keluhnya, “Kemarin kau menjatuhkan diri dari tebing, sekarang kau menyayat pergelangan tanganmu sendiri,”

“Aku tidak melakukannya karena ingin mati.” Jawabku, “Aku melakukannya karena hanya itu satu satunya cara untukku agar kau mendengarkan…”

“Kekanakan, Kau bisa saja mati saat mencoba.”

“Aku tidak peduli,”

Tasuku menatapku, aneh.

“Kau mau apa? Bertengkar sekarang?” Suaranya kedengaran sedang mengalah,

“Habis dari mana saja? Membunuhi orang orang lagi?”

“Kalau benar begitu maumu apa?”

“Masih bertanya?!” Emosiku lagi lagi tersulut, ini jadi seperti pertengkaran sepasang kekasih biasa, atau ia yang sengaja membuatnya seperti itu.
Kekanakan? Ialah yang memperlakukanku seperti anak anak…
Ia sama jahatnya, sama liciknya dengan Undead Undead itu.
Meski ia tidak pernah tega mengancamku dengan kematian.

Tidak, bukan kematian yang membuatku takut,
Tapi adanya kemungkinan bahwa aku akan kehilangannya lagi membutakan mata batinku.

“Aku sanggup menerima penghakiman macam apapun juga, asalkan jangan begini…!” aku menyeka air mataku, “Kau memanfaatkan aku, aku tidak suka itu, aku ingin kau kembali, apapun akan kulakukan…!” Tanpa sadar aku berteriak. “Tapi kau… Masih saja, melakukan hal hal mengerikan seperti itu! Bunuh saja semua! Bunuh sampai tidak bersisa sama sekali!”

Tasuku entah sejak kapan berada disampingku, ia berjongkok menyibak helaian rambut yang menempel dipipiku.
Ekspresi itu lagi, ekspresi mati yang tidak kukenal…
Aku akan membawanya, aku akan membawanya kembali meskipun aku harus menyeretnya secara paksa…

“Aku hanya melindungi diriku sendiri, dan kau,” Katanya membujukku,
Nice, Aku dibawa bawa lagi, apa dia pikir aku senang? “Dibunuh, atau membunuh, hanya itu yang kupunya sekarang.”

“Kau, akan mati…” Aku bergetar hebat, mencengkeram baju bagian dadanya, “Kumohon… Berhentilah sekarang, Kau dan kakak… kalian akan mati, aku tahu, tidak akan ada akhir atau pemenang diantara kalian, ini tidak ada gunanya… berhenti, berhenti…!”

Tasuku masih tetap diam, kelihatannya ia juga sama sekali tidak punya ide apa yang ingin ia katakan,

“Kita masih punya kesempatan,” Aku memohon, “Kita bisa lari, kemana saja, dunia ini luas, kita bisa, aku akan selalu bersamamu,”

“Kehidupan ini adalah milikku,” Ia memelukku, lembut sekali, “Aku hanya melakukan apa yang sudah seharusnya kulakukan, aku harus menyelesaikan apa yang kumulai,”

“Kakak akan membantu!” Seruku putus asa, “Ia tidak pernah… menginginkanmu mati, ia sama sepertiku, mencintaimu, kau punya aku, kau punya keluarga, jangan lakukan ini, jangan padaku, kumohon, aku mohon padamu...”

“Aku tidak bisa…” Lirihnya, “Aku sudah mati, aku adalah Undead…”
mendengar kata kata itu emosi tidak dapat kukendalikan lagi.
Tidak, tidak, Tuhan!

“Kalau Tasuku tidak ada,aku juga tidak punya lagi alasan untuk hidup!”

Gegabah, aku berlari menuju balkon,
Mengerikan! tidak punya perasaan!
Dia adalah Undead…? Dia suamiku, yang kutahu, Dia suamiku!

“Kau tidak akan melakukannya,aku mengenalmu”
Nada dalam suara Tasuku tidak berubah satu oktaf pun,
juga ketika aku naik keatas beranda dan melakukan gerakan seperti hendak terjun.
Tasuku salah! Aku akan melakukannya,
lebih baik mati daripada kembali hidup tanpa Tasuku! Aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa kucintai selain dia!
Hanya Tasuku yang kucintai, hanya ia yang membuatku tergila-gila hingga seperti ini, aku tidak sanggup melihat kenyataan setelah ini…
Jika Tuhan tidak bisa mengembalikan dia, maka Tuhanpun tidak termaafkan.

“Baiklah, selamat tinggal!” aku berhenti melihat wajahnya saat aku menjatuhkan tubuhku, merasakan angin dan suara deburan ombak dibawahku,
pergelangan tanganku ditahan oleh sesuatu yang dingin,
begitu kusadari aku telah menjuntai begitu saja di beranda dengan kedua kaki terombang ambing tanpa arah,

Tasuku menahan satu lenganku hingga aku menggantung seperti cucian yang belum kering,aku tidak berani melihat kebawah,
jika melihat,aku pasti akan pingsan.

Aku ditarik dengan begitu mudahnya,
rambut panjangku berkibaran tertiup angin, lantas ia menggenggam kedua bahuku,

Berbeda dengan sorot tenang dan lembut barusan.
matanya sangat marah, kelihatan sekali aku telah menghabiskan seluruh kesabarannya.
Warna matanya berubah-ubah mulai dari warna kuning gading,hitam kelam,hingga merah menyala, lalu kuning gading lagi,
dan dalam penglihatanku mata itu bagaikan batu permata citron topaz yang memiliki keindahan tiada banding didunia ini.
.
“Sebegitu inginnya kah kau mati, bodoh?!” ia membentak, “Siapa yang tidak punya perasaan sekarang?!” semakin ia marah,ia terlihat semakin menakutkan,
gigi taringnya terlihat jelas dari celah bibir pucatnya, bukan malah menakutkan, justru membuat suamiku semakin menawan.
aku memang bergetar,tapi suaranya lebih bergetar lagi,ia tidak menungguku bicara, begitu marah seakan ingin mematahkanku jadi sebelas bagian.

“Bukankah kau yang mengatakan kau itu Undead?! Kau Undead dan aku manusia, bukannya aku mati ditanganmu atau aku mati karena lain sebab itu sama saja bagimu?!”

Kenapa kau menolongku? Kenapa, Tasuku?
Aku tidak percaya perasaan diantara kami hanya sebegini saja.
Awalnya ia hanya menatapku,

Kemudian ia tertawa lantang,

“Aku sedari tadi bertanya, Jadi itu yang kau inginkan?” ia memandangku dengan sorot lapar,aku ingin lari dari hadapannya,tapi kakiku bertahan di tempat,menunggu maut datang.
“Baik,aku akan mengabulkan keinginanmu,” jawabnya pendek,
Pada saat ia memamerkan tangannya padaku, aku menyaksikan kuku kuku nya memanjang tidak beraturan,runcing,
tidak perlu kujelaskan pada diriku sendiri, bahwa aku sedang melihat mutasi.

“Aku akan mengakhiri nyawamu, seperti keinginanmu, disini tidak ada kak Ari atau siapapun yang akan menghalangi kematianmu, bersyukurlah”
kami berdua berdiri berhadapan,
ia mengelus leherku dengan kuku nya yang setajam silet itu,
sementara aku, diam tak bergeming, antara takut dan tegang, karena benda tajam itu bisa merobek tubuhku kapan saja.
Angin yang bertiup menerpa kami malah menyibak rambutku kearah belakang, membuat bagian leherku terlihat sepenuhnya.

Semenit berlalu,dan masih belum terjadi apa-apa.
aku terus menunggu, menatapnya yang masih memandangiku, khas makhluk mati, ia tidak berkedip sama sekali,
lima menit berlalu, keyakinanku akan ancaman berlalu sudah,
kurasakan hal lain melalui elusan lembut yang kini mengitari bagian belakang leherku, terus melalui tengkukku dan semakin jauh.

Rasanya seperti menjadi benda seni bernilai tinggi yang dipuja penikmatnya...

“Kenapa…?” aku bertanya,dan Tasuku tersentak, “Aku tanya, kenapa? Bukankah kau bilang akan membunuhku? Lakukan!”

Tasuku tidak bisa menjawabnya,sudah kuduga…
Mataku kembali berkilat penuh harapan,

“Benar,kan apa yang kubilang?” aku memeluknya, sengaja merengkuh kepalanya ke samping,agar bibirnya menempel tepat pada leherku,
aku ingin tahu…,aku ingin tahu….
sangat ingin tahu hingga aku mau menempuh hal berbahaya seperti ini!

“Kau mencintaiku, kau punya aku… Kembalilah…”
Aku tahu,saat ini ia tengah menghirup aroma menggiurkan darahku, sangat dekat, bahkan aku tak perlu meragukan, urat leherku berdenyut sangat terasa disana, membunyikan suara lembut darahku terpompa dengan sangat cepat karena jantungku yang berdebar sekarang.
aku yakin ia mendengarnya dengan sangat jelas.

Tidak sabar, aku tahu aku gila, kusibakkan lengan bajuku, menarik sapu tangan yang semula dililitkan Tasuku dibagian pergelangan tangaku, aku meringis menahan nyeri, darah segar mengalir dari luka kecil yang kubuat, Tasuku nampak shock menyaksikan kenekatanku.
Perih dari luka kecil ini tidak ada apa apanya, tidak ada apa apanya…
Dibandingkan perih pada saat aku harus berpisah darinya yang kucintai…

“Tunggu apa lagi?” Desakku, “Ayo! Bunuh aku!”

Untuk sesaat Tasuku melihat wajahku, masih terlihat marah, Ia mundur, seperti ketakutan akan sesuatu, ia seperti pecandu yang bersikeras tidak mau menyentuh heroin didepan matanya,

Aku sakit.

Ia menghindariku seakan aku adalah sampah…

“Kenapa…” Aku menangis, putus asa, “Kenapa Tasuku memperlakukanku seperti ini…”

Tasuku membuang mukanya, “Jangan mendekat!” Bentaknya.

Sakit.
Sakit sekali, Tuhan…

Aku mencecarnya, merentangkan lenganku yang meneteskan darah kearahnya, sengaja.
Jika aku masih tidak bisa bersamanya, lebih baik, lebih baik aku mati ditangannya.
Itu tidak akan terlalu buruk karena setidaknya aku tidak perlu merasakan sakit seperti ini lagi.

“Tasuku!” Aku menekannya, mendekatinya dan memegang kedua lengannya, menyentak dengan kuat hingga mau tak mau matanya beradu pandang denganku.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:21 am

Tasuku.

________________________
_____________________



Mata itu lagi.

Wangi darahnya menyeruak disekelilingku, Indera penciumanku meraba kemana mana,
Rasa rindu menyala nyala seperti api.
Tapi bukan itu yang paling menterrorku saat ini.

Mata itu.

Mata yang telah merasakan penderitaan begitu hebat… karena aku.



+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:21 am

Daina.

__________________________
______________________



“Kau tidak mengerti…” Desisnya, Detik yang sama mata kami bertatapan.
Tasuku membalikkan keadaan, ia menekan tubuhku dengan kuat di ujung beranda, merunduk dan bibir dinginnya kembali menyentuh leherku, Ia mendesis seperti ular,
beberapa lama ia diam saja tanpa melakukan apa-apa,
kukira aku akan merasakan rasa sakit luar biasa saat gigi taring itu menyayat dagingku,
tapi-alih alih gigitan-yang kudapatkan adalah ciuman.
Bibir yang dingin.
Sama seperti hatinya, bukan?

Tubuhku diangkat dan didudukkan diatas balkon,
aku terkesiap kaget, meski demikian, Tasuku menahanku hingga tidak bisa bergerak lagi,
gerakanku terkunci, aku melemah,membiarkan ciuman itu jauh menyelinap menjadi tak terkendali, lidahnya menyapu leherku semakin liar, menjelajahi dan mencari-cari apa yang dapat menyenangkan hatiku.

Aku tidak mengerti.
Sesaat tadi, perasaan dingin dan sakit itu, sekarang tergantikan oleh hangat yang lain.


Lalu tiba tiba saja, semuanya terjadi begitu tiba tiba.
Panasnya seperti membakar.
Perasaan seperti ingin mati.


Saat Tasuku benar benar membenamkan gigi taringnya dikulit leherku.


Air mataku meleleh…
Jadi ini pilihannya…?

Sungguh, ia benar benar dingin…


Berikutnya,ketika ia menciumi daguku, menjilati darah yang menetes dari luka dileherku yang dibuatnya, terus kearah dada, aku menunduk lemah untuk melihat wajahnya,

Tasuku menatapku, kembali, ekspresinya tidak terbaca.
“Inikah yang kau inginkan?” Ia bertanya, walau tahu aku takkan bisa menjawab lagi.
Ia mencium bibirku, lembut.
Biasanya ia selalu menghindari ciuman karena aku bisa saja terinfeksi dengan cara itu.
Tapi sekarang sudah telanjur kan?
Mulutnya beraroma khas darah dan besi,tapi nafasnya luar biasa harum, keharuman mawar dan jasmine,
Apa seperti ini caranya menghabisi mangsanya?
Penuh kelembutan,
Anehnya, Aku tidak peduli, tidak peduli bahwa setelah ini aku akan berakhir menjadi makanannya.
Kusambut ciuman maut itu dengan penuh cinta,
Sakitpun tak apa, karena deminya aku selalu siap menahan sakit.
Entah kenapa,aku baru sadar setelah beberapa menit,bahwa gaun yang kukenakan telah habis terkoyak, tanpa menyisakan sehelai benangpun, pertanda ia sudah tidak dapat menahan dirinya untuk tidak bertindak lebih jauh lagi,
kami berdua semakin kalap, kami tahu bahwa kami tidak bisa mundur lagi, tidak sanggup mundur lagi.

Tapi aku telah dihempaskan dengan keras sekali hingga terjatuh tepat diatas tempat pembaringanku,
Darah menyembur dari mulutku, berapa tulang yang patah?
Aku menggeliat, masih bisa bergerak... berarti aku belum mati...

Ia cepat, merayap mengerikan keatasku, suaranya berdesis,
Sisa kain yang melekat ditubuhku terkoyak rapuh hanya dengan sekali sentakan tangannya, aku masih belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi ketika Tasuku berputar dan memelukku dari belakang,
ce,cepat sekali dia…padahal barusan ia ada didepanku…
lalu Tasuku menarik sisa gaun dibagian bawah, membuat bagian pahaku terekspos sempurna, ia mengoyak kain itu menjadi carikan-carikan kecil, lalu menindih tubuhku, bibirnya masih bergantian menempel dileher dan dadaku, dingin.

“Ta…Tasuku…” ucapku lemah,kuremas perlahan helaian rambut pirang Tasuku,berupaya menahan sakit sekaligus rasa rindu yang meletup-letup ingin keluar,

Kenapa?
Ia menyakitiku dan aku memaafkannya?

Aku memohon padanya, ia bahkan tidak bisa mengabulkan keinginanku...
Kenapa aku semudah ini memberikan maaf?
Ia menjamah seluruh tubuhku dengan begitu lembut, rasanya aku akan meleleh karena panas,
Tasuku…Tasuku selalu mampu membuatku terbuai sedemikian rupa hingga aku melupakan dunia ini,

Sementara bibirnya sibuk bersarang diperut,
Jarinya meraba keatas menuju tenggorokanku, berhenti dibagian dimana uratku masih berdenyut lembut menyuarakan jantungku yang telah berdetak dengan sangat kerasnya,
Memastikan,
Terus mencari cari, lembut menyusuri daguku dan berhenti tepat diatas bibirku,

mata kami sejajar, nyaris saja suara keluhan ringan terdengar dariku, ia membungkamnya dan memasukkan ibu jarinya ke dalam mulutku, meraba lidahku, liar tetapi sangat perlahan.

“Mmmpphh…”desahku tertahan,secara instingtif menghisap. Tasuku terlihat gelisah menatapku,matanya sayu dan redup,ia menggerakkan ibu jarinya didalam mulutku, resah.
Kucecap jari-jari itu dengan penuh kasih, kurasakan wajahku memanas, dan mungkin saja telah dipenuhi rona merah, tapi aku memberanikan diri.
Kulihat ia memejamkan mata, menikmati sensasi pada indera perasanya.
Tuhan…,aku mencintainya…,kami saling mencintai…

Kraakk!
Bagian bagian mengeluarkan bunyi aneh, suara suara retak apa itu?
Lalu rasa sakit teramat sangat menyergapku begitu saja.
Ini racunnya kan?
Racun Undead.
Aku… akan mati, benar benar akan mati,
Ditengah rasa sakit itu, perih, perih, aku merasakan tangannya bermain dibagian bagian sensitifku tanpa ampun.

Aku ingin berteriak, sakit!
Sakitnya tidak terperikan, tapi jarinya masih berada dalam mulutku.
Memaksaku menahan apapun itu yang saat ini menggerogoti didalam tubuhku.

Penglihatanku berkurang, terkadang jelas, terkadang kebutaan melanda, memberikan tanda bahwa aku akan segera kehilangan hidupku.
Gelap disekitarku ketika kurasakan sesuatu menerobos tempat dimana pusat kesucian wanitaku berada, dingin...

Itu Tasuku, tentu saja aku sangat mengenali perasaan ini.
Bahagia?
Ya, gilanya.

Lalu rasa sakit teramat sangat dibagian leherku.
Suara menghirup dengan rakus.
Aku ingin berteriak memanggil namanya, tidak bisa....

Sakit! Sakit! Sakit!
Aku mengeluh tidak tahan, rasanya semakin sakit sehingga nikmat yang sedang ia berikan disaat bersamaan lenyap sama sekali,
Tidak, ini sakit sekali, rasanya seperti… sesuatu seperti… bergerak gerak dalam darah dan dagingku… berusaha memakanku dari dalam…

Aku menderita, begitu menderita sampai sampai aku merasa ingin memohon agar ia langsung membunuhku saja…

Ia akan membunuhku, aku akan mati...

Kurasakan sesuatu yang sedari tadi membungkamku ditarik keluar,
Seperti diawasi, ia sedang menonton reaksiku disana.
Apakah aku akan menangis, apakah rasa sakit yang membunuhku ini membuatku manja atau berkata bahwa aku menyesal mencintainya...
Baiklah, apa maumu sekarang?

Nyeri itu semakin menjadi, seakan ada jutaan silet bergerak mengoyak ngoyakku dibawah lapisan kulitku.

Aku tidak akan berteriak, tidak akan berteriak!
Aku menatapnya, hanya air mata yang mengalir disudut mataku, deras sekali, menjadi bukti kesakitan yang sedang kurasakan.

Tasuku terdiam, aku tidak mendengar lagi suara darahku yang disedot paksa keluar dari dalam tubuhku, Mendadak aku menjadi tuli, nyaris tak bisa merasakan apa apa lagi selain rasa sakit amat hebat diseluruh tubuhku sehingga membuatku nyaris mati rasa.
Tidak ada apapun kecuali perih membakar ini.

Peluk aku...
Kumohon, peluk aku...
“Dingin, Tasuku…” Isakku, “Dingin sekali…”


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:31 am

Tasuku.

________________________
___________________



Haruskah?
Daina sudah sangat kesakitan...

Hanya ada dua opsi, bunuh, atau biarkan saja sampai ia berubah...  
Virus jenis baru ini... Tak akan sampai 30 menit...

“Dingin, Tasuku…” Daina menangis dalam pelukanku. “Dingin sekali…”


Masih ada opsi ketiga.
 

Tuhan…
Aku mendesah, menyaksikan Daina menggeliat sekarat dalam dekapanku.
Kata kata Stast mengusik batinku,
Sekali lagi, pertanyaannya membisikiku lebih kuat dari apa yang kubayangkan.

Apa kau mengerti…? Kau masih memiliki pilihan pilihan itu.
Penderitaanmu, atau penderitaannya.
Kenangan akan selalu indah, tidak peduli seberapapun usahamu untuk menghapusnya, akan selalu terkunci didalam hatimu.
Karena itulah ekspektasiku padamu teramat tinggi.
Kau sudah tahu, Jika kau berharap untuk melanjutkan ini.
Kau akan menjadi yang paling menderita, sebab kau pernah mencicipi dan tahu betul bagaimana rasanya dicintai sekaligus mencintai dengan teramat dalam…



++++


Terakhir diubah oleh DeathMaster tanggal Sat Oct 05, 2013 1:38 am, total 1 kali diubah
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:32 am

Daina.

_______________________
___________________



”Sejak awal aku tahu kau tidak akan pernah bisa menyakitimu lebih lagi.”

Cresh.

Suara apa itu?
Aku menggigit bibir menahan sakit,

Perasaan apa ini? Dingin…
Kebutaan sesaat itu lenyap.
Begitu pula rasa sakitnya, sedikit demi sedikit, berangsur angsur menghilang…
Apa aku mati? Aku sudah jadi Zombie?
Tapi aku masih mengingat dengan benar siapa diriku sekarang… kucoba membayangkan aku yang sedang memakan daging mentah, dan aku mual.
Aku… masih manusia kan?

“Kau benar…aku mencintaimu…” Ia berbisik.
Segalanya menjadi terang kembali.
Apa yang…?

Aku menoleh kebawah, melihat dengan jelas jarum suntik yang tertancap dipahaku.
Tu… Tunggu…
Aku tidak mengerti…

Tidak mungkin.
Mustahil.
Apa yang terjadi?
Aku seharusnya sudah...

“Manusia pertama,” Tasuku mencium pipiku, “Yang kebal terhadap Virus Undead…”


Vaksin itu.

'Berbahagialah...'

Aaaah, pandangan mataku mengabur lagi.

Bukan karena virusnya, semua kekhawatiran serta rasa sakit membakar lenyap sudah.

Saat kalimat terakhir selesai ia katakan, aku telah menangis dalam diam, aku selalu menangis ya, kali ini tangis bahagia.
suamiku yang baik hati menciumiku, terus membisikkan semua kata yang ingin kudengar darinya:

“Daina,apa kau tahu? Betapa aku selalu mendambakanmu selama ini? Betapa aku sangat tersiksa karena jauh darimu…”
“Daina…kau adalah dunia bagiku,aku selalu jadi gila karena mu, aku gila, karena aku berpikir aku sudah tidak bisa lagi memilikimu,”

"Segalanya telah berlalu, kau tidak dan tidak akan pernah jadi sepertiku, aku tidak akan merubahmu menjadi makhluk cacat, jelek, dan mengerikan seperti aku, kau terlahir sebagai Daina, dan akan selalu menjadi seperti itu apa adanya... aku akan melindungimu..."

Iya, iya,
Aku berbisik mengiyakan dalam hati.
Aku ingin membuatnya tenteram, lenganku yang barusan terasa kesemutan kini telah pulih, dan aku telah mampu menarik tangannya agar aku bisa balas mencumbunya, berusaha keras bicara padanya.
“Aku hanya milik Tasuku,hati maupun tubuhku,”

Tasuku tampak senang mendengarnya, tapi sedetik kemudian ia tampak muram,
Tasuku masih mengelus tengkukku,membuat bulu kudukku meremang karena geli.
Syarafku masih bagus, dan luka lukaku... aku tidak merasakan apa apa, tiba tiba saja luka luka itu sembuh secara ajaib, bahkan luka ditanganku.
Pikiranku bekerja sendiri, menganalisa prilaku serta apa apa yang kurasakan.
Seperti kebiasaanku saat masih membantu Tasuku sebagai asistennya.

Hanya saja, kali ini obyek yang kuanalisa adalah diriku sendiri.

“Bagaimana ini,” ia memijat dahinya sendiri,kebingungan dan wajahnya masih tersembunyi dibalik leherku,“aku tidak bisa berhenti…, dan kau kebal sekarang,” masih memelukku dari belakang, ia menarikku semakin rapat diatas pangkuannya.
“Artinya aku bisa melakukan apa saja yang aku mau,”

“Aku tidak peduli,” seru ku sambil melingkarkan tangan di lehernya,

Tasuku mendesah,lalu tersenyum hambar,mencumbuku lagi, untuk pertama kalinya,ia benar-benar terlihat seperti seorang suami setelah sekian lama kami berpisah,

“Bergeraklah” Aku memohon, Kasih sayang darinya adalah hakku sebagai istri, dan aku akan menuntutnya.

Tasuku tidak menjawab, banyak yang ia cemaskan, tapi ia memikirkan hal yang sama denganku,
lagipula, mungkin perasaannya sendiri juga sudah tak tertahankan,
aku menarik ia semakin dekat kepadaku,

“Malam ini,kau adalah pengantinku,” adalah kata kata terakhir yang diucapkannya dengan nada –anehnya- sedih.
Sebelum ia memasukiku lagi, aku memekik ketika ia mulai bergerak.
Mendekap punggungnya erat, setiap kali ia memasukiku lebih dalam aku berteriak, merasakan setiap tetes kebahagiaan yang diberikannya padaku saat ia menjelajah hingga kesudut sudut jiwaku,

Saat itu hari sudah semakin larut, kemesraan kami teredam oleh bunyi deburan ombak, laut seolah mengerti dan membantu menyembunyikan dosa ini dari kenyataan,
Kami tidak peduli, masa bodoh dengan kenyataan,

Aku tahu ini salah, kami menantang takdir,
Walaupun demikian, memisahkan kami, meski itu Tuhan sekalipun, Tetap tidak termaafkan, tidak akan pernah termaafkan...


Aku tidak mau memikirkan apa apa, dan terus mengharapkan, mengucap doa supaya saat ini akan berlangsung selamanya.
Sesuatu yang kutahu akan kami sesali, tetapi aku tidak takut.

Malam ini ia menyelamatkanku.
Besok, entah siapakah yang akan ia selamatkan.
Tangan itu tercipta untuk memberikan mimpi serta kebahagiaan, itulah Tasuku yang aku kenal.
Aku tidak kehilangan harapan lagi, tidak akan lagi.


Kami berdua, aku tidak sendirian lagi, aku bersamanya bukan?!
Kakak... temukanlah kami.
Temukanlah dia.

Aku sudah melakukan segalanya yang aku bisa, membawa separuh hatinya yang kita cintai kembali kepada kita.
Lengkapilah tugasku...



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:33 am

Stast.

_____________________
__________________




Dengan ini jelas sudah,
hubungan yang tidak wajar,hanya saja,alih-alih perasaan kesal,justru rasa senang yang kurasakan.

Aku turut senang melihatnya bahagia,ia yang nyaris tidak pernah terlihat sebahagia ini sebelum membawa gadis itu kemari.
Raja kami lebih hebat dari yang dibayangkan,
bisa kulihat melalui caranya mengendalikan diri yang tidak bergantung pada naluri,
tapi kali ini sudah kelewatan, ia tidak mampu mengendalikan diri akan cintanya kepada gadis itu,
ia kalah begitu mudah,


Aku menang ya?


Rasanya aku sulit sekali bergerak setelah kehabisan tenaga membantu sang Raja membuat Vaksin itu menggunakan darahku sendiri.

Apa yang ia tidak bisa? Ia bisa semuanya.

Menghidupkan orang mati.
Menyelamatkan orang lain dari kematian.
Membuat obat dari segala penyakit.

Menciptakan surga,


Tujuannya.
Dan itulah yang ingin kulihat sehingga aku memutuskan mengubah fokusku dan mengikutinya.

Rasa cinta,aku tahu tidak ada satu kekuatanpun yang lebih hebat daripada hal itu.
Aku bertanya tanya dimana keberadaan Ferina saat ini, cemas.
Aku tahu, ialah yang menyembunyikan para prajurit itu dengan baunya sendiri.
Mengaburkan penciumanku.
Bahkan lolos dari pengamatan DeathMaster sendiri...

Biarlah, apa yang bisa ia lakukan?
Ia hanya sedang kesal, kenakalan anak anak, kelak ia akan mengerti, aku harap ia mengerti...
aku masih bisa menutupi hal ini dari Sang raja sendiri.

Kurapatkan selimutku.

Ferina...

Kau tidak akan melakukan hal hal bodoh diluar perkiraan bukan?
Aku percaya padamu...


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:33 am

Luciferina.


_______________________
_____________________



Aku tertawa, seperti yang kuduga,
Raja baru itu dan Stast sama tidak bergunanya.
Bodoh sekali aku percaya pada mereka,

Memang, baik sang Raja maupun Stast sama sama masih pada tujuan semula, namun hati mereka masing masing sudah tercemar oleh kelembutan yang tidak perlu.
Aku menggeram, melemparkan mayat yang baru saja kusantap hingga hancur membentur tembok,

Memoriku menguar, mengingatkan pada kejadian beberapa hari lalu dihutan.

Aku tahu para prajurit itu takkan mempercayai kata kataku, jadi aku diam diam memberikan gas tidur untuk melumpuhkan mereka.
Membaurkan bau manusia mereka dengan bau Undead.
Menipu Stast, 50-50, membuat mereka berhasil melewati kawanan Undead yang diperintahkan Stast untuk berjaga dalam jarak yang telah ditentukan.
keberhasilanku hanya disebabkan oleh satu hal, yaitu faktor cuaca.

Stast... harusnya tahu, tapi entah mengapa ia diam saja.
Ia mengancamku beberapa kali.
Tapi Stast amat baik,
Aku tahu, ia takkan sampai hati memusnahkanku...
Orang sepertinya yang terlalu lena akan permainan bodoh 'Keluarga Undead Bahagia' tidak akan mengerti...

Aku juga tidak begitu yakin DeathMaster akan terbunuh semudah itu walaupun ia sedang lemah.
Yang paling menyebalkan adalah, gadis itu selamat!
Gadis pembawa petaka.

Aku mengurung diri berhari hari diruang bawah tanah kastil ini, mencari cara, lihat saja, aku akan menemukannya, jalan keluar yang lebih baik dari apa yang dimiliki DeathMaster dan Stast!

Aku berjalan, menarik jubahku yang tergantung didinding, mengenakannya, menutupi tubuh telanjangku.
Gelang kakiku bergemerincing sementara aku berjalan melewati sel sel tahanan berisi manusia sehat yang kami tangkapi, sebagian untuk stok makanan kami, sebagian lagi untuk bahan percobaan,
makhluk makhluk jelek itu membuatku jijik, mereka makan, tidur, buang air besar ditempat yang sama, untuk apa makhluk setara binatang seperti mereka diperlakukan hormat?
Stast maupun sang Raja benci caraku, tapi mereka bisa apa? Ruang bawah tanah ini wilayah pribadiku dan mereka harus menghormati privasi.
Aku suka disini.
Manusia manusia itu berusaha menggapaiku, memohon kebebasan mereka, sinar lampu berwarna kuning yang cukup terang itu membuatku bisa melihat dengan sangat jelas.

“Minggir,” Malas, cakar cakarku menyabet kearah depan,
Potongan tangan berhamburan disertai jerit kesakitan menyenangkan.
Jalan yang kulalui dihiasi dengan serpihan daging dan tetesan darah segar.
Aku menutup mata menghirup wanginya.
Tidak sekarang.

Aku berhenti didepan pintu sel paling ujung.
Lenganku merogoh kedalam saku jubah, mengambil segebung kunci dan memilih yang cocok.
Kubuka pintu sel dan segera menghambur masuk kedalamnya.

Seorang laki laki lusuh mengkeret tidak berdaya dilantai batu, kedua tangannya terikat dengan rantai menancap kuat pada tembok beton dan kakinya juga tersambung dengan rantai yang menggunakan bola besi,
Diujung kakinya setumpuk kotoran serta kencing manusia nampak berhamburan.
Jadi satu dengan buku buku nasi.
Kasihan, aku bergidik jijik, jika aku terlambat mengantarkan makanan dia pasti terpaksa memakannya bersama dengan kotorannya sendiri.
Lelaki itu membuka matanya susah payah, tetap gagal.
Kelihatan sekali usianya tidak panjang lagi, aku bahkan ragu ia masih waras.

Dialah Dr. Dominic.
Peneliti handal dengan kemampuan nyaris menyamai Dr.TsaraniaKova Gabriel yang sekarang telah menjadi DeathMaster.

Sang raja menyuruhku membunuhnya, tapi tentu saja tidak kulakukan,
Aku selalu berjaga jaga seandainya hal hal yang tidak kuinginkan terjadi.
Entah sejak kapan ia menjadi kesayanganku, aku selalu membawanya kemana mana.

Aku mengerutkan kening, berpikir.
Mungkin ia tidak sekuat DeathMaster jika ia dijadikan Undead.
Tapi akan berbeda hasilnya jika aku mengambil akalnya, mesin tempur sekuat DeathMaster, tanpa akal pikiran, hanya naluri mendominasi dan menghancurkan… hebat bukan?

Aku sudah meneliti selama ini.
Apa saja sebab yang membuat kami kelihatan tidak berkembang sama sekali.
DeathMaster tidak bisa melenyapkan rasa sayangnya pada perempuan yang ia cintai, serta pada kakaknya, orang orang yang ia sebut ‘Keluarga’.
Itulah yang menjegalnya selama ini, lihat saja bagaimana ia kabur kesana kemari menghindari orang orang yang ia cintai.
Sekalipun itu hanya seorang gadis lemah yang bisa ia bunuh dalam waktu kurang dari sedetik.

Dan Stast?
Dia sama tidak bergunanya.
Yang ia lakukan selama bertahun tahun ini hanyalah bergerak dengan amat lambat seperti siput.
Mencoba sedikit demi sedikit menanamkan cara berpikirnya kedalam otak semua orang,
Memberikan Terror yang bukannya memaksa berkuasa malah semakin membakar semangat para manusia untuk melawan.
Menyangka dunia akan lebih baik jika semua manusia punya musuh yang sama dan bisa bersatu untuk memeranginya.
Menyangka dirinya pahlawan dengan mengorbankan diri sebagai kambing hitam atas segala kerusakan.
Masih saja, tidak ada yang bisa menerima keberadaan kami.
Gagal…


Aku ingin pengakuan.
Aku ingin mereka semua tahu bahwa aku ada.
Dan demi tujuan itu, aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada mereka.
Aku tidak ingin punah.
Aku ingin hidup.

Suara serak dibelakangku menjawab panggilan yang kuberikan,
“Seret dia,” Perintahku, “Bawa keruanganku, segera.”
Zombie zombie berbadan besar itu maju dan melakukan perintahku, amat patuh.
Aku tersenyum bangga dan berpaling.
Kalau perhitunganku benar, maka proyek ini paling lambat akan selesai nanti siang,
Tidak akan ada yang menyadari pergerakanku.
Sang raja sedang berbahagia bersama pengantin manusianya.
Stast juga sedang melemah setelah setengah dari daya hidupnya diambil untuk membantu sang raja menciptakan Vaksin menggelikan, yang sudah dapat kuduga kelak hanya akan menjadi bumerang bagi kaum kami.



Sudahlah, Tak apa jika Stast dan rajanya tidak berguna.
Aku akan menciptakan rajaku sendiri.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptySat Oct 05, 2013 1:34 am

Ari.


__________________________
________________________




“Jadi begitulah, Aku dan Mikia sejak setengah bulan lalu memutuskan untuk tinggal bersama,” Ryo terus mengoceh padaku menceritakan perkembangan hubungannya dengan Mikia.

Lucu sekali mengingat bahwa ditempat ini, hanya Monroe yang terlihat bahagia sekali menanggapi celotehan membosankan dari Ryo.
Sementara Caesar sejak tadi terlihat seperti benar benar ingin melempar Ryo keluar dari pesawat.
Aku yakin sekali seandainya Mikia ada disini dia pasti ingin menendang kekasihnya itu sampai remuk,
Aku sendiri menanggapi sesekali dengan “Oh” atau “Ya,” sialnya sikap diamku malahan membuat Ryo semakin bernafsu menceritakan kisah asmaranya lebih detil lagi.

“Kita sampai, sepertinya itu dia tujuan kita,” Monroe memberitahu, aku bersyukur, karena informasi ini bisa membungkam aktifitas Ryo untuk sementara.

Suara gemuruh pesawat menuju wilayah perbukitan, Mansion besar terlihat dari atas sini, pesawat pesawat lain berisi prajurit Paladin terdengar ikut mendekat, bersiap melakukan pendaratan.
Itu tempat sangat megah ditengah lokasi yang dikelilingi hutan belantara seperti ini,
Aku bisa melihat laut tepat dibelakangnya,


Tasuku…

Meneguhkan hati, aku memerintahkan pada Monroe untuk mendarat didekat tempat yang penuh diisi aura kematian itu.


“Lakukan secara serentak,” Ujarku memberikan aba aba. “Paladin, Kita bergerak sekarang.”


++++


(End Of chapter 16)
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:10 am

BAB 17 :


Cresendo


____________________________________
_______________________________________



Ari.



Years ago....

_____________________________________
_________________________________________





“Jangan makan banyak banyak,” Gadis itu berkacak pinggang didepanku, Usianya mungkin sekiranya belasan tahun, rambutnya ikal bergelombang sehingga ujung ujungnya menggulung,
Wajahnya bulat, dan warna matanya cokelat gelap, Ia berkulit putih dan selalu terlihat dengan model pakaian kesukaannya, terusan berkerah Sabrina warna pink,
Kadang kadang ia juga membawa bawa bunga kemana mana,
Jika ia berjalan, gerakannnya seperti melompat lompat, menunjukkan betapa lincahnya ia, Ia aktif dan selera makannya besar.


Tapi ia tidak tahu bahwa ialah bunga sebenarnya.



Tingkah lakunya seperti anak anak, jika kau tidak salah mengenal kau akan mengira dia cacat mental.
Tapi dipedesaan gadis langka seperti ini adalah hal yang lumrah kau temui.
Walau mungkin tidak semuanya semenarik dia.


“Jangan mengeluh,” Ujarku, menusuk sepotong nanas dengan garpu, memasukkannya kedalam mulutku, merasakan asam dan manis lumer menjadi satu. “Aku pasti akan memberikannya padamu juga,”

Wajah bulat Daina pada awalnya kelihatan ngambek, tapi setelah mendengar kata kataku ia kelihatan senang sekali, terlihat dari matanya yang berbinar bahagia.

“Benar, kak?” katanya mendekat, Aku membetulkan posisi dudukku, berpura pura tidak melihat ia yang tanpa disuruh lagi langsung meraih gelas disampingku, menenggak isinya tanpa ragu.
Berikutnya sambil tersenyum aku hanya memperhatikannya ikut memakan kudapan siangku dengan wajah bahagia,
Aku menepuk kepalanya

“Kau ini putri pemilik penginapan, tapi kenapa rakus sekali,”

“Biar,” Katanya membela diri, jujur tanpa malu malu, “Aku jarang makan makanan enak, Orang tua juga hanya membuka kedai kecil, hmm…” Ia melanjutkan sambil mengunyah, “Apa apa yang enak dirumah kami hanya untuk dijual sih, kalau yang untuk dimakan, sayang barangnya…”

"Pelit sekali orang tuamu,"

"Tidak!" Bantahnya cepat, "Mereka memberikanku apa saja yang kumau sebenarnya..."

"Lalu?"

"Aku tidak ingin merepotkan, hidup sekarang sulit dan ayahku sedang sakit... Jadi kami harus lebih berhemat, itu saja..."

Aku tersenyum, betapa jujurnya.

Pikirannya masih seperti anak anak walau badannya bongsor,
Aku bersandar diatas kursi rotan, masih memandangi keindahan dihadapanku, setengah kagum, terpesona, setengah geli.

“Umurmu berapa sih?” tanyaku penasaran, menyuapinya, ia menganga selebar yang ia bisa.
Ia tidak segera menjawab, lebih mementingkan makanan yang akan segera masuk ke mulutnya,
Benar benar tidak tahu sopan santun.

"Berapa?" Tanyaku lagi, “14? 13?”
Si bulat bergegas menelan, ia bahkan tidak mengunyah, sudah rakus tergesa gesa pula.

“16!” Teriaknya memberitahuku, “Enak saja 13, memangnya tidak kelihatan apa?”

Aku terdiam, memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki, menilai.
Yah… dengan tubuh se-sexy itu yang mampu membuat lelaki normal menelan ludah, memang mustahil hanya 13-14 tahun… tapi…

“Siapa suruh kelakuan mirip anak 10 tahun,” Jawabku memalingkan muka cepat cepat.
Sial, lagi lagi aku ingin

“Siapa yang anak 10 tahun?” Bantahnya, “Kakak sendiri umur berapa sih?” Menodongkan garpu kearahku, aku malah berakhir mengambil garpu itu dari tangannya, sekali lagi menyuap potongan buah buahan.

“21,” Aku menggerak gerakkan alisku bangga, “Yang jelas aku sudah melewati batas usia dewasa menurut undang undang.”

“Sok Tua,” Daina menggerutu dan tak kupedulikan.

“Aku lihat dapur dipondok ini cukup lengkap,” Ujarku lagi, “Kalau kau bisa membawakan bahan makanan mentah mungkin aku bisa membuatkanmu sesuatu,”

“Itu saja?” Tanyanya, “Akan kuberitahu pada kepala Desa kalau begitu,”

Aku mengangguk, “Kau akan makan enak setiap hari sampai bulat, aku janji,”

“Kenapa namaku jadi bulat,” Daina mencibir, “Tapi benar yah! Kau bisa masak kan? Bisa dimakan, kan? Tidak akan gosong kan?” Katanya menuntut.

Aku tertawa, “Urusan memasak aku sangat percaya diri,” Kataku membanggakan,

Bunga didepanku tertawa, begitu senangnya sampai sampai tubuhnya ikut bergerak gerak, rambut ikalnya bergoyang.
“Itu,” meminta kepastian, “Janji diantara kita yah, kak,”

-
-
-
-
-

Dear Tasuku.
Bagaimana kuliahmu?
Aku yakin kau bisa meraih gelar doctor yang kau impi impikan kurang dari beberapa bulan lagi.
Mengenai penelitianmu, bersabarlah karena aku sedang mencarikan dananya.
Oh ya, kau ingat kan’ Email yang kuterima beberapa waktu yang lalu?
Akhirnya aku menerima permintaan untuk menjaga desa ini sementara waktu.
Yah bayarannya memang tidak terlalu besar tapi kau pasti mengerti maksudku.
Kau akan suka ini.
Tidak, tidak, kau selalu suka mendengarku melakukan ini.


-
-
-
-
-
-


“Tinggalah disini,” tetua adat itu mengangsurkan secarik cek kearahku, “Perbaikan jembatan itu beserta sistem pengamanannya akan memakan waktu beberapa bulan, mereka melonggarkan keamanan setiap dua jam sekali untuk percobaan,”

“Kenapa kalian tidak meminta bantuan pada pemerintah saja, atau lebih mendatangkan banyak lagi prajurit bayaran,”

“Pemerintah sudah melakukan penjagaan seperlunya, kami tidak bisa meminta ditambah lagi, saat ini kekuatan negara ini juga sudah mulai terbagi,”

Aku menghela nafas,

‘seperlunya’,

Memang benar Thailand hanyalah Negara kecil yang berbatasan dengan Malaysia dan Laos yang secara militer memiliki kekuatan tempur jauh lebih menjanjikan,
Meskipun saat ini pemerintah diseluruh dunia tengah mengadakan rapat untuk menyatukan beberapa negara dibenua Asia sekaligus, Hal ini menimbulkan pertentangan pada beberapa pihak.
Belum lagi pihak Rusia sendiri sebagai Negara terkuat menyarankan hal yang sama,
Aku mengutuk dalam hati,
Padahal akan lebih baik kalau segera saja disatukan, Keadaan sudah sangat genting mengingat Invasi bisa terjadi kapan saja.
Kenapa harus egois mempertahan sesuatu jika pengorbanan itu ada demi keselamatan banyak orang?
Desa kecil ini sebagai contohnya, harus menderita karena lambannya pemerintah dalam mengambil keputusan.

“Kalau hanya aku sendirian…” Aku memandang cek didepanku, resah, tapi tetua adat itu meraihnya dan menggenggamkannya pada tanganku sangat erat,

“Hanya ini yang kami punya,” Mohonnya, “Kau yang terbaik dan dengan pengalaman melanglang buana keberbagai tempat, Tuan Aryanov Gabriel, sangat berharap kau bersedia…”

Aku menelan ludah, gugup.
Sial, aku selalu tidak mampu menolak orang yang meminta bantuanku dengan cara seperti ini…

Kali itulah pertama kali aku melihatnya.
Ditengah kebimbangan yang melanda, Pandanganku tertuju pada sosok sosok lain yang bersembunyi dari balik dinding anyaman,
Tidak begitu jelas, karena tertutupi wanita wanita lain dengan anak anak mereka yang masih kecil menunggu keputusanku dengan wajah harap harap cemas.
Sial, sial, sial,
Ini sih tidak ada harapan…

“Baiklah…” Sahutku mau tak mau, “Hanya sampai jembatannya selesai diperbaiki, kan?”

Orang tua itu mengangguk bersemangat, Ia bicara dalam bahasa daerah yang tidak kumengerti pada beberapa orang lelaki paruh baya didekatnya, seperti mengabarkan berita gembira, jika dilihat dari raut wajah orang orang yang diajaknya bicara,

“Sudah diputuskan kalau begitu,” Tetua adat berseru,

Pembicaraan berlanjut beberapa lama, sang kepala desa yang kutaksir berusia sekitar 50 tahunan secara rinci menjelaskan kondisi serta letak geografi desa mereka, aku mendengarkan secara seksama sambil sesekali mengajukan pertanyaan akan hal hal yang kurang jelas bagiku.

Begitu terus hingga tak terasa hari sudah siang dan mereka mengajakku makan.


Dalam sekejap saja aroma makanan makanan lezat khas daerah mereka memenuhi indera penciumanku disertai bermunculannya hidangan hidangan yang dibawakan oleh gadis gadis thai,
Pada saat itulah pandangan mataku kembali tertumbuk pada sosok mungil yang tampak gugup membawakan baki berisi buah buahan,

Itulah kali pertama aku melihatnya.

Ia mengenakan dress terusan krem dengan celemek berenda, rambutnya ikal bergelombang dan berwarna sama dengan matanya, warna kayu mahogani gelap yang cantik.
Tergesa gesa, ia mengangguk angguk menerima instruksi dari wanita paruh baya yang sepertinya ibunya.
Kelihatan sekali kalau kurang begitu pengalaman.
Tidak lama kemudian perhatianku kembali teralih pada sang tetua adat yang mengajakku bicara, “Berapa periode sekali biasanya perbaikan diadakan?” Tanyaku, memikirkan apakah Tidak apa apa meninggalkan Tasuku selama itu.
Yap, tololnya aku, Tasuku memang bukan anak anak lagi, dia juga seorang laki laki, tapi ia kurang bisa mengurus dirinya sendiri dan aku cemas.
Apakah penghasilan disini cukup untuk membiayai dia disana?

“Biasanya hanya sekali dalam 15-16 tahun, Tapi selama itu tidak ada sensor yang diaktifkan, akan sangat berbahaya, terutama kami tidak terbiasa menghadapi serangan Undead sebelumnya.” Lelaki tua itu menjelaskan.
Aku manggut manggut sok mengerti.
Padahal dilain pihak aku sedang sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.
Apakah aku yang terlalu bodoh menerima tawaran tidak biasa hanya karena dorongan rasa kasihan?



‘Itu sudah benar, Yang kakak lakukan sangat benar.’



“Bodohnya aku bertanya padamu,” Dengusku kesal pada suara Tasuku yang bergema dalam kepalaku.

“Iya?” Kepala Desa mengerutkan keningnya tidak mengerti, aku tersadar, cepat cepat meminta maaf, sedikit salah tingkah.

“Oh, bukan, hanya bicara sendiri.”

Bahkan didepan orang lainpun perasaan itu tidak dapat ditekan.

Seperti layaknya tempat berbudaya, walau terbelakang, mereka masih menjunjung tinggi keramahtamahan, Ibu ibu memasak dibelakang dan anak gadis mereka membantu.
Pekerjaan pekerjaan kasar seperti beternak dan bertani dilakukan oleh laki laki.
Selain itu entah sejak kapan dimulai, kudengar mereka juga sangat pandai membuat kerajinan tangan serta ukiran.

“Daina, bawakan ini juga,” Aku menoleh kesebelah kiri, gadis yang lebih tua menyuruh si mungil membawakan piring kosong, mataku bertemu lagi dengannya,
Ia mengucapkan permisi, meletakkan sepiring pisang didepanku, lalu menunduk, cepat sekali,
Penasaran, sambil mendengarkan ocehan tetua adat sesekali aku melirik.

Aku apaan sih.

Tidak, bukan saatnya untuk ini kan?
Bekerjalah dengan benar… Naksir naksiran, asmara dan semacamnya itu tolol sekali.
Belum waktunya Ar,
Aku mengingatkan diriku sendiri.

“Daina, bawakan ini juga,”

“Baik…!” Gadis itu berdiri dan menerima mangkuk besar dari wanita disebelahnya, mengantarkannya kepadaku.

Tasuku, fokus pada Tasuku saja.
Dia sudah hampir meraih gelas S2 nya, dia butuh biaya banyak.
Membanggakan ya?
Aku tersenyum senyum sendiri…

Ia kembali lagi, membawa seteko air putih,
Kali ini aku bisa melihat jelas bola matanya, bulat dan cemerlang,
Ia sadar aku memandanginya dan sepertinya ia berusaha kelewat keras agar tidak melakukan kesalahan.

Astaga, Aku lupa aku belum menelepon Tasuku hari ini,
Bagaimana kabarnya sekarang?

Gadis itu punya kulit yang halus,

Tidak, tolol, jangan sekarang, Pikirkan Tasuku saja, konsentrasi... Konsentrasi...

Sial, ia lagi lagi kesini membawa... entahlah, Akal sehatku berhenti mencatat.
Lebih jelas lagi, Pastinya masih belasan, kelihatan kok, Ia menggemaskan, apa kata Tasuku tentang gadis gadis muda imut di Jepang? Loli-loli?
Ahhh aku ingin memeluknya...

Astaga, Kau bajingan, Ar.

Aku kesini untuk apasih sebenarnya? Tidak bisa dipercaya.

‘Kakak membantu orang lain, Yang kakak lakukan hebat, ini akan menjadi hari yang hebat.’
Suara Tasuku menyejukkanku lagi.

Kau senang ya, Tasuku?
Kau benar…

“Kyaaa!”

Ini akan menjadi hari yang hebat.

Sehebat sup yang ditumpahkan diatas kepalaku.
Oleh gadis yang bayangannya sedang berusaha keras kuusir,

-
-
-
-
-

Guyuran air shower menyegarkan pikiranku, sial, baru hari pertama saja sudah babak belur begini,
Kubersihkan rambutku dari sisa sisa minyak dan lada,
Konyol sekali, Perempuan pertama yang membuatku terpana justru yang menumpahkan semangkuk sup keatas rambutku.

Hari sudah sore ketika mereka mengantarkanku ke pondokan yang kutempati, gemetar dan meminta maaf berkali kali atas keteledoran yang terjadi,
Akhirnya aku bisa mandi, membersihkan tubuhku yang belepotan,
bagaimana bisa aku tadi berpikir gadis itu manis?
Pikiranku melayang lagi pada detik detik aku melihatnya.
Kendatipun ia, yeah, sangat cantik.
Andai saja dia bukan tipeku pasti aku akan meneriakinya, sayang sekali…
Kalau begini jangankan meneriaki, melihatnya mendapat teguran keras dari anggota keluarganya saja aku tidak sampai hati…
Aku tertawa sendiri, membilas rambutku dengan dinginnya air,

Krak!

Suara patahnya ranting terinjak menyadarkanku yang sedang mengeringkan rambut, dengan hanya mengenakan celana panjang aku melihat kebawah kakiku,
Betapa merepotkannya, lantai tempatku berpijak hanya terbuat dari kayu yang susunannya agak renggang, dengan kolong bawah rumah yang tinggi cukup untuk pemilik tinggi badan bahkan yang setinggi akupun bisa menyelusup kebawahnya tanpa susah payah merundukkan badan.
Dasar Desa kecil, tidak ada privasi dong?

Aku mengawasi pergerakan sesuatu dibawah kakiku, menyadari bahwa sesuatu yang membuatku waspada sesaat itu ternyata bukan hal yang membahayakan,
Bahkan membuatku tergerak oleh perasaan gembira yang aneh,
Iseng, aku mengambil segelas besar air dingin dan meminumnya, pura pura tidak tahu, aku melanjutkan acara bersiulku, mengusap usap rambutku yang basah dengan handuk,

Kehidupan di bawah kolong rumahku kelihatannya mulai bernafas lega karena mengira dirinya bisa lolos dengan mudah.

Pada hitungan ketiga, aku menumpahkan isi gelas yang kupegang itu diatas lantai.
Bunyi air beriringan dengan pekikan pelan seorang gadis remaja benar benar menjadi musik yang menyejukkan gendang telingaku setelah sekian lama.

Aku bergegas menuju samping jendela, setengah menjulurkan badanku keluar, “Balasan untuk yang tadi, tidak buruk, huh? Berani juga, yah, pengintip!”

“Aku tidak mengintip!” Teriak suara bernada halus dari bawah kolong, “Basah, kan!”

“Hooo,” Aku memberikan tanggapan seolah tak peduli, “Kenapa kebetulan sekali kalau begitu, pas dengan momen aku mandi,”

“Sudah kubilang bukan!”

“Ingin melihat ya?”

“Demi Tuhan aku tidak melihat apapun!” Suara halus itu berteriak lagi, Aaahh, ingin sekali aku berteriak betapa menggemaskannya mendengar nada serak gelisah bercampur takut itu,
Seperti anak kelinci yang sedang bersembunyi dibawah sana…

“Kalau ingin melihat, jujur saja, sekarang juga keluarlah, aku tak apa kok, memperlihatkan…”

“Bukan! Ya Tuhan… Kenapa tega sekali?”

Aku tersenyum senyum geli, rasa keasyikan mulai menagihku, “Kalau bukan mengintip apa dong? Perlu kusiram lagi kau dibawah sana supaya aku bisa melihatmu lebih jelas?”

“Aku keluar!” Tegas suara itu akhirnya menyerah, “Aku akan keluar! Awas kalau kau menyiramku lagi,”

Aku hanya tersenyum senyum geli penuh kemenangan, menunggu lawan bicaraku menunjukkan dirinya.
Diiringi dengan bunyi kresek-kresek sosok yang kutunggu akhirnya muncul,
Ia tidak pakai sendal, kepalanya basah kuyup sehingga masih ada tetesan air mengalir dari wajahnya, menghiasi pipi berona pink itu, membingkai kecantikan alami seorang gadis remaja,
Kulitnya putih, berbeda dengan wanita wanita Thai yang biasanya berkulit sawo matang,
tubuhnya hanya ditutupi terusan berwarna merah muda yang membuatku terbayang bayang sejak tadi, bedanya adalah, sekarang bagian dadanya nampak tembus pandang karena basah, memperlihatkan segaris pakaian dalam berwarna putih yang menjadi batas moral antara seni ciptaan Tuhan itu dan mataku sekarang.

‘Dahsyaaat…’ Aku membatin.


Tahu begitu sekalian kusiram pakai air satu ember saja tadi…



“Aku bukan pengintip…” Ia memandangiku dengan wajah polosnya, menyangkal dengan sedih, membuatku tersadar dari betapa membiusnya pemandangan indah dihadapanku.

“Terus ngapain kau disana?” Tanyaku penasaran, sama penasarannya dengan perasaan aku ingin melihat apa saja kiranya yang tersembunyi dibalik kain yang basah itu.

Gadis itu menunjukkan sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan dibelakangnya.

“Seekor ayam?” Aku mengerutkan kening, Gadis itu mengangguk, “Kau keluar masuk kolong rumah hanya untuk mengejar itu? Bukannya malah mengintipku…maksudku, repot sekali!”

“Ini untuk makan malam,” gadis itu memasukkan ayam ditangannya kedalam sebuah kurungan yang terbuat dari bambu, “Kau tamu spesial, Ibuku akan masak enak untukmu malam ini,” Ia tersenyum polos.

“Kenapa tidak beli saja?” Gerutuku, kecewa.

“Pasar jauh, kau harus kekota dulu jika ingin, Lagipula ternak sendiri rasanya akan lebih enak,” bangga, ia menepuk nepuk kurungan itu, bersiap membawanya.

Terkesiap, aku bergegas mencegat, “Heh, tunggu-tunggu-tunggu!”

Si wajah malaikat menoleh,

“Kau serius mau pulang dengan tampilan begitu?” Ujarku gugup, mencoba mengalihkan pandanganku kelain tempat, entah mengapa rasanya sulit sekali.

“Kenapa?” Gadis itu mengecek sekujur tubuhnya, memastikan. “Ada yang aneh denganku?”

Aku menghela nafas, gusar, entah mengapa tidak rela ada orang lain yang menikmati pemandangan yang sama seperti kulihat, Tergesa gesa aku melompat dari rumah adat yang tinggi itu, kebawah.
Gadis didepanku terkejut bercampur kagum melihatku mendarat sempurna diatas tanah berpasir.

Aku menutupi tubuhnya dengan handuk, “Jangan sampai masuk angin,” Ujarku mencari alasan,

Malaikat didepanku nampak kebingungan sesaat, tapi ia kelihatan tidak terlalu memikirkannya, “Terima kasih, kakak…” ia menangkupkan kedua tangannya sebagai salam, melapisi tubuh bagian atasnya yang nyaris tembus pandang dengan handuk yang kuberikan.
Wajahnya damai dan hangat, ia kemudian berkata padaku, “Aku Daina Amare, Orang tuaku pemilik kedai dan penginapan disini, Aku bertugas sebagai pemandu dan pelayanmu,” Ia mengangguk angguk seperti bayi, “Jangan sungkan kalau butuh sesuatu, panggilah aku,” katanya lagi.

Tunggu… Putri pemilik penginapan yang mengurus keperluanku?
Berarti setiap hari…

“Aku akan membawakan makananmu, juga menemanimu jalan jalan, menyiapkan semua keperluanmu,” sambungnya seperti membaca pikiranku . “Aku minta maaf, tadi siang…” Kaki jenjang itu bergerak gerak gelisah diatas pasir, “Malam ini aku benar benar akan membawakan sesuatu yang enak untuk menyelamatkan mukaku,” Ia tertawa,

“Asalkan kau jangan lagi lagi menumpahkannya diatas kepalaku saja,” Ujarku sok mengingatkan,

“Iya, tenang saja, tadi aku benar benar gugup, Aku sangat bersyukur ada kakak Prajurit yang menjaga Desaku, Maafkan aku tadi ya,”

Aku terdiam.
Setiap hari dia akan datang kemari? Akan sering bertemu?
Terlebih lagi… malam ini juga?

Jantungku berdegup kencang.
Ini…

Asyik.

“K-kalau begitu niat minta maaf, datanglah sore ini!” Pintaku mengetes, “Bawakan aku handuk baru…”

Bola mata dihadapanku membulat, “Hanya itu?” Ia bertanya, “Segera!”
Aku terhanyut, melihatnya berlari hingga langkah ringan seperti terbang itu lenyap dari pandangan.

Suara tawa cekikikan dari wanita wanita yang lewat sambil membawa bakul cuci menyadarkanku,
Kerumunan yang berbisik bisik sambil melihat kearahku sambil menyembunyikan wajah malu malu mereka,
Butuh beberapa detik sampai akhirnya aku tersadar bahwa aku sedang dalam keadaan telanjang dada dan hanya mengenakan celana jeans panjang yang warnanya agak kusam.
####,
Pura pura tidak tahu, dengan kesal aku menaiki tangga pondokkanku.
Aku benar benar tidak suka dilihat orang lain, apalagi para wanita,

Tapi, Gadis barusan…
Menyambar kemeja yang tergeletak didepan koperku begitu saja, pikiranku semakin menjadi jadi,

Kalau dia yang ingin melihat tentu akan kuperlihatkan semuanya dengan senang hati,
Bodoh sekali, kalau tahu ada yang seperti dia disini, tidak dibayarpun aku mau…

Tidak, Ari, itu pikiran paling tolol yang pernah singgah diotakmu.
Aku tidak pernah memikirkan untuk memiliki wanita sebelumnya.
Lagipula ia hanya gadis dusun, apa iya semenarik itu?

Aku menepuk telingaku sendiri.
Kelihatannya hati dan otakku sudah tidak sinkron.


+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:19 am

Don Mueang International airport,
Bangkok, Thailand.

________________________________________________
_______________________________________



Kau tahu, Tasuku?
Awalnya kupikir aku benar benar terjebak disini,
Sungainya kotor, dibawah rumah tempatku tinggal setiap malam ayam berisik berkeliaran, orang orangnya tidak pakai sendal, makanannya enak sih, tapi aku tidak pernah ketempat terpencil seperti disini,
Kalau boleh memilih, aku lebih suka dihutan sekalian, bukan, bukan suasananya, itu hanya alasan,
Sebenarnya yang paling membuatku tidak nyaman, karena ini Desa, kau ngerti kan, Desa,
Semua orang ingin tahu urusan satu sama lain.

Ah, kau pasti tahu.










Pemuda itu agak tergesa gesa menuruni bis, Ia membawa ransel besar dipunggungnya, sambil berlari kecil, nyaris menabrakkan dirinya sendiri didepan loket.

“Kanchanaburi,” Katanya merunduk, tersengal sengal, “Harus… sampai… sore ini juga…” Ia tidak bisa menunda keberangkatannya lagi, cukup sudah waktunya tersita karena kejadian heboh dibandara tadi.
Merasa membuang waktu, ia tidak ingin lebih lama lagi.
Ia sudah menitipkan barang barangnya ditempat jasa angkut dan penitipan barang.
Sekarang yang terpenting adalah bagaimana ia harus menemukan transportasi yang sesuai untuknya.

Petugas loket yang keduanya wanita hanya menggeleng pelan sambil menggantungkan tulisan Closed besar besar didepan kaca mereka.
Tidak menoleh sebelah matapun.
Salah seorang dari mereka yang bertubuh agak gemuk segera menjawab
“Kami tutup hari ini, pesawat terakhir sudah dipesan, kau bisa naik transportasi lain,” sementara temannya juga sama cueknya dan melanjutkan acara minum teh.

“Tidak bisa!” Pemuda itu memegangi dadanya sambil mengatur nafas. “Aku harus mendapatkan jet tercepat kesana,” Ia bangkit dan mengusap keringat didahinya, “Aku sudah terlanjur, jadi harus sampai bagaimanapun juga,” sebelum kakakku sadar aku tak ada dirumah, batinnya.

“Berapapun kau bayar, tidak akan bisa, ini peraturan, kami bisa kesulitan nantinya,”

"Tapi ini sangat penting, aku..."

"Pulanglah nak, atau kusuruh security memanggil orang tuamu kesini,"

"Tolonglah!"

Karena pemuda itu terus saja mengetuk ngetuk kaca, gayanya anak anak sekali, si pegawai loket yang semula sedang asyik memperhatikan layar komputernya melirik dengan enggan,


Lalu ia menjatuhkan Pocky dimulutnya, terpaku.



“Kumohon?”








Tapi kau juga belum tahu kan, Tasuku,
Aku bertemu bidadari disini.

Saat aku mengatakan padamu ‘bidadari’, itu bukan seperti dalam buku cerita yang kubacakan untukmu saat kanak kanak, kurasa… ehm, bagaimana menjelaskannya yah.
Yang jelas dia benar benar polos, matanya, kau harus melihat matanya, kalau kau sudah lihat kau pasti akan mengerti maksudku.
Karena ada dia, hari hariku jadi lebih berwarna, dia jujur sekali, dia juga nekat dan agak telmi, pokoknya dia lucu!
Dia datang setiap hari padaku membawa serta kecerobohannya, kurasa dia lebih muda darimu, aku hanya berpikir betapa berbahayanya terkadang situasi antara aku dan dia,

Dia seksi, benar, seksi sekali,
Mungil, tapi seksi…
beda dengan wajahnya yang sepolos malaikat, badannya badan wanita dewasa,
Ah, aku tidak sedang membicarakan wanita cacat mental, kau tahu maksudku.
Tapi, ketika kau berhadapan dengannya, alih alih ingin berbuat aneh, kau malah merasa ingin melindunginya, ajaib kan?
Mungkin saat menerima E-mail ini, sebagai adikku, kau akan merasa sangat aneh, lebih anehnya lagi, kau orang pertama yang ingin kuberitahu, sangat tidak sabar untuk bertemu denganmu dan menceritakan segalanya.
Aku jarang membicarakan seorang perempuan bukan?
Jangan tertawa, bahkan meskipun kau ingin.

Kurasa, yah,
Kurasa aku jatuh cinta.








Wajah yang berada didepan loket adalah seorang pemuda, mungkin yang paling tampan yang pernah dilihat kedua petugas wanita itu seumur hidup mereka,
Ia mengenakan T-shirt santai warna putih yang dilapisi Hoodie abu abu, dan aksesoris kalung panjang dengan liontin berbentuk biola yang terlihat jatuh begitu saja didadanya yang bidang,
Terlihat modis khas anak muda namun demikian, raut wajahnya, entah mengapa kharismatik, pun ia terlihat masih berusia sangat muda, ia ceria, ramah dan sopan,

Apakah ia anak pejabat yang sedang pergi berlibur?
Ia kelihatan terpelajar serta dididik dengan amat baik, dinilai dari rautnya, ia nampak tidak memiliki kesulitan berkomunikasi dengan orang lain baik yang sebaya dengannya maupun lebih tua.
Orang yang melihatnya untuk pertama kali mungkin akan menyangka bahwa ia adalah model, aktor, atau pangeran entah darimana, karena tubuhnya yang ramping bersiluet namun tidak kurus,
Ia indah, sampai sampai tidak hanya perempuan, laki lakipun mungkin akan memandang terpesona kearahnya.
Yang paling mencolok darinya adalah, Rambut emas yang bersinar keperakan itu, serta matanya yang sebiru laut.


“Tidak bisakah diusahakan untukku?” Katanya lagi dengan tampang memelas.


-
-
-
-


Pemuda itu memasuki hanggar pesawat dengan wajah puas,
Dihadapannya, pesawat model kecil dengan kecepatan yang diinginkannya sudah tersedia dalam kondisi siap pakai,

“Pak Chang,” si wanita gemuk penjaga loket mengingatkan pada pilotnya, “Tolong jangan sampai malam yah, kalau ketahuan bisa kena masalah,”

Si pilot, lelaki paruh baya berkulit sawo matang yang dipanggil Chang, hanya menjawab enggan, “Siapa suruh, seenaknya menggunakan sesuatu yang sudah dipesan orang lain,”

“Ahh, Diamlah pak,” wanita yang agak kurus menyela, “Kau mana ngerti perasaan perempuan,” Lalu kedua wanita itu bersikutan satu sama lain,

Pemuda yang tak tahu menahu nasibnya hanya memandangi pesawat yang akan mengantarnya ketujuan dengan terpesona, ia tidak menyangka akan begitu mudah mendapatkan apa yang ia perlukan, bahkan tanpa membayar sepeserpun,
Meskipun kekagumannya sekejap kemudian digantikan oleh rasa terkejut karena kedua wanita dibelakangnya menariknya dengan sigap,

“Eh, eh, ini benar Alamat E-mail mu kan?”

“Namamu siapa? Beritahu kami namamu!”

Sang pilot hanya tersenyum melihat tingkah kedua rekannya mengerubuti bocah tampan yang sama sekali tak sadar bahwa dirinya sedang jadi bahan perebutan antara dua orang wanita berusia jauh diatasnya, sementara itu, si pemuda hanya memasang tampang kebingungan, merasa agak aneh tapi memutuskan untuk menjawab.
“Yap, itu E-mail pribadiku,” Charming, ia menunjukkan Tab tergenggam ditangannya, tersenyum amat manis hingga membuat wanita wanita dihadapannya meleleh, rela melakukan apapun untuk menyenangkan hatinya,


“Dan namaku…”
Ia berhenti sejenak, seperti ingin memberitahu namanya, tapi mengurungkan niat,
“Tsar,” katanya setelah berpikir sesaat , membatalkan untuk memberitahu nama panggilan pemberian kakaknya tersayang,





TsaraniaKova Gabriel, itu namaku,”.


+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:20 am

Ari.


_________________________
_____________________________



“Jangan, jangan seperti itu,” aku mengingatkan, “Tidak pakai lada!”

Tak terasa sekarang sudah 2 bulan aku berada di Thailand, Provinsi Kanchanaburi,
Tepatnya disebuah Desa di Distrik Shankalaburi, Desa kecil tempat suku mon bermukim.

Daina mengerem laju tangannya, tetapi terlambat, ia malah menjatuhkan apa yang dipegangnya, serbuk lada sedikit berhamburan,

“Yaah kakak sih tidak bilang… Hatsyyiimm!” Gadis itu bersin keras keras, saking kerasnya sampai sampai tubuh mungilnya terdorong kebelakang,
Aku cepat cepat memberinya selembar Tisu, mengusap usap punggungnya menguatkan.

“Kita akan membuat pancake, mana pakai lada,” ujarku berpaling, mengejek Daina,

“Aku kan tidak tahu!” teriak Daina, “Aku tidak pernah makan pan… pan…”

“Pancake,” aku membetulkan.

“Iya! Itu!” Sambar Daina,

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menyunggingkan senyuman, adonan ditanganku telah selesai, aku mencelupkan telunjukku untuk mencobanya, Daina mendekat penasaran,

“Enak?” Ia bertanya padaku,

Kubiarkan rasa manis tepung melumer dilidah, menimbang nimbang, “Tergantung,” aku menghela nafas, “Kau lebih suka yang mana, sangat manis atau biasa saja atau cenderung hambar,”

“Aku suka manis…!” Daina segera menyahut,

Aku melirik kearahnya, diam sebentar, terdorong oleh rasa penasaranku, aku mencelupkan lagi telunjukku secara sembarangan kedalam mangkuk berisi adonan, menyodorkannya pada Daina.

“Cobalah sendiri?” Aku memasang ekspresi tak peduli,

Mata besar Daina terbelalak,
Namun tanpa berpikir lagi, ia segera saja memasukkan jariku kedalam mulutnya, mencicipi rasa adonan itu sendiri,
Aku menelan ludah, sial, sial, sial,

Kurasakan hangat mulutnya diujung telunjukku, begitu basah dan lembut,
Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas sekali, Daina menutup matanya, menikmati apapun itu rasa yang menyebar pada indera pencecapnya,
Ia memasukkan lebih dalam, seakan tidak ingin menyisakan apapun,
Perasaan seperti tergelitik melandaku amat hebat.


Terdengar bunyi ‘plop’ pelan lalu ia melepaskan jariku,

“Sempurna!” Serunya lugu, “Ini enak sekali!”

Aku terdiam, kakiku jadi dingin sendiri.

“M-menurutmu begitu?” Kubereskan tepung tepung didepanku, “Baiklah, kita pakai yang ini saja,” aku berusaha keras menyembunyikan rasa panas yang seakan membakar wajahku.

Daina tampak tidak masalah, ia memunguti piring piring kotor dimeja makan, mencucinya seperti biasa,
Lalu membereskan rantang milik ibunya untuk dibawa pulang.

“Pakaian kotormu?” Katanya meminta, Aku hanya mengangguk membiarkan ia berlari menuju kekamarku, mengambil baju baju kotor untuk diserahkan pada ibunya kemudian dicuci,

Drakk!


Aku menahan lututku yang melemas karena tidak dapat mengontrol debaran dalam dadaku. Bertumpu pada kursi didekatku, aku menarik nafas lega.

Nyaris!

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak memeluknya atau mengucapkan ‘Aku mencintaimu’ ratusan kali yang aku sanggup.
Tidak tahu mengapa, perasaanku semakin menjadi jadi,
Mungkin ia akan lari.
Mungkin ia akan membenciku sebagai lelaki asing kurang ajar yang seenaknya menyatakan cinta.
Bahkan ia baru saja mengenalku.
Jika aku mengucapkan ‘Cinta pandangan pertama’ sebagai alasan, mungkin aku akan dikira bedebah mesum yang berupaya merusak anak gadis orang…

‘Cinta itu reaksi ilmiah yang tidak bisa dijelaskan,
Bahkan melanda orang sepertimu, aku tidak heran, pastilah ia gadis luar biasa.’


“Diam, Tasuku!”

Nice, Lagi lagi, entah sejak kapan aku mulai berbicara sendiri begini setiap kali berpisah dengan Tasuku. Aku berhalusinasi mendengar adikku bicara padaku, padahal ia sedang berada jauh dariku terpisah oleh Negara yang berbeda.
Kurasa mungkin bawaan kebiasaan saja, karena Tasuku pendengar yang lebih baik dari siapapun didunia ini.
Karena ia teman curhat paling sempurna –seandainya ia ada disini sekarang- yang bisa kupercaya.
Kurasa aku benar benar jadi gila sekarang.

Bodoh bodoh bodoh,
Aku hanya harus membiarkannya mengenalku sedikit lagi,
Benar, itu benar sekali… Jangan sampai ia ketakutan karena mengira aku orang mesum.

Sungguh aneh perasaan bernama cinta,
Kalau aku bicara dengannya, seakan naluri untuk mencuri curi pandang wajahnya yang tampak begitu sempurna dimataku tak tertahankan.
Bahkan mencari topik pembicaraanpun sangat sulit,
Dan sekalinya aku menemukan sesuatu yang tepat untuk menjadi bahan omongan,
Aku pasti ingin selalu berlama lama bicara.
Atau kalau bisa, tidak usah selesai bicara, ngomong saja terus jangan berhenti-berhenti lebih bagus

Baru pertama kali seumur hidupku, seperti ini…

Daina menyuap Pancakenya bersemangat, ia menambahkan caramel yang banyak, Aku hanya memperhatikannya dari seberang meja,
Ia membuatku merasa nyaman, aku tidak tahu alasannya.
Ia makan tanpa menahan diri seperti kebanyakan gadis yang selalu lebih mengutamakan makan sesuatu seperti salad karena takut gemuk.

Aku merasa dihargai, tidak terbebani, dan terhibur melihat tingkah lucunya.

“Kakak lihat apa?” Tanyanya dengan remah remah dibibirnya, Aku nyaris tersedak, cepat cepat membuang muka.

“Tidak, hanya aneh saja, kau makan seakan tidak ada hari esok, ”

Daina menggembungkan pipinya.

“Jahat…”

Tapi ia tetap makan, hanya saja lebih cepat, karena saat ini ia sedang kesal, aku tersenyum.

“Aku harus makan banyak, aku mengisi energiku,”

“Memangnya kau baterai charger?”

“Kakak bodoh,” Daina cemberut lagi, “Aku kerja sambilan mengemudikan motor boat,” Ia menjelaskan, “Karena… ayahku sudah sakit sakitan sekarang, Transportasi air kan’ salah satu mata pencaharian keluarga kami, sayang kalau tidak ada yang melanjutkan,”

“Kau suka mengemudi?” Tanyaku iseng, Mata Daina mendadak berkilat bersemangat,

“Suka! Suka sekali! Aku senang mengendarai berbagai macam kendaraan! Mobil, motor, boat, kapal,” Ceritanya, “Tapi aku belum pernah mengendarai pesawat! Atau heli! Aku ingin sekali! Lalu…”

“Ya ya ya,”

“Kau ingin mendengar lanjutannya? Lanjutannya? Lanjutannya!” Serunya semakin kencang,

“Tidak, tidak, cukup, aku tidak bermaksud demikian,” jawabku pura pura kebosanan.

“Kakak, ayolaaah, dengar, sewaktu aku kecil ayahku mengajariku…”

Oh no, Not again…” Keluhku, padahal sejujurnya aku senang sekali melihatnya bicara.
Bocah, Wajahnya bahagia dan aku sama sekali tidak menemukan satupun titik cela.

Jatuh cinta pada anak kecil begini, Tasuku, kau akan menertawakanku.
Pasti.


+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:21 am

Tasuku.

___________________________________
______________________________




Dengan mantap aku menginjakkan kakiku kedalam boat yang telah terisi penuh dengan beberapa orang penumpang selain diriku sendiri.
Tali ransel dipunggungku kupegang erat, senyum mengembang diwajahku penuh kepuasan,
Akhirnya aku tiba juga di Thailand, negeri Gajah putih yang tersohor itu,
Kukeluarkan novel kegemaranku, memasang kacamata baca, bersandar pada tempat duduk, aku mulai menyerap huruf demi huruf seraya menikmati angin.

Kakak tidak tahu,
Kalau dia tahu, dia akan sangat ribut mengoceh tentang betapa tidak siapnya aku bepergian tanpa dana yang cukup.
Aku bisa hidup dimana saja kalau itu yang ingin kakak tahu,
Tapi ia takkan mempercayaiku, kakak cerewet dan ingin selalu membuatku merasa nyaman.

Kubaca baca lagi secarik kertas yang terselip diantara lembaran buku ditanganku,

Kondisi keuangan keluargaku memang sedang genting, karenanya aku merasa beruntung, Aku baru saja mendapatkan biaya perjalanan dari temanku.
Lebih tepatnya, aku menang t4ruhan.
Mr. Andrew, temanku di fakultas kedokteran itu sudah tahu ia takkan bisa mengalahkanku dalam soal nilai, dan masih saja ia menantangku.
Ia jauh… jauh lebih tua dariku, umurnya sekitar 50 tahun, tapi kami cocok, kurasa ia lebih sesuai sebagai dosenku daripada hanya sekedar teman minum.

Berawal dari perdebatan kecil tentang penelitian, kami berakhir adu argumen dan saling berkata akan mengungguli satu sama lain.

Sebenarnya bukanlah sifat yang baik, mempecundangi orang yang selalu merasa dirinya lebih ahli darimu walau kenyataannya mereka memang tidak.

Orang lain bilang yang seperti ini harus disadarkan sekali sekali,
'Biar ngaca,' Mereka bilang..., 'Takkan sulit kok,' Mereka bilang...,


Memang kelihatannya tidak sulit.
tapi jika orang tersebut lebih tua darimu, dimana seharusnya kau amat menjunjung tinggi etika serta sopan santun kepadanya,
Kau tentu mengerti maksudku...

Kemudian, Bisa ditebak bahwa aku memenangkan tiketku.
Bahkan, Karena kelewat semangat memikirkan hadiah dari permainan untung untungan bodoh kami, aku jadi menyelesaikan Disertasiku lebih cepat dari yang kukira.
Menyeringai, kuperiksa pasport serta kartu keterangan identitas yang lain.

Kesempatan langka, bepergian sendiri…

Kakakku tidak boleh tahu, Aku tidak ingin merepotkannya,
Aku sangat menyayanginya dan tidak ingin dia lebih susah lagi karena aku.
Sejak kecil kakak selalu bekerja keras untuk hidup kami berdua,
Lagipula kami ada di Negara yang sama, kalau beruntung, mungkin aku bisa bertemu dengannya,
Aku tersenyum, membayangkan betapa kaget kakak dan akan seperti apa wajahnya jika ia melihatku dihadapannya, mungkin ia akan kaget karena aku bisa bepergian seorang diri tanpa menunggunya.



Jika menyangka hanya kakakku yang Brother Complex, salah besar.
Karena aku juga



Aku cengengesan sendiri, tanpa sadar sehingga pak tua yang duduk disampingku memandangiku aneh, sadar akan dianggap sinting, aku cepat cepat kembali memasang wajah serius sambil menyembunyikan tawa dibalik buku.

“Perhatian semuanya! Kita akan sampai sebentar lagi!” Suara empuk seorang gadis menyadarkanku dari lamunan, aku menoleh untuk melihat siapa yang berbicara,
Ia seorang gadis biasa, Melihat badannya yang sintal tapi berlawanan dengan wajahnya yang polos, aku hanya terpikir kalau dia pastilah tipe kak Ari, walau kakak tidak pernah secara khusus membicarakannya padaku tapi aku sering memergokinya memandangi perempuan dengan perawakan montok dan rambut panjang bergelombang model wavy,

“Jangan lupakan barang barang kalian, ya, awas ada yang ketinggalan,” Gadis itu mengingatkan, aku tidak menggunakan lensa kontakku hari ini makanya diawal tadi aku tidak begitu memperhatikan,
Harusnya aku foto saja ya, kenang kenangan untuk kakak… Aku tertawa dalam hati,

Buku bacaanku terlupakan,
Terus memperhatikannya beberapa lama sampai akhirnya boat yang membawa kami berhenti ditepian sungai Kwai,

Aku memunguti bungkus makanan ringan dan bukuku segera, karena barangku banyak jadi butuh waktu,

“Aku bantu,” Tangan mungil membantu memunguti dan menyodorkan buku buku milikku, aku menerimanya sambil mengucapkan ‘Terima kasih’,

Aku melirik, gadis Wavy itu lagi, senyumanku mengembang jadi cengiran ringan, ia ikut tersenyum ramah sambil lalu, perlakuan istimewa kepada Turis.

“Daina! Kemarilah!” Beberapa orang ditepi sungai memanggilnya, Gadis itu bergegas hendak keluar dari Kapal boat, sialnya, kakinya malah tersandung tas besar milikku.

Aku menangkap tubuh ringan itu,

Ya, aku tidak bercanda, ia begitu ringan seperti mau tertiup angin.
Mengeluh, wajahnya membentur dadaku,

“Maaf,” Terburu buru aku menyibak rambutnya yang meriap menutupi wajah, ia masih kaget, spontan memandang kearahku.

“Terima kasih…” Kata kata itu hampir tak terdengar, ia sepertinya sibuk memandangi wajahku, seperti terhipnotis, aku sudah terbiasa dengan reaksi semacam itu, pasti sebentar lagi ia akan…

“Maaf?” Tanyaku memintanya melepaskanku, aku sudah menyiapkan alamat E-mail,
Dan Gadis itu seperti tersengat listrik, mendorongku menjauh, aku masih bisa melihat semburat merah muda dipipinya yang putih.


Dan ekpresi ketakutannya,


Huh?


Apa aku menyakitinya?


Tanpa bicara lagi, ia berlari, menjauh dariku, padahal aku belum sempat minta maaf.
Tunggu, tunggu, hampir semua yang melihatku biasanya luluh dalam satu tatapan, tapi baru sekarang ada yang lari terbirit birit begitu,
Aku jadi melongo seperti orang bodoh, kebingungan.


+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:22 am

Daina.


________________________________________
___________________________________



Apa itu tadi? Apa itu tadiiii?
Keringat dingin membasahi tubuhku, Aaaaa!
Aku baru kali ini bertemu orang setampan itu!

Aku memegangi dadaku, tertekan, malu sekali rasanya,
Kukira hanya ada didalam buku cerita....

“Ada apa, Daina?” Ibuku yang sedari tadi memanggilku hanya geleng geleng kepala, “Beberapa orang Turis yang datang sudah kau tawarkan penginapan kita?”

Aku tersentak, “Aaaa!” Pekikku, “A… aku lupa!”

Ibu menghela nafas, “Kau sedang tidak enak badan?” Dengan penuh kasih sayang ibu menekan telapak tangannya pada dahiku, mengukur tingkat kehangatan disana, “Tidak panas, sih, kalau kau sedang tidak bagus, biar ibu saja yang gantikan…”

“Jangan!” Potongku, “Ibu sedang capek!” Tidak perlu kujelaskan betapa aku menyayangi kedua orang tuaku, ayahku sakit sakitan sejak beberapa waktu yang lalu, Ibuku menjalankan usaha penginapan kecil kami seorang diri, aku tidak boleh menambah bebannya dengan malas bekerja,
Aku harus menemukan tamu yang banyak, supaya kami tidak kesulitan.

“Aku akan pergi, tak apa, aku hanya terlalu bersemangat berlari…” Aku memeluk ibuku dari belakang dengan penuh kasih sayang, aku dibesarkan dengan cara dimanja dan dilimpahi rasa cinta tak terbatas dari kedua orang tuaku.
Walaupun ceroboh, aku ingin bekerja keras,
Aku tidak boleh egois dan merepotkan mereka…
Beginilah jika kau menyayangi seseorang bukan? Kau selalu menginginkan yang terbaik untuk mereka.

Sudah tugasku sebagai anak, penuh terima kasih kuciumi tangan Ibu yang membelaiku hangat.
Ibu mengelus tanganku, hendak menyuruhku untuk berhenti berpura pura, tapi aku segera bangkit dan berlari menjauh.

“Jangan lupa makan siangmu, bu!” Teriakku, melihat kearah wanita yang melahirkanku, ia tersenyum lembut.

Celinguk celinguk, tampak olehku beberapa orang yang juga sepertinya sedang kebingungan mencari cari tempat menginap.
Mereka kelihatannya satu keluarga, aku menyelusup masuk diantara kerumunan, menawarkan bantuan pada mereka, yang dengan senang hati menerimanya, kurogoh tas kecil yang menggantung dibahuku, memberikan peta dan brosur.

Selesai satu, syukurlah, kaki telanjangku melangkah melihat kesekitar,
Kemudian kuhampiri sekumpulan laki laki yang tengah mengobrol, mereka tinggi besar, berkacamata hitam dan sepertinya bukan orang Thai, mereka kelihatannya juga orang asing, terlihat dari cara bicara mereka yang tidak menggunakan bahasa setempat,
Tapi kebanyakan Turis yang datang kemari memang begitu,
Kami mungkin tidak menawarkan pariwisata naik gajah atau semacamnya disini, tapi banyak hasil bumi seperti rempah dan karya seni kerajinan tangan terbaik seperti pahatan maupun tenunan yang bisa kau beli dengan harga murah lalu kau jual kembali dengan harga tinggi diluar sana.

Makanya pedagang pedagang sangat suka main kemari.
Dan usaha kecil keluargaku hidup dari orang orang yang datang kemari untuk berdagang.

“Gagal? Apa maksudmu gagal? Apa Gustavo tidak bisa membawa barangnya kemari segera?!” Salah satu dari mereka berteriak, “Harus berapa lama lagi kita terkurung ditempat tengik seperti ini!”

“Bersabarlah, Hendrix, kudengar Gustavo tertangkap di bandara Don Mueang, Orang yang menangkapnya kudengar seorang bocah, nasib kita memang sedang sial, tapi berikutnya tak akan lagi,”

“Pastikan pengiriman barangnya sampai tepat waktu.”

Mereka bicara apa? aku tidak tahu...
Haruskah aku mencoba?
“Permisi…” Aku menyela, “Apakah Tuan tuan sekalian sedang membutuhkan tempat untuk bermalam? Karena aku…”

Tetapi sebuah dorongan keras menyentakkan tubuhku,

“Apa kau tidak lihat kami sedang bicara?! Pelayan tidak tahu adat!” Mereka memaki dan memaki, belum habis kekagetanku, salah satu dari mereka menarik tas yang kubawa serta melemparkannya kearahku, kertas brosur penginapan kami bertebaran diatas tanah.
Kelihatan sekali kalau saat ini aku sedang menjadi bahan pelampiasan kemarahan.

“Tunggu, Hendrix,” salah satu dari mereka menghentikan lelaki yang bernama Hendrix itu, kemudian ia mencekal pergelangan tanganku. “Kau tidak sadar? Dia ini cantik sekali…”

Hendrix terdiam, Matanya memandangiku nanar, “Kau benar…” Katanya pada si teman, lalu Ia mendekat, menyentuh daguku dengan wajah bernafsu, “Apa penginapanmu juga melayani bantuan ditempat tidur?” dalam sepersedetik, melakukan tepukan dibagian bokong,



Aku tersentak, merasa terhina sekali.




“Dia bukan wanita seperti itu,” Yang aku tahu berikutnya, cekalan keras yang menahan sebagian tubuhku tiba tiba terlepas, kekuatan aneh seakan merenggutku, Aku menoleh kebelakang,

Penyelamatku ternyata seorang laki laki berambut emas,
Orang yang baru saja kuhindari…

“Bisa tolong lebih hormat lagi? Dia memang bertugas membantu, tapi ia bukan pembantu,” katanya sopan.

“Bocah cantik kurang ajar, kau berani beraninya menasehati kami?!”

Tapi pemuda yang saat ini sedang berada dibelakang sama sekali tidak menampakkan sorot mata ketakutan,
Sebaliknya malah, ia tersenyum semakin menantang,
Entah mengapa, aku merasa aman berada didekatnya,

“Sudahlah, Hendrix,” Tegur Jorge lagi , “Sebaiknya kita cari saja tempat bermalam, jangan buat masalah sekarang,”

Kelima orang lelaki tinggi besar itu berlalu dengan wajah kesal,




“Beraninya sama perempuan,” Pemudia disampingku berkacak pinggang, senyumannya membakar dibawah cahaya matahari.

“Oh, maaf,” katanya melepaskan tanganku yang tanpa sadar ia genggam sangat serat ketika ia membelaku barusan.
Aku sudah terbiasa direndahkan sebenarnya, apalagi aku hidup disebuah desa kecil yang jauh dari kota besar, orang tentu memandang rendah, menganggap aku bodoh, lagipula aku juga tidak memiliki pendidikan khusus kecuali ilmu baca tulis yang diajarkan kedua orang tuaku,

Memang ada ‘sekolah’ disini, hanya saja, semacam sekolah lepas, kami hanya masuk seminggu sekali pada hari sabtu, belajar bahasa lain selain bahasa ibu, itupun hanya dari keterbatasan pengajar yang rata rata adalah relawan.

Pemuda itu tampak salah tingkah, ia tersenyum lembut menutupi malu, “Aku takkan melakukannya lagi, sungguh,” Katanya padaku, “Maaf sudah membuatmu ketakutan, aku akan pergi sekarang,” Ia mengusap kepalaku sambil berlalu, membiarkan aku berdiri mematung tanpa suara.

Ia menolongmu, Daina, Ia membelamu, Membelamu dari orang yang melecehkanmu.

Aku segera saja berbalik,
Menarik bajunya dan menangis.


+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:24 am

Tasuku.


____________________________________
______________________________




Perlahan aku mengulurkan sekaleng soda kepada Gadis didepanku,
Ia mengusap air matanya, suaranya nyaris tersedak saat mengucapkan terima kasih.
Aku tahu ini bukan saat tepat untuk tertawa, jadi aku hanya bisa duduk disampingnya, menungguinya selesai menumpahkan kekesalannya,
Ia seperti anak anak, kupikir wajar ia marah, lelaki tadi melecehkan sekali…

Kubawa ia duduk diatas rerumputan dipinggiran Desa, ia masih saja sesengukan menangis, meminum soda yang kuberikan, kemudian menyemburkannya.
Sigap, aku memberikannya beberapa helai Tisu.

“Apa ini? Menyengat!” Katanya disela sela tangis, aku terkikik geli, Menyuruhnya minum lagi, pelan pelan, tak berapa lama ia kelihatan sudah menyukai rasanya dan menghabiskan tegukan keempat.

“Sebentar, apalagi yah,” Aku mengobrak abrik isi ranselku, mencari cari sesuatu yang bagus, Gadis didepanku kelihatan menunggu dengan penasaran, masih ada satu dua tetes air mata jatuh membasahi pipinya,

Aku menarik keluar sebuah boneka keramik kecil,

“Lucunya! Apa ini Kucing?”

“Iya, lucu kan! Itu namanya ManekiNeko” Aku bersemangat,

“Tapi kok dia bawa uang?” Gadis itu menyentuh bagian lengan boneka keramik itu yang bergerak gerak, kelihatan terkagum kagum,

“Asalnya dari Jepang, Dia kucing pembawa keberuntungan, disebut juga pemanggil berkah, dan semacamnya,”

“Keberuntungan…”

“Aku tidak percaya sih” kataku cepat cepat..

“Kenapa?”

Ah, ternyata ia memiliki wajah penasaran yang lucu sekali, setidaknya sekarang ia lupa tentang hal hal menyebalkan tadi,
Aku senang,

“Karena tidak ilmiah,” Aku mengangguk angguk, “Tapi orang Jepang percaya sekali, loh, mereka percaya kalau diletakkan didepan toko, bisa mengundang uang dan pembeli, Hey, yang satu ini agak spesial”

“Mengapa spesial?”

“Warnanya merah jambu…” Aku berkata lirih, “Semua percaya kalau warnanya merah jambu, ia juga mendatangkan keberuntungan dalam soal percintaan,”


Wajah gadis didepanku menjadi merona, tapi matanya mengerjap ngerjap lugu,
Benar kan, wanita selalu suka cerita seperti ini…

“Kau pernah ke Jepang…?” Ia bertanya lagi, aku menggeleng,

“Hanya sebentar, bahasanya mudah dipelajari, budayanya keren, dan mitologinya menarik, lebih menarik dari Yunani kurasa, kakakku yang mengajakku kemana mana, kami sering bepergian, ah tapi kali ini aku sendirian” sambungku karena melihat Gadis dihadapanku celinguk celinguk mencari cari kalau kalau aku sedang bersama seseorang,

“Hebaaaatt…” Ia mengerjap lagi, “Aku ingin juga bepergian ketempat tempat yang jauh, aku tidak pernah kemanapun selain desaku, mungkin…” ia menghentikan laju bicaranya sesaat, “Kalau bisa aku ingin keliling dunia juga sepertimu,”

Aku tersenyum menyemangati, “Ambilah, kucing itu untukmu,” kataku lagi tanpa bermaksud apa apa, “Suatu saat aku akan mengajakmu, kalau kau mau, kan’ kita sudah jadi teman,”

“Teman....? Benar? Tidak apa apa? Wah!” Gadis itu berhenti menangis sekarang, seperti membujuk anak kecil, mudah sekali, aku tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang dengan pikiran paling lurus yang pernah kutemui.


Ia bahkan tidak minta alamat E-mail segala.


“Aku Daina…” Ia mengulurkan tangannya, boneka keramik bulat itu ia dekap erat didadanya, “Kau siapa?”

Aku memandangi jari jari lentik itu sesaat, Tidak ada salahnya, kan....

“TsaraniaKova Gabriel,” Ujarku memberitahu, “Tapi panggil saja Tasuku,”

“Tasuku yaaa!” Daina menangkupkan kedua tangannya, “Khob kun mak krab… ”

Aku nyengir, walaupun aku paham ia sedag mengucapkan terima kasih banyak dalam bahasa ibu Thai, tetap saja melihatnya bicara sangat lucu.

“Eh,” aku menegur, “Kau bilang tadi… keluargamu punya penginapan, masih ada kamar, kah?”

Daina mengangguk, “Tentu! Kau sedang cari tempat menginap?”

“Itu sih tak perlu ditanya lagi…” Aku terkekeh, “Selain itu aku juga kelaparan…”

“Tenang!” Daina menepuk bahuku, “Ibuku masakannya sangat lezat, kau takkan pernah melupakan pernah berkunjung kemari,” Dari caranya membanggakan keluarganya, aku tahu ia anak yang bahagia,
Membuatku nyaman.


+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:25 am

Daina.


________________________________
________________________




“Haaahh! Nyamannya!” Tasuku melemparkan tubuhnya keatas kasur tanpa ragu, sementara aku menata seteko air dingin, gelas beserta baki berisi buah diatas meja samping tempat tidurnya.

“Maaf kalau penginapannya sudah agak tua,” Aku menyibak gorden, seberkas sinar menerangi seluruh ruangan, Tasuku memandangiku sambil rebahan, kakinya bergerak gerak mengais selimut yang berantakan karena ia aktif sekali berguling guling, headset masih terpasang ditelinganya dan ia berguling lagi beberapa kali, “Kalau ada yang kau perlukan, bilang saja,”

“Penginapan Tua? Ini hebat.” Ia menepis ketidak-pede-anku dengan sempurna, “Aku selalu suka yang tua tua,” Kali ini Tasuku mendekap bantalnya, seperti anak kecil, ia menyukai apapun yang baru dilihatnya, semua dimatanya seakan kelihatan bagus, aura maupun sudut pandangnya positif.

Ia mencintai dunia, bersamanya kau bisa merasakan betapa dirimu hidup.
Meskipun kami baru saja bertemu dan kenal beberapa jam, tapi dia kelihatannya mudah akrab dengan siapa saja maupun membuat orang sangat gampang mempercayainya…
Ia memikat dan itu aneh.
Aneh, sangat aneh, dan tetap saja memikat.
Lebih dari yang kau tahu, tanpa sadar kau telah terseret kehangatannya.


Ia tersenyum penuh rasa terima kasih padaku.


“Sebentar lagi pelayan akan datang membawakan makanan, atau kalau kau ingin, kau bisa turun kebawah,”

Tasuku mendadak bangkit dari rebahan, “Bukan kau yang mengantar?” Katanya memastikan, Aku menggeleng kendatipun wajahku memerah karena dari cahaya menembus melalui jendela kamar, aku bisa melihat mata berwarna safir itu memandang langsung kearahku.

“Aku harus mengantarkan makan siang… Umm, ada tamu penting…” Aku membayangkan kak Ari pasti ngamuk berat kalau aku telat mengantarkan makan siangnya,
Apalagi belakangan dia semakin cerewet, yah bukannya aku tidak senang sih,
Kakak menyenangkan, ia juga suka membagikan cerita cerita luar biasa untukku karena ia selalu berkeliling dunia.
Tapi pria didepanku ini, memiliki pesona unik yang sulit ditolak.

“Tapi nanti kau datang lagi, kan?” Tasuku memandangiku, menunggu jawaban, aku tahu ia sedang kebosanan disini, habis orang orang selalu bilang kalau aku enak dijadikan teman.

“Tentu saja,” jawabku, “Aku akan datang sehabis jam makan malam, karena aku… 3 kali sehari harus pergi ke pinggiran desa untuk mengunjungi tamu ini,”

Tasuku tidak membantah, ia hanya menggerakkan bola mata biru lautnya kelain tempat, terlihat malas berdebat, “Tidak usah suruh siapa siapa kemari, Aku rasa lebih baik aku sendiri yang akan turun kebawah untuk melihat lihat.” Ia membetulkan letak headsetnya, mengalah.


Bagus begitu, Tasuku anak baik…



“Dan bisakah kau tidak mengijinkan siapapun masuk kekamarku?” Ia menambahkan, “Kecuali kau,”

“Kenapa?” Aku sangat penasaran.

Tasuku meraih ranselnya, “Aku sedang mengadakan penelitian kecil disini, Aku hanya tidak suka ada yang menyentuh barang barangku sembarangan meskipun hanya untuk membersihkan kamar.”

“Siap!” responku segera.

“Terima kasih.” Tasuku memperlihatkan cengiran khasnya, ia meniruku menangkupkan kedua tangan didepan dada, menelengkan lehernya sedikit lalu bilang “khob kun tee karuna,” yang artinya ia sangat berterima kasih atas kebaikanku, Logatnya mahir seakan ia orang Thai asli, aku tahu ia mengucapkannya sambil mengejekku sedikit, meskipun demikian aku tidak merasa tersinggung, malah ikut tertawa.


“Pergi dulu, nanti aku boleh liat ya, penelitianmu!” Sambil melambaikan tangan, aku keluar dari kamarnya, Tasuku juga melambaikan tangannya, bahkan ia berkata ‘Thaa-Thaa’ lagi lagi hanya untuk menggoda nada bicaraku yang memang seperti anak anak,


… Ia bisa menyampaikan canda bernada ejekan tanpa membuat orang lain kesal atau tersinggung.

Aku suka caranya, entah mengapa…


-
-
-
-
-
-
-


“Kau terlambat, bulat.”

Kak Ari memasang tampang cemberut itu lagi!
Aku menunduk, ia telah menyelesaikan acara makan siangnya dan sekarang tengah bersantai diserambi rumah, menungguku yang tengah membereskan peralatan makan.

“Aku sudah menunggumu dari tadi, harusnya kau jangan sampai terlambat, kau tahu kan’ aku lapar, apalagi disini dekat dengan sungai, kau tidak tahu betapa membosankannya mendengarkan cekikikan ibu ibu yang sedang cuci baju itu menggosip, mau tidur berisik, menunggumu sambil kelaparan,”

“Aku juga jalan kaki,” sahutku setengah kesal dan ingin menangis, “Dua kilometer! Mau copot rasanya, lagipula kakak kan’ bisa memasak sesuatu dulu sambil menungguku,”

Mungkin melihatku yang mulai menggenangkan air mata, mungkin juga karena kasihan, entahlah,
Yang jelas detik berikutnya tubuhku terangkat,


kakak menggendongku,



“Kakak!” Aku menjerit keras sekali, “Ini apaan sih, Turunkan Daina!”

Ia benar benar menurunkanku detik berikutnya.

Atau lebih tepat lagi,
Menghempaskanku dengan kasar

…keatas ranjangnya.


Aku menatapnya tidak mengerti, kak Ari membalas tatapanku, lalu ia berbalik kearah dapur, “Kalau kau bergerak dari situ selangkah saja, lumba lumba, aku benar benar akan memotong kakimu,” ancamnya.

Kepalaku berdenyut karena sudah dilempar sedemikian kasar, disebut lumba lumba pula...
Bertanya tanya dalam hati apa kiranya yang ingin dilakukannya terhadapku, aku memegangi dahiku.
Hari ini aku sedikit pusing karena walaupun hari sudah sedikit sore, matahari cukup menyengat, mungkin Ibu benar, Daina terlalu banyak kegiatan,
Membawa kapal, mencari Turis dan lain lain... umm...

Tak berapa lama kemudian Kak Ari kembali membawa sebaskom air hangat, ia menarik kakiku hingga setengah tubuh bagian bawahku otomatis terjulur kelantai,
Kasarnya tidak berubah, seakan ia tidak mengerti aku ini wanita atau apa,
Aku bangkit membenarkan posisiku, dan- walaupun ia sepertinya tidak peduli soal itu- membetulkan terusanku menutupi bagian paha dalam, aku duduk ditepi ranjang, membiarkannya merendam kedua kakiku didalam air.

Benar saja, begitu mata kakiku menyentuh air hangat, perasaan lega melingkupiku,
Tidak pernah ada yang sebaik ini sebelumnya, kecuali Ibuku...
Rasanya semua lelah melayang keluar melewati ubun ubun, aku memandang langit langit pondokan, pikiranku terbang entah kemana sementara kakak mengelus kakiku pelan, terkadang sambil melakukan pijatan ringan.

“Enak?” Ia bertanya, tampangnya setengah hati, aku mengangguk angguk, wah hangat, wah, nyaman,
Kak Ari tersenyum mengejek melihat reaksiku, “Tutup matamu,” perintahnya,

Aku menutup mataku begitu saja seperti kucing peliharaan,
Kakak memang sangat tampan tapi perangainya buruk dan dingin, kadang juga suka marah marah tidak ramah,
Walau demikian, ia memiliki kelembutan yang sangat jarang diperlihatkannya, seperti sekarang,
Aku suka dibuat nyaman, dimanjakan, makanya aku menurut,
Kalau aku anak ayam pastilah amat sangat beruntung jika ia yang menjadi indukku, aku tertawa sendiri memikirkan hal itu.
Lagipula aku tak punya kakak… Kalau aku benar benar punya saudara laki laki mungkin akan seperti ini rasanya…

Hangat menjalari bagian kakiku, kak Ari melanjutkan memijatnya pelan.

“Nghhh…”

Penasaran, aku membuka sebelah mataku dan mengintip, “Kau punya adik?” Tanyaku, Kak Ari memandangi betisku, aku terkejut mendapati sorot matanya sangat lembut.

“Punya…” Ia menjawab, suaranya lirih sekali,

“Seperti apa dia?” Tanyaku ingin tahu,

“Seperti kau,” Sekilas terlihat wajah tampan itu tersenyum, “Dia idealis yang hidup didunianya, pikirannya putih tanpa cela, Ia selalu ingin membahagiakan banyak orang, memikirkan banyak orang, Kau takkan menemukan alasan mengapa kau tak mencintainya…”

Ah, aku mengerti.
Adik perempuan yang manis, kalau begitu? Kelihatannya kepribadiannya cantik sekali…
Aku membayangkan, mungkin seorang Gadis remaja yang terpelajar, tuan puteri sempurna, hidup dalam lingkungan terbaik disertai perlindungan kakaknya...
Aaa, mengapa dibilang mirip aku? Aku kan hanya anak kampung!
Apa mungkin aku dan adiknya seumuran sehingga ia melihat kami ini mirip? Ya, ya, pasti begitu…

“Apa kau juga melakukan ini pada adikmu?” Tanyaku lagi,

“Ya…” Kak Ari memberikan tekanan pada suara baritone-nya, ia kedengaran agak serak sekarang, seperti menahan diri untuk tidak menelanku, “Terkadang,”

“Kau kangen adikmu, ya?”

“Sangat,” ia menjawab, sorot matanya penuh rasa kesepian, aku bisa merasakan kerinduan pada nada bicaranya,
Terpisah dari keluarga pasti berat sekali, ya…
Kakak juga masih muda, pun demikian, bebannya tampak banyak sekali…

Tiba tiba muncul ide bodoh dibenakku,
Aku menggerak gerakkan kakiku tak teratur didalam baskom, kak Ari yang terkaget kaget karena gerakan tiba tibaku langsung berusaha menahan kakiku agar tetap didalam,

“Hei-hei, tenang!” Tegurnya,

Terlambat, percikan hangat itu sudah membasahi wajah maskulin didepanku, Kakak menutup matanya spontan, untuk beberapa saat tetap begitu, kelihatan kesal sekali.
Air menetes netes dibagian wajahnya, meluncur keatas dagu hingga rahang yang kokoh itu.

“Maaf, tidak sengaja,” Ucapku berpura pura amnesia, kemudian aku menggerakkan kakiku lagi, kali ini lebih kasar sehingga air yang terpercik lebih banyak, cukup banyak hingga membasahi rambut sehitam jelaga itu.
Kakak kaget tetapi tidak sempat menghindar.

“Kau…Bulat… Tengik…” Suaranya terputus putus saking kesalnya. “Sengaja…”

Secepat kilat dengan gerakan tak terduga, Ia mencelupkan kedua tangannya kedalam baskom, lalu ikutan menyipratkan air kearahku,
Aku yang tidak menyangka ia akan membalasku dengan cara seperti ini, langsung melotot padanya,

“Hentikan!” Pintaku, “Kakak, aku hanya bercanda...! Kakaaak!”

“Bercandamu tidak lucu,” ia tidak mempedulikan kata kataku, air yang ia percikkan sampai membasahi wajahku semakin banyak, masuk kehidungku dan membuatku terbatuk,
Aku juga kesal,

Sampai selanjutnya kami saling balas dalam perang air yang seru.

“Kelereng gila!” Ia mengumpat, pada akhirnya ia menelungkupkan baskom itu kekepalaku, aku tidak mau kalah, langsung meraih benda yang bertengger tidak sah diatas kepalaku lalu melemparkannya kearah kakak, bodoh aku, kakak terlalu gesit, ia menghindarinya.
Sambil tetap menyumpah nyumpah, anehnya ia tidak bisa menyembunyikan tawanya sendiri, “Sekali lagi kau melakukan itu, kutenggelamkan kau di bak mandi!”

“Lah, yang membuka celah siapa?” Aku tak mau disalahkan, “Lagipula kakak akhirnya bisa tertawa,
Oh yah, kalau kau kangen adikmu… kau boleh anggap aku adikmu jika mau,”

Kak Ari terdiam,

“Mungkin memang aku tidak sehebat adikmu, sih…” aku meralat, membiarkan rambutku dibelai, menunggu tanggapannya,
Merasa bersalah juga sih, mana mungkin anak dusun sepertiku bisa menggantikan... gadis yang hebat sekali sebagai adiknya.
Ya, pasti gadis itu hebat sekali... dilihat dari perubahan air muka kak Ari saat ia membicarakan adiknya...
Ayolah kak... aku ingin kakak mengatakan sesuatu, jangan buat aku malu sendiri begini karena kata kata lancangku...

Kupikir paling tidak akan diejek dan aku sudah menyiapkan hati, ternyata Kakak hanya melemparkan senyuman berahasia padaku, aku tak bisa menebak apa yang dipikirkannya,

“Tunggu disini bocah, kau basah,” ia berdiri, aku tidak tahu ia kemana selanjutnya, dengan badan setengah basah aku berguling diatas kasur empuk kakak,
Sprei nya juga basah… kurasa aku harus memintakan gantinya pada ibu malam ini…
Ketika aku sedang asyik memikirkan bagaimana cara menjelaskannya pada ibuku, kak Ari datang, ia sudah mengganti T-shirt basahnya dengan yang baru.
Ia melemparkan piyama keatas pangkuanku,

“Ini kebesaran,” aku membolak balik piyama yang ia berikan, “Bajumu seperti sprei kalau aku yang pakai,”

“Lalu kau mau jalan jalan pulang dengan penampilan seperti itu? Gulung saja tangan dan kakinya,” Ia menunjuk bagian dadaku, refleks aku menutupi dengan tangan.
Ugh, benar juga, pakaian dalamku tembus pandang begini…

“Kyaaa! Mesum! Jangan lihat!” Bentakku, Kak Ari menyalakan rokoknya, membuang muka sambil duduk diatas jendela besar dikamarnya,

“Menyebut orang lain mesum, Edan sekali…” Ia menggerutu, “Kalau aku ingin memperkosamu juga pasti sudah kulakukan sejak dulu, ada banyak kesempatan,”

Aku mendelik antara kesal dan kebingungan, tapi sejurus kemudian bergumam gumam setuju, “Oh, iya yah… benar juga,”

“Pakai!” Kak Ari memerintah keras keras lagi, membuat tersentak,

“I-iya iyaaa aku ganti!”

++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:27 am

Ari. (Lanjutan)

_________________________
_________________


Bunyi kresek kresek itu sangat mengganggu,

Seorang gadis yang membuatku jatuh cinta sedang ganti baju di kamar mandiku.
Aku menatap kearah semak semak, berusaha tidak membayangkan.

“Kak…” Daina keluar menghampiriku, memang piyamaku cukup tebal sehingga tidak ada lekuk tubuhnya yang terlihat, tapi saking longgarnya, ia benar benar seperti terlihat menggulung dirinya yang mungil itu memakai taplak meja makan besar.

Oh fvck,
Imut.


Sial, sial, sial,
Serba salah begini.
Pakai apa saja dia bagus…


“Bagaimana? Bagus tidak?” Daina berputar putar, dimataku terlihat seperti perpaduan antara ikan lumba lumba dan mermaid. Lucu banget, mampuslah aku.

“Mirip Casper,” Komentarku.

Pipi Daina lagi lagi menggembung tidak senang,

“Kalau saja kau pangeranku, pasti tidak akan bilang begitu!”

“Siapa yang pangeranmu?” Aku mendelik, tidak mau ketahuan bahwa saat ini sedang senang.

Daina menggeleng, “Aku bertemu pangeran hari ini,” ia menerawang, kelihatannya sedang mengigau disiang bolong,

“Teman khayalanmu lagi?”

Daina mendorongku hingga aku nyaris terjatuh keluar, aku berpegangan pada bingkai jendela untuk menahan badanku agar tetap stabil.

“Bodoh kau, Casper, jatuh nih!”

Gadis itu berlagak tak mendengar, “Sudah sore,” Daina berpegangan pada tubuhku, setengah memeluk, setengah menyeruduk, “Aku pulang dulu,”

“Nanti malam kau tidak usah membawakanku makanan, gadis keluar malam hari bahaya,” Aku mengusap kepalanya perlahan, Daina menggesek gesekkan hidungnya diperutku, membuat nafasku seakan terlilit.

“Sprei mu harus diganti dengan yang baru,” ia seperti anak kucing dan aku ibunya, semakin senang menggesek gesekkan wajahnya, Aku kegelian tapi kutahan,
kalau kubilang geli ia pasti berhenti…

“Itu cuma basah sedikit,” aku mengingatkan, Daina mengangkat wajahnya, rambutnya yang panjang bergelombang jatuh ditanganku,

“Baiklah… Sampai nanti kalau begitu?” ia menatapku dengan mata itu lagi.
Bertanya secara tidak langsung, ‘apa kau yakin?’
Mata malaikatnya…

Bahaya, Ar, Kau disini untuk… kerja.

Tasuku akan benar benar menertawakanku.

“Ya, tidak usah, besok saja, Tidak baik.”

Daina menggigit bibir bawahnya, ragu.
Ia sudah akrab dan percaya padaku, sulit memang…
Ia memelukku lagi, “Aku menyayangimu,” Katanya polos.

Bagaimana ini,
Semakin lama aku semakin tertarik dalam pesonanya.
Tasuku, apa yang harus kulakukan?

+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:28 am

Tasuku.

Pukul 08:15 malam.

______________________________
_______________________




Kedai nampak ramai pada jam segini, aku mengunyah makananku, memperhatikan orang orang berlalu lalang, merekapun kebanyakan turis, benar kata Daina saat ia bercerita padaku dalam perjalanan kemari.

Daerah ini ramai dengan pedagang,

Aku tertidur begitu saja ketika Daina meninggalkanku tadi siang, saking capeknya rasa laparku sampai terlupakan,
tidak sadar begitu aku bangun, hari sudah gelap,
aku bergerak seperti ular kekenyangan, padahal aku lupa makan siang.

Betapa malasnya.

Menutup jendela kamar kemudian menyalakan lampu.
Bahkan aku malas mandi… apa yang dikatakan kakakku yah kalau dia tahu aku juga bisa secapek ini?
Rasanya tidur seabadpun tidak akan cukup pada saat kau sedang kelelahan.
Meskipun demikian suara perut keronconganku tidak dapat kuhentikan.
Lapar…

Aku hanya sarapan roti tadi pagi, dan cemilan yang banyak, mana cukup, aneh sekali padahal aku seorang dokter, ditilik dari sudut pandang medis cara hidupku belakangan ini sungguh tidak sehat.
Setelah mencuci muka dan merapikan rambutku seadanya, aku turun kebawah,

Begitulah bagaimana aku berakhir dimeja ini.
Memesan sepiring sosis dan kentang, makan seperti orang 3 tahun tak pernah makan, dan minum segelas besar susu.

Pada makan malam.

Kakak sering bilang bahwa aku tukang makan,

kalau sudah kerja lupa waktu, tapi ketika makan porsiku dua kali lebih banyak bahkan dari kak Ari sendiri.
Kakakku makannya sedikit, tapi skill memasaknya tingkat dewa.
Aku suka minum susu, sampai sampai kalau sarapan aku hampir selalu menambahkan susu banyak banyak, kakakku sebaliknya, lebih suka kopi,
bagaimanapun kopi tidak sehat, aku sering mengingatkannya tentang ini, tapi ia tak pernah menggubrisku, dia beralasan bahwa aku sendiri kalau makan nggak kira-kira, aku tertawa sendiri melihat sepiring sosis dihadapanku.
Ah, kak… kalau otakku tetap jalan seperti sekarang tentu saja makan apapun tidak masalah, tak akan jadi gemuk, Aku membakar kalori dengan berpikir dan berpikir.
Kolesterol dan lemak jahat benci padaku…

Kalau aku punya pacar, aku ingin pacarku makannya banyak juga supaya imbang,
Aku benci wanita menahan diri hanya karena takut gemuk, memesan sepiring salad pada saat aku sudah menabung berbulan bulan demi mengajaknya makan seporsi steak yang lezat.

Kupikir kalau kak Ari punya pacar nanti, kurasa ia lebih baik mencari wanita macam ini juga…
Ia akan sangat dihargai karena kemampuannya dalam bidang kuliner.
Jika tidak jadi prajurit bayaran, kakak akan sukses sebagai koki, oh tidak, dia akan ngambek berat kalau aku mengatakan hal ini padanya.

Mataku tertuju pada sosok yang barusan saja berlari melewati pintu,

Daina menyerahkan sekantung belanjaan kepada wanita yang mirip dengannya, jelas sekali itu adalah ibunya, nafasnya terengah.
Kemudian matanya bertemu lagi dengan mataku, ia tertawa.

Gadis berambut panjang bergelombang itu menatapku lama sekali sebelum ibunya menepuk bahunya untuk menyadarkan, ia tersenyum malu malu,
Aku membalas senyumannya, mengangkat gelasku ramah.

Sang ibu mengajaknya bicara, seperti menanyakan sesuatu, kelihatannya mereka membahas stok bahan makanan atau apalah, kemudian wanita tua itu bergegas masuk kedapur, meninggalkan anak gadisnya seorang diri didepan meja kasir.

Daina mengangkat bahu, ia meraih teko susu disebelahnya, lalu berjalan menghampiriku,

“Bagaimana rasanya?” ia melirik piringku, “Tidak buruk kan?”

“Diatas ekspektasiku,” aku mengibaskan tangan dengan gaya ‘no problemo’. “Ada masalah didapur?”

Daina menuangkan susu kegelasku, aku memperhatikannya sambil melipat tangan didada.

“Stok daging habis,” ia memberitahuku, “Padahal kami perlu, yah ibuku sedang menghubungi kenalannya, tamu sedang banyak malam ini,”

“Syukurlah, Artinya usaha keluargamu sukses.” Tukasku memuji,

Daina memandangiku, “Bisakah kau menunggu sebentar lagi?” pintanya manis, “Pekerjaanku harus tuntas terlebih dahulu baru bisa mengobrol,”

Aku menaikkan alis, Ia percaya diri, aku belum bilang bahwa aku sengaja menunggunya kan…?
Sambil memasukkan sepotong kentang panggang dalam mulutku, aku mengangguk,
Sama sekali tidak membantah,
Merasa lucu, Gadis ini pastilah tidak menyadari akan kekuatan yang dimilikinya,

Aku menunggunya, santai saja memain mainkan ponselku,
Kak Ari sedang apa yah sekarang?
Pertama kalinya aku tidak cerita pada kakak mengenai kedatanganku kesini,
Lagipula kakak sedang jatuh cinta, itulah satu satunya alasan bahwa kakak tidak akan pulang tiba tiba,
Ia pasti memberitahuku, aku punya banyak waktu disini, lagipula aku sengaja memilih ke Thailand, Negara yang sama dengan kakakku berada, supaya bisa lebih mudah menghitung waktu keberangkatan dan kedatangannya,

Kakakku jatuh cinta…
Aku menopang daguku dengan tangan,
Hmm… seperti apa wanitanya?
Aku penasaran…

Bicara soal wanita, disinipun ada yang menarik,

Aku memandangi Daina yang kesana kemari dengan celemek terpasang ditubuhnya,
Ia rajin dan cekatan, ia juga mungil dan mudah menyelipkan tubuhnya ditengah tengah kerumunan hanya untuk mengantarkan pesanan orang lain.
Dari tatapan mata para lelaki padanya, aku sangat tahu.
Mungkin ia bunga desa disini…
Ya, ia sendiri tidak menyadarinya, tapi memang seperti itu.
Ia sedang mekar-mekarnya, menebar harum kepada siapapun yang berada dekat dengannya.
Rambutnya panjang bergelombang diikat kebelakang, Kulitnya putih dan pipinya merona seperti mawar.
Saat ia berada ditepi sungai kemarin, samar samar aku ingat rambutnya agak basah.
Bukannya kejam, tapi aku tidak bisa menyalahkan juga kalau orang lain ingin melakukan apapun demi mendapatkannya
Walau aku tidak sampai berpikiran kesana.

Ia mencatat menu dengan cepat, menyerahkannya tanpa kesalahan seakan ini sudah pekerjaannya seumur hidup.
Aku mengerti, dari etikanya pada Ibunya saja kelihatan, Daina mencintai keluarganya.
Tak tahan, aku mengembangkan senyumanku untuk kesekian kalinya,
Daina juga sama, sadar mataku selalu mengekor gerakannya kemanapun ia melangkah.
Kami saling menyembunyikan tawa satu sama lain.
Bukan, bukan karena aku sedang genit tentu saja, aku tidak enak karena gadis itu terus terusan memandangi dan tersenyum padaku.
Aku hanya ikut ikutan, kok, tidak sopan kan kalau aku membuang muka?
Aku bertanya tanya kapan selesainya, tanpa kusadari aku malah keasyikan berbagi mata dengan Daina.
Aku terus memandangi sampai makanan dihadapanku yang masih tersisa setengahnya tak terasa menjadi dingin.

Sekitar 25 menitan kemudian,
Wanita berusia paruh 30-an datang, Daina menyerahkan celemek yang ia kenakan pada wanita itu, Ibunya bicara padanya, kelihatannya ia sudah dibebas-tugaskan.
Karena saat ini ia melangkah menuju mejaku.

“Tidak dimakan?” Ia menunjuk makananku, aku teringat,

“Oh, yah,” aku buru buru menyendok sosis lagi, Daina tertawa, ia meraih kentang dipiringku, ikut memakannya,

“Masih enak,” katanya mengangguk angguk, “Aku lapar,” ia menggeser kursi disebelahku kemudian duduk, “Aku makan, yah… Tenang, kau bayar setengah saja,” membuka mulutnya lebar lebar,

Aku ternganga, takjub.
Dia barbar, tapi manis, haha…

“Kenapa namamu Tasuku? Maksudku… Dipanggil Tasuku itu susah sekali,” Ia mulai berceloteh, “TsaraniaKova Gabriel, sangat keren,”

Berdehem, aku senang ia terkesan dengan namaku, “Karena TsaraniaKova sangat sulit diucapkan, Kakakku jadi memanggilku Tasuku sejak kecil,”

“Aku kira kau dipanggil Tasuku karena wajahmu imut,” ia memuji,

“Mungkin, kau merasa begitu?”

Daina mengangguk senang, “Tidak tahu,” ia menundukan wajah, “Tasuku, kelihatan seperti nama orang jepang…”

“Mungkin begitu, tapi siapa peduli? Dizaman sekarang ini, kebudayaan bercampur,” Aku mengaduh, Daina mendorong bahuku saat aku tergelak, tidak setuju.
Kemudian ia menatapku takut takut,

“Kau punya sesuatu yang jarang dimiliki orang disini,” Daina menunjuk matanya sendiri, aku paham.

“Ini?” Aku menutupi mataku, membuat gerakan ci-luk-ba, Daina tertawa, “Ini mata ayahku, dia orang Rusia… kakakku malah lebih mirip ibu, rambut hitam, mata hitam, aku kadang iri dengan warna mata dan rambutnya, kakakku luar biasa tampan, tapi masih manusiawi,” aku sedikit bercanda dengan gaya sok tahu, sayangnya gadis dihadapanku menanggapi kelewat serius,

"Ya... kau... kelihatan..."

"Tidak nyata?" Sambarku cepat, ia mengangguk setuju, "Terima kasih, itu cukup membuatku stress,"

“Indah sekali…” Daina tiba tiba mengiyakan seraya memajukan tubuhnya, ingin melihat lebih dekat, lalu tangannya menjulur kedepan, mengelus rambutku yang berwarna keemasan,

“Ini juga asli ya?”

“Tentu sajalah…” Aku mendelik, tertawa.

Aku tahu warna rambut dan mataku memang mencolok disini, tapi seumur hidupku, aku nyaris tak pernah membiarkan orang lain berbuat sejauh ini, kecuali mungkin kakakku.
Dorongan yang kurasakan berbeda, meminta untuk disentuh, ingin tahu mengapa ia begitu tertarik tapi tidak berani meminta apapun dariku.

Penasaran tentang rasa penasarannya.

Sebenarnya aku... tidak pernah suka warna rambut dan mataku, aku lebih suka warna rambut dan mata kakak...,
tapi gadis ini kelihatan sangat menyukainya... aku tak mengerti.

Dipojok ruangan aku dan Daina duduk, semua orang juga nampak sibuk dengan urusannya masing masing, biarlah, ada yang melihatpun, toh ia hanya menyentuh rambutku,
Apa istimewanya?

Daina berterima kasih padaku,

“Untuk apa?” Aku tergelak.

“Karena telah bersedia memperlihatkan,”

Aku tergelak lagi.


Kami berdua dikejutkan oleh suara suara berisik dari meja kasir,
“Berapa lama lagi kami harus menunggu?!” Lelaki tinggi besar berambut abu abu berkacamata hitam itu menggebrak meja, Aku mengenalinya sebagai orang berperangai kasar yang bersinggungan denganku dan Daina ketika aku baru saja tiba disini,
beberapa pelayan menjawab ketakutan.
“T-tunggu sebentar tuan, sambungan telepon memang agak gangguan pada jam segini, sedang diusahakan…”

Lelaki itu mengempaskan dirinya gusar diatas kursi, berkata dengan nada mengancam.
“Usahakan! Kalau tidak kau akan melihat tempat ini hancur berkeping keping!”

“Hendrik…” Lelaki lain, aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, ia menggunakan topi tinggi dan jangkung, rambutnya panjang hitam, setelan jasnya nampak resmi, menepuk bahu temannya, ia kemudian berbisik kepada pelayan didepan mereka,

“Maafkan temanku ini,” Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyelipkannya dalam tangan si pelayan.
Kelihatannya keempat rekannya, kecuali pria yang dipanggil Hendrik menampakkan wajah setuju atas tindakannya,
Aku menarik nafas lega, setidaknya diantara mereka berlima masih ada satu yang kelihatan waras.

Aku kembali mengalihkan pandanganku kepada lawan bicaraku.
Daina nampak tegang, kelihatannya ia ketakutan.

“Mereka sampai sini juga?” Aku bertanya,

“Mungkin…” Daina bersedekap, ia terlihat benci melihat orang berteriak teriak didalam penginapan milik orang tuanya. “Aku juga tidak tahu…”

Kuperhatikan ia menatap lantai dengan wajah yang sedih, tergerak untuk menghiburnya,
Aku menarik kepalanya sehingga kini ia hanya menatapku,

“Jangan lihat lihat yang tidak bagus,” Candaku, “Aku masih enak untuk dipandang, kan?”
Daina kelihatan kaget, wajahnya kembali merona, bisa kurasakan panasnya melalui telapak tanganku.

Curang sekali, Tasuku, sifatmu jelek.
Menggunakan wajahmu untuk menghibur hati seorang gadis, sekaligus sebagai pengalih perhatian…
Taktikmu murahan, super sangat percaya diri sekali.

Tapi dengan gadis ini, entah mengapa aku merasa bisa.
Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini dengan siapapun sebelumnya, Aku melepaskan sentuhanku pada pipi Daina,
Tentu saja gadis yang semula ingin beramah tamah padaku ini jadi menunduk ketakutan,
Salah tingkah, aku mencoba mencairkan suasana,

“Jadi teringat sesuatu, Ah ya, bukannya kau ingin melihat penelitianku? Mau sekarang?”
Tentu saja aku bicara tanpa maksud apa apa.

Daina tercenung, seperti ragu ragu,
“Tidak,” tolaknya hati hati, “Besok saja, bagaimana? Sudah terlalu malam, tidak baik,” Ia melirik kearah jam dinding berkarat, nyaris pukul 10 malam,

“Ah iya,” aku menyadari kekeliruanku, kecewa, “Ah, tapi, kalau kau, tentu selalu boleh berkunjung kapan saja,”

Daina senang sekali, ia bangkit dari kursinya, merasa tidak enak hati.
yah, kami hanya mengobrol sebentar, ia berkata padaku, “Aku harus tidur sekarang, besok bangun pagi pagi, oh ya, Tasuku, selamat malam,” Masih senyum malu malu yang sama.

“Ya, kau juga,” sahutku,



Jadi begitulah pembicaraan kami malam ini berakhir.
Terlibat dengan wanita tidak jelek juga.


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:29 am

Daina.


Beberapa hari setelahnya,
___________________________
_______________________





Hari berikutnya, kuli angkut barang membawakan kiriman barang barang Tasuku,
Aku membantu pemuda itu membongkar bongkar peralatan.
Kebingungan melihat benda benda aneh yang asing dimataku.
“Penelitian apa yang sedang kau buat sebenarnya?”

Tasuku berhenti menulisi jurnalnya, ia berpaling untuk menjawab pertanyaanku, jawabannya hampir membuatku tertawa, “Virus Undead,” katanya polos.

“Hah?” Tubuhku bergetar ingin terbahak segera, Tasuku memahami,

“Tertawalah, tapi aku sungguh sungguh,” Katanya tanpa tersinggung sedikitpun, “Aku benar benar akan membuat obatnya suatu saat,”

Aku menggulung gulung ujung rambutku menggunakan jari telunjuk, sulit sekali untuk mempercayai kata kata orang ini, tapi aku harus menghormati apapun yang ia percayai, terlalu tidak sopan jika aku mematahkan semangat orang lebih dari ini.

“Aku… maksudku…” Berusaha menjelaskan dan menghapus bekas air disudut mataku, aku mencari cara agar tidak kelihatan seperti sedang merendahkan, akupun tidak suka itu. “Mereka bilang, bahkan Tuhan saja tidak tahu apa obatnya…”

Tasuku mengerinyitkan alis, menatapku, lalu ia menghembuskan nafas seperti lega,

“Mempermainkan perasaan umatnya sampai seperti itu,” Ia tersenyum maklum, “Sifat Tuhan buruk juga ya…”

+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:29 am

Tasuku.

_____________________________
___________________________


"Mempermainkan perasaan umatnya sampai seperti itu, sifat Tuhan buruk juga ya,"

Lagi lagi lenganku dicubit, aku mengaduh, “Tidak boleh bilang begitu!” Tegurnya sopan,
Yang kulakukan berikutnya hanya menatapnya, lama sekali, sampai gadis itu tersadar ia sedang jadi pusat perhatianku sekarang, ia menunduk lagi.

“Ka-kalau itu mimpimu… itu hebat sekali,” Daina bicara asal menutupi kegugupannya.

“Tapi kau tidak percaya,” Candaku,

“Aku tidak ngomong apa apa!”

“Tuh kan, tidak percaya,”

“Memangnya pendapatku penting?” Tukas Daina berani, aku sadar bahwa aku nyaris masuk kedalam perangkapnya.
Jika aku salah jawab sedikit saja, celah diantara kami akan terbuka.

“Atas dasar apa kau percaya?”

Daina meremas ujung roknya, mau jawab apa sekarang?
Aku menanti dengan amat penasaran.

“Karena… Kau memintaku.”

Kau kalah lagi, Tash.
Aku ingin tertawa tapi tidak bisa.
Kepolosannya mengunciku.
Apa ia sedang merayuku? Tidak, percakapan ini tidak direncanakan.

Dan mengapa aku terbawa?

“Aku… mungkin makhluk Tuhan yang tidak sempurna, tapi aku akan membuatnya bangga pernah menciptakanku,” Tanganku bergerak kedepan, agak jahil menarik ujung rambut panjang Daina yang menjuntai.

“Sifat Tuhan memang jelek, tapi itu karena DIA yang maha kuasa,
sisi positifnya, mungkin Tuhan ingin menciptakan situasi yang menarik, karena ia memang seperti itu, jadi sebagai hamba yang baik, aku akan memberikannya tontonan yang memuaskan," selorohku tertawa, candaanku memang aneh tapi beginilah aku, "Kau lihat saja, aku akan menciptakan dunia penuh kebahagiaan untuk semua orang,”

Daina mendengarkan, ia sama sekali tidak membantahku.
Kami berdua sama sama diam disudut kamar, duduk dilantai seperti dua anak kucing kehilangan induk.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:30 am

Ari.

_____________________________________
______________________________



Sebenarnya setiap malam aku mengawasi pembangunan jembatan besar sungai kwai, hanya untuk melihat para pekerja menyelesaikan proyek itu, jembatannya tidak bisa dilewati sementara, jadi bagi siapapun yang ingin menyebrang mereka bisa menggunakan jasa boat atau kapal yang disewakan disekitar sini.
Walau demikian mereka memastikan daerah sekitar diawasi, Tetap saja tidak boleh ada satupun transportasi berlabuh sementara system pengamannya dimatikan.


Aku memperhatikan diantara ilalang dan rerumputan,berkeliling disekitar tepian sungai, jauh dari desa,
Sebuah kapal merapat ditepian, beberapa orang kelihatan berjaga terlebih dahulu,
Aku mendekat penasaran, dari wajahnya, nampak sekali mereka bukanlah penduduk asli sini,

Aneh... bukankah kapal dilarang merapat pada saat mereka melakukan tes pengamanan?
Aku merasa ada sesuatu aktifitas yang tidak seharusnya disini.
Memang bukan urusanku untuk mencari tahu, tapi...

“Selamat malam,” Aku menyapa santai, akhirnya.

Lelaki lelaki itu terkesiap kaget,

salah satu dari mereka menggunakan topi tinggi dan jas panjang berwarna hitam,
Tasuku akan mengatakan bahwa pria itu cocok dengan Dr.Jekyll jika melihatnya.
Ia berinisiatif untuk menyambutku duluan,
Atau mungkin aku dapat mengartikannya sebagai sifat defensif seseorang yang melarangku mendekati kapalnya.

“Selamat malam juga, Tuan, malam yang indah, eh?” Ia tersenyum lebar menyambutku,

Aku hanya menbalasnya dengan senyuman tipis, duduk diatas batu besar tak jauh dari tempat mereka berkumpul, “Malam yang indah pula untuk mengerjakan sesuatu yang khusus,” aku mengisyaratkan kearah kapal. “Sedang membawa apa?”

“Oh, itu hanya muatan gula dan beras, Mr...”

“Aryanov Gabriel,” Aku memperkenalkan diri, Berdiri dan mengulurkan tangan, senyumku pasti tampak konyol sekarang karena dibuat buat.
Aku tidak bisa memaksakan diriku tersenyum pada orang asing, aku bukan Tasuku.

Baru saja lelaki jangkung itu menyambut uluran tanganku, aku melangkah mendahuluinya dari samping, “Boleh kulihat apa isinya?”

Detik yang sama ia mengacungkan senjata padaku, sama seperti aku yang juga mengacungkan pistolku kearahnya.
Sudah kuduga ada sesuatu tidak beres…

“Tak apa kan, kalau kuperiksa?”

“Hentikan itu, Gentleman,”

Baik teman teman si topi mencoba bergerak, tapi melihat kesungguhanku mereka tidak berani melakukan apapun terhadap kami.
Coba saja, si topi menarik pelatuknya, maka aku juga.

“Berhenti, ada apa ini?” Dari balik rerimbunan pepohonan, sosok lelaki berpakaian seperti petugas polisi muncul, Lelaki bertopi dihadapanku menurunkan senjatanya, Ia membungkuk memberi hormat,
Aku tidak terpancing untuk mengikutinya, tetap waspada terhadap sekelilingku,
Tampaknya petugas dihadapanku membacanya, keraguan pastilah terlihat jelas.
Karena ia segera mengeluarkan tanda pengenalnya.

Dari lencana kepolisian yang berkilat ditangannya, aku tahu betul itu asli,

“Tidak ada apa apa, aku hanya penasaran dengan isi kargo ini,” aku menarik kembali pistolku, “Semua aktifitas pengangkutan biasa terjadi antara siang hingga matahari terbenam, mereka memberlakukan jam larangan kegiatan pada saat masa percobaan dimana system pengaman dilonggarkan,
Aneh sekali, ada yang datang ditengah malam bawa barang banyak.” Mataku melirik dingin kearah muatan kapal mereka, besar sekali peti kemasnya, hanya ada sebuah, tapi Kau bisa menaruh apapun tanpa dicurigai didalam sana,

Bahkan manusia.

“Tidak ada yang perlu dipermasalahkan,” Pak petugas yang baik hati langsung meng-counter ucapanku, “Mereka hanya membawa gula dan bahan pangan lainnya, ini biasa terjadi setiap beberapa bulan, ”

“Bahkan ditengah malam?” Aku memicingkan mata,

“Jaga mulutmu, anak muda” Tegurnya, ah, sekarang aku yang salah? “Kau terlalu dini untuk mengawasi semua kegiatan bongkar muat didesa ini, ini desa kecil, nak, kami tidak punya jadwal khusus dalam perdagangan seperti pelabuhan resmi.”

Ya, sepertinya aku yang salah.
Tapi tidak.

“Aku dibayar untuk memusnahkan apa saja yang mencurigakan,” ngototku, “Setidaknya aku ingin melihat dulu dengan mata kepalaku sendiri,”

Si topi tersenyum, ia memanggil salah seorang yang kelihatannya anak buahnya,

“Tunjukkan izinnya,” Ia berkata, lalu anak buahnya yang memakai kaos tanpa lengan segera tergopoh gopoh membawakan secarik kertas yang langsung dipampangkan boss mereka didepan wajahku.

“Lihat? Tidak ada yang aneh kan?”

Memang tulisan dikertas itu menyatakan bahwa muatan kargo mereka hanyalah bahan pangan, lagipula ada stempel pemerintah serta tanda tangan orang yang berwenang.
Well, tetap saja aneh mereka tidak bersedia menunjukkan muatannya.

“Kalau kau masih berkeras,” Petugas dibelakangku berkata dengan nada mengancam, “Kami bisa saja mencabut izin tinggalmu, dan kau terpaksa harus angkat kaki dari tempat ini begitu pagi menjelang…”

Aku tertawa.

Pergi dari tempat ini?
Sial sekali aku telanjur menemukan sesuatu yang ingin kulindungi disini,
Aku berpaling dan berjalan menjauh,
Bisa kutebak mereka semua menyunggingkan senyuman penuh kemenangan sekarang,
Meskipun tidak lama.

Karena berikutnya letusan bunga api keluar dari moncong senjataku, nyaris melubangi kepala opsir menyebalkan itu.

Tentu saja aku sengaja membuatnya meleset beberapa sentimeter untuk menggertak.
Bidikanku nyaris tak pernah meleset, terbukti dari lubang berasap pada sebatang pohon dibelakang sang petugas.
Yang wajahnya membiru karena jantungnya nyaris berhenti berdetak saking kagetnya.

Aku tersenyum, hanya aku sendiri sekarang.
Senyuman meremehkan yang dingin.

“Itu,” kataku perlahan, “Yang akan terjadi jika kalian berani macam macam diwilayah jagaanku.”
Tidak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara bahkan mencicit sekalipun, Mereka sudah tahu aku gila sekarang.


Seusai berkata demikian, aku melenggang meninggalkan tempat yang membuat moodku jadi jelek malam ini.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:31 am

Tasuku.


Beberapa minggu kemudian.

_________________________
__________________




“Lagunya bagus sekali,” Daina mengembalikan Player yang kupinjamkan selama seminggu ini padanya, “Apa semua selera musikmu begitu?”

Aku sedang buntu dengan data data penelitianku, memandang jendela dan langit luas, ketika tiba tiba ia datang melompat kearahku.

“Kau suka?” Balasku tersenyum, “Dirumahku ada lebih banyak, aku tidak tahu kalau Daina juga suka musik, ”

“Suka sekali!”

“Kau tidak punya Player musik, yah, bagaimana kau mendengarkannya selama ini?”

Daina kelihatan berpikir, melihat kearah jam dinding,

"Tasuku sedang sibuk?" Ia bertanya padaku, "Jangan bilang kau tidak bisa kemana mana ya?"

Mataku memandangi Daina tak mengerti,

"Ada apa sebenarnya?"

"Aku ingin mengajakmu,"

"Mengajak?" tanyaku lagi, "Kemana? Yah, bukannya aku sedang sibuk sih, dibilang sibuk tidak juga sebenarnya..."

“Tunggu, sebentar lagi, pasti, Satu, dua, tiga,” Ia menghitung, aku hanya mengerinyitkan alis tidak paham, Daina sampai pada hitungan kesepuluh, ia menarik tanganku. “Ayo ikut! Cepat!” Desaknya.

Seperti kerbau dicocok hidung, aku mengangguk bodoh, mengikutinya, tergesa gesa keluar dari ruangan, ia membiarkan pintu kamarku terbuka begitu saja...

Kami berlarian di lorong, bahkan berpapasan dengan ibunya, wanita itu memperingatkan agar Daina hati hati menuruni tangga.

“Iya!” Daina menanggapi biasa saja, ia melepaskan tanganku, berinisiatif turun lebih dulu, aku melempar pandangan memohon maaf teramat sangat pada sang ibu yang tersenyum paham melihat tingkah anaknya.

“Tasuku, ayo!” Teriak Daina yang menungguku dibawah, aku mengangkat bahu, melangkah santai mengikutinya,
Melewati kedai yang masih terlihat sepi disore hari,
Daina membawaku keluar,
Aku silau saat mataku berpapasan dengan sinar dunia luar, Tapi gadis yang sedang bersemangat ini menarik tanganku lagi, tanpa memberikanku kesempatan untuk berpikir.

Dan tiba tiba saja,
Kami sudah berada ditengah tengah kerumunan, tepat didepan halaman penginapan milik orang tua Daina, tenda tenda berdiri saling berjajar,
Banyak sekali orang, kamarku hanya menghadap halaman belakang jadi aku tidak pernah tahu…

“Darimana mereka ini?”

Suara musik, hiruk pikuk kini terdengar, mereka juga melakukan segala aktifitas diluar,
Mereka membawa meja meja kayu dengan makanan bertumpuk tumpuk diatasnya, bahkan, beberapa diantara mereka asyik dengan kegiatan memasak,

“Pendatang, baru tiba hari ini, tamu dari Meksiko,Filipina, Malaysia dan banyaak lagi,” Daina menyeretku sambil menjelaskan, “Mereka datang untuk melakukan perdagangan bahan kerajinan,” Langkahnya semakin lama semakin pelan, Ia berjalan mundur sambil perlahan melepaskan tanganku.
“Apa kau bisa menari?” Bersamaan dengan suara musik tradisional spanyol mulai terdengar, semarak alunan biola yang ceria serta irama castanet agak asing ditelingaku.

“Menari?” Teriakku keras keras karena suara bising itu mulai mengganggu segalanya.
Daina mengangguk ceria.


Sebenarnya, aku bisa.


Namun kuputuskan untuk menggeleng sekuat yang aku bisa, menolak secara halus.

“Oh, kau tidak bisa? Ini mudah,” Gadis itu menaikkan kedua tangannya, oh tidak…
Kenapa pada saat aku secara tidak langsung mengatakan ’tidak perlu’ dia malah semakin bersemangat menunjukkannya padaku?
Tentu saja aku tahu caranya menari, tapi aktifitas itu membosankan.
Tidak seperti mendengarkan musik.

Terutama jika kau tidak punya seseorang yang spesial untuk melakukannya bersama…


Daina menurunkan kedua tangannya sejajar pinggang, Ia menggerakkan bahu dan pinggulnya seiring irama ketukan alat musik.

Dan sekejap saja, aku tidak tahu…
Mengapa pandangan mataku tidak bisa beralih dari gadis itu.
Ia indah.
Gerakan rambutnya amat halus tertangkap mataku.
Senyumannya dan mata polos itu.
Setiap gerakan membuat lekukan tubuhnya tampak nyata, meliuk indah walau pada kenyataannya ia tidak sedang melakukan gerakan aneh erotis.

Kenapa ia jadi kelihatan begitu indah sekarang?

“Kenapa musiknya bercampur?” Teriakku mencoba mengalihkan perhatian.

“Entahlah, kau yang bilang, kebudayaan bercampur…” Ia mengulurkan tangan padaku.
Kusadari sudah begitu banyak orang turun untuk melakukan folk dance dadakan ini.
Seperti dunia lain.
Menari dan berputar putar, kelihatannya sembarangan tapi tarian macam ini umum di republik Czech.
Penduduk pribumi menerima hiburan ini penuh sukacita seakan kebudayaan asing yang dibawa tamu asing ketempat mereka merupakan hal yang lumrah.
Tidak terbayangkan dunia yang sedang sekarat diluar sana saat kau tengah berada dalam keramaian kecil ini.
Aku yang selama ini selalu berkutat dengan buku catatan penelitianku, merasa tersesat.

Kau yang bilang, kebudayaan bercampur…

Aku tertawa, merasa tertampar oleh kata kataku sendiri yang dikembalikan oleh ‘teman’ baruku ini.
Keterlaluan sekali.

Merasa tertantang, aku meraih jemari jemari lentik itu, menariknya kedalam pelukanku,
Daina nampak terkejut sekali.

“Bukannya kau ingin mengajariku?” Senyumku ramah, walau tersimpan naluri tidak mau kalah yang aneh dari dalam diriku.

“Aku hanya melakukannya secara sembarangan, ” Muka bayi itu meringis, menurut saja ketika aku membawanya berputar bersamaku.
Ia kelihatannya tidak tahu, tapi ia melakukan gerakan cha cha dengan amat baik barusan.
Kalau kutanyapun ia pasti akan menganga tidak tahu.
Yah ketidaktahuan itulah yang menarik.

Musik semakin cepat dan semarak, Aku memeluknya dari belakang, ada getaran aneh tersampaikan saat tanganku melingkar diantara pinggangnya yang ramping.
Sengaja berlama lama mengusap bagian itu, Gadis dalam sangkarku menyadari apa yang kulakukan, demi apapun, ia tidak berusaha menghentikan, wajahnya bersemu merah.
Seakan disentuh olehku adalah hal yang paling diinginkannya melebihi apapun didunia ini, sebagai laki laki, aku mengerti…
Hanya, ketidak agresifannya itulah yang membuatku bingung.
Ia pasif dan menunggu, seakan ia yakin betul aku juga akan…


Sulit menjelaskannya.


“Kau bilang tadi tidak bisa menari,” Daina menggenggam tanganku lebih erat sementara kami berputar,

Aku hanya melakukannya secara sembarangan,” Dendam terbalas, sudah kukembalikan kata katamu, nona, aku tidak tahu mengapa aku bisa menjadi sangat kekanakan.
Kedua bola mata Daina membesar dengan lucu, ia tidak mengerti, tapi ia tetap tertawa.

Wanita selalu seperti itu,
Saat mereka sedang jatuh cinta, bahkan mereka akan menertawakan hal paling tidak lucu sekalipun,
Ternyata apa yang membuat mereka semakin cantik adalah ketika mereka terlihat begitu bahagia.

Aku sadar penuh, gadis ini telah jatuh ketanganku.
Bahasa matanya, gerakan tubuhnya, hangatnya, sekali lihatpun aku paham.
Bayangkanlah, Betapa rendahnya diriku yang masih saja berpura pura tidak tahu.

Padahal gerakan yang kami lakukan hanyalah sesuatu yang tidak ada juntrungannya sama sekali, tapi perlahan lahan aku menikmatinya.
Merasakan tubuh kami terbentur beberapa kali, tertawa dan merasa aneh.
Genggaman tangan kami satu sama lain semakin mengerat.
Tidak terasa, musik telah berakhir.

Aku dan Daina sama2 tertunduk kehabisan nafas,
Kami berpandangan, lalu saling terbahak satu sama lain.

Ini menyenangkan.

Daina basah oleh keringat, demikian pula aku, orang yang berdesak desakan membuat sekeliling kami menjadi pengap,
Bahkan Hoodie abu abu yang biasa kupakai bisa jadi begitu menyiksa disaat saat seperti ini.
Tangan mungil Daina lagi lagi menarikku, ia menghampiri meja terdekat, mengambilkanku minuman dingin.

“Apa kita tidak dimarahi?” Tanyaku ragu sebelum menerima, Daina menggeleng.

“Itu untuk semua orang,”

Penuh rasa terima kasih kutegus jus jeruk yang diberikan Daina padaku, dingin dan segar mengalir ditenggorokanku,

“Kapan tenda tenda ini berdiri? Semalam belum ada…” Ya, mungkin karena jendela kamarku menghadap kearah halaman belakang penginapan, jadi aku tidak pernah tahu apa saja terjadi.

“Tadi pagi kok, kalau banyak tamu penginapannya penuh, jadi mereka biasa membawa tenda sendiri, seperti ini hanya beberapa bulan sekali, mereka akan pulang dalam beberapa hari lalu desa jadi sepi lagi…”

“Seperti surga,” Jawabku tulus, Daina membelalakkan matanya tidak percaya, kemudian senyuman merekah dibibirnya.
Ia senang sudah melakukan hal yang dianggapnya benar.
Seakan membuatku senang adalah prioritas utamanya dan ia akan melakukan apapun untuk itu.
Kadang ia membuatku merasa amat tersanjung.
Namun tak jarang ia pula yang membuatku merasa begitu tidak berdaya.

Daina sepertinya mengatakan sesuatu lagi, tapi musik putaran kedua sudah dimulai, aku tidak bisa mendengar apa yang ia katakan,

“Hah? Bisa kau ulangi sekali lagi?” Teriakku, aku benar benar tidak bisa mendengar apapun kecuali bunyi bunyian instrumen meriah saling bersahutan sekarang.

“Kita pergi,” Daina mendekatkan wajahnya, berteriak juga, “Tidak bisa bicara disini! Terlalu bising!”

Ia juga sadar rupanya?
Dan yang lebih mengejutkan lagi, ia juga bisa capek!

Daina mengambil beberapa tusuk sosis besar sebelum mengajakku meninggalkan keramaian.
Ia memakannya sambil jalan seperti anak kecil, sangat tidak sopan untuk ukuran perempuan, tapi juga sangat lucu.
Aku mengekornya dibelakang, langkah langkahnya ringan bagai terbang, Senada tangannya yang ikut berayun seiring gerak.
Matahari sore terasa hangat, semerbak bau rerumputan menguasai indera penciumanku,
Ia membawaku menaiki bukit kecil, samar samar suara musik gembira masih terdengar dibelakang.

“Tasuku, Lihat…” Daina menunjuk kearah depan. “Tempat rahasiaku,”

Didepanku, terhampar padang rumput luas, ada banyak sekali bunga beraneka warna tumbuh liar begitu bebas, Daina berjalan cepat sekali, saat ia melambai padaku dari arah depan, angin berhembus, menerpanya.
Rambutnya yang panjang tertiup kebelakang.

“Huh?” Wajah bulat Daina menampakkan raut kebingungan.


Aku baru saja sadar, aku tergesa gesa hanya untuk menarik tangannya.
Menangkapnya, secepat yang aku bisa, tingkah laku bodoh yang selanjutnya kusesali.

“Aku… Ahh… Anginnya enak sekali, ya?” Kubalikkan badan, tidak ingin kegugupanku terlihat.
Aku sendiri tidak tahu mengapa, padahal aku yakin aku sedang tidak jatuh cinta kepadanya.
Aku tidak ingin jatuh cinta kepada siapapun dan aku harus membentengi diri dari perasaan perasaan semacam itu yang hanya akan menghalangi mimpiku.

Namun gadis ini mengacaukanku, entah bagaimana caranya.
Bahkan sekilas tadi,
Daina seperti akan menghilang.
Dan sekejap saja aku menjadi teramat takut hal itu akan benar benar terjadi.

+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:32 am

Daina.

__________________________
____________________



“Anginnya enak sekali, ya.”

Begitulah, ia berpaling dariku, aku ingin sekali menarik dan memintanya untuk memperlihatkan mata blue safir itu padaku.
Tapi betapa murahnya, kalau kulakukan…
Kami juga baru bertemu,
ia hanya kebetulan disini,
cepat atau lambat ia akan pulang… pergi…

Kupegangi bagian lenganku, masih terasa panas bekas cekalannya barusan.
Aku tidak mengerti.
Ada bagian lain, diantara celah hatiku, disini rasanya sama hangat, bahkan lebih panas lagi, aku tidak tahu mengapa…

“Apa kau tidak punya teman seumuranmu?”

Aku tersentak, mengangkat wajahku, Tasuku berdiri tak jauh, sinar matahari menimpanya, membuat surai keemasan itu nampak begitu elok hingga muncul suatu perasaan tak tertahankan, ingin menyentuh dan membelainya…

“A… ada…” Aku menunduk lagi, wajahku terasa amat panas, “Tapi… mereka sama sepertiku,” Kedua kakiku bergerak gerak gelisah, padahal ditempat ramai tadi biasa saja, tapi mengapa sekarang jadi… aneh?
“Mereka tidak tahu apapun… mengenai tempat lain… karenanya jika ingin tahu… aku harus bertanya pada orang lain yang lebih tahu,”

Aku mengingat ingat, saat pertama berkenalan dulu juga kami berduaan seperti sekarang, kan?
Mengapa sekarang aku merasa gugup bukan main?
Begitu salah tingkah sampai sampai untuk menatap wajahnya saja merasa tidak sanggup...

“Jika bicara dengan seseorang, tunjukkan wajahmu,” Kaget, jemari jemari Tasuku menyentuh daguku, mengangkatnya hingga mata kami sejajar.
Sejak kapan ia berada begitu dekat? Aku pastilah sibuk dengan pikiranku sendiri…

Sekarang aku tidak perlu memintanya menunjukkan mata sewarna blue safir itu lagi.

“...Jika tidak, lawan bicaramu tidak akan mengerti apa maksudmu…” Sambungnya.

“Ya,”

Tidak ada yang bicara baik aku ataupun Tasuku, lalu dia tiba tiba saja tertawa, berlari menghambur kearah bunga bunga liar.

“Kau tahu sekali aku suka semak semak,” Katanya ceria, aku mengikuti, ia tampak sibuk sekali mengerjakan sesuatu.

“Ibuku sering bilang aku bocah semak semak,” Ceritaku, Tasuku menanggapi serius sekali, ia tertawa lagi, berkata bahwa kakaknya juga mengatainya sama seperti itu.

“Tapi bedanya aku tidak pernah melihat padang rumput sebesar dan setenang ini,” Tasuku memperlihatkan sehingga mataku bisa menangkap dengan jelas benda ditangannya.

“Bagusnyaaa,” Seruku, ia tertawa lagi, mengangkat mahkota bunga itu, memasangkannya diatas kepalaku.

“Kau seperti peri.” Ia memuji, menata rambutku kedepan, Aku membiarkannya melakukan sesuai ia ingin.

“Ibuku tidak pernah mengatakan itu…” Bicaraku amat pelan, Tasuku nyengir,

“Kalau begitu sekarang aku yang bilang.” Tasuku mengikalkan rambutku, padahal sudah ikal, ia menggulung jarinya pada ujung ujung rambutku, “Kalau aku punya anak sepertimu, aku pasti bangga sekali,” Selorohnya,


“Heee?”


“Seperti boneka hidup,” Angguk Tasuku lagi, memijat kedua alisku menggunakan ibu jarinya, “Kau tidak pakai make up tapi pipimu merah muda begini, Lalu…” Ia berhenti saat menyentuh bibirku.

Aku ingin tahu… lalu apa…?

“Lalu…?”

Tasuku menengadah keatas, lalu melihat kesamping, seperti mencari kata kata yang pas.

“Tidak ada seorangpun yang pernah melakukan ini padamu sebelumnya?”

Aku menggeleng.

“Ibuku hanya pernah mengatakan kalau rambutku bagus… Tapi dia ibuku, aku sejelek apapun akan selalu baik dimatanya,”

Tasuku, mendengarkan dengan wajah takjub.
Ia tersenyum pahit.

“Ibumu benar,”

Aku mengerjap.

“Apanya?”



“Kau yang terbaik.”



Panas.
Tenggorokanku panas seperti sehabis menelan api.
Tasuku mengelusi pipiku, "Dasar wajah boneka," pujinya lagi, kali ini dengan senyuman sangat tulus, apa aku salah lihat?
Tatapan itu seperti memuja.
Jika ia hanya berbasa basi, maka bakat aktingnya benar benar patut dipuji.
Aku tidak merasa cantik, dan tidak pernah ada seorangpun yang memperlakukanku seperti ini sebelumnya...

“Apa kau selalu begini?” tanyaku begitu saja,

“Begini apanya?”

“Hanya bicara hal hal yang… menyenangkan orang lain.”


Ups,
Ekspresi Tasuku berubah.

Kali ini ia kelihatan seakan habis melihat hantu.

Ia kelihatan terguncang, aku tidak tahu dimana salahku, aku hanya merasa… merasa…
Bahwa ia tidak sepenuhnya jujur pada dirinya sendiri.
Ia hanya memperlihatkan apa yang ingin orang lain lihat, orang lain mudah jatuh hati kepadanya karena hal ini, tapi sumber ketertarikanku padanya justru berbeda,
Aku ingin tahu... tentangnya, dan bukan hanya yang 'terlihat' saja...
Aku menunduk lagi,
Tuhan…
Aku benar benar menyinggungnya? Apakah ia marah?

“Selesai,” Aku mendengar suara lembut itu, menyadari bahwa ia telah selesai menata helaian rambutku kearah depan, saat aku memberanikan diri untuk melihat kearahnya, ia sudah sudah seperti biasa lagi.

Tapi ia memilih untuk tidak menjawab pertanyaanku,
Pura pura tidak mendengar.
Dari situlah aku tahu, bahwa ia tidak suka membicarakan dirinya.

Tasuku bertindak sebagai pengamat, tanpa pernah bersedia melibatkan diri.
Ia suka mendengarkan, tapi ia tidak pernah merasa benar benar perlu didengarkan...
Atau membutuhkan orang lain.


Khas orang yang merasa bangga yakin dirinya dapat melewati apapun.


“Apa kau sudah siap terbang sekarang?” Godanya begitu jago, semula suasana canggung,
kini sekejap saja sudah cair kembali.

Sedikit sedih, memang,
Namun Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum.



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:33 am

Daina (Lanjutan)

________________________________
____________________________




“Kenapa senyum senyum sendiri?”

Aku tersentak, cepat cepat menyuap makananku, Ibuku tertawa melihat sikapku.
Ia menghampiri, membelai rambutku, wajahnya amat tenang.

“Ibu…” Kegairahan dalam hatiku mengepul, “Apa aku seperti peri?”

Saat aku menanyakan hal itu, rona merah diwajahku tertangkap jelas pada pantulan mata Ibu...
Ibuku kelihatan kaget dengan pertanyaanku,
Aku jarang membicarakan pujian.

"Ada yang mengatakannya kepadamu?" Ibu balik bertanya, tersenyum manis kepadaku, aku hanya menjawab dengan anggukan kepala malu-malu.
Iya, ini tidak biasa, dan hanya pada ibuku aku bisa mengatakan apa saja.
Orang Tua merupakan orang pertama yang harus kau ajak bicara apapun yang terjadi, betapa beruntungnya kau memiliki mereka, kau takkan pernah tahu,
Karena kau takkan bisa menemukan cinta lain tanpa syarat sekuat yang mereka berikan padamu…

“Apa anak itu yang berkata?” Senyuman dibibir ibu semakin merekah, aku bisa menebaknya, ia meletakkan dagunya diatas ubun ubunku, menciumi dengan sayang.

“Heee?!”

“Pemuda berambut pirang itu.” Lanjut ibuku,

“Darimana ibu tahu?” Jeritku, saking terkejutnya sendok makanku sampai jatuh berkelentang diatas piring. ibu terkekeh mengambil kursi duduk sampingku,
Wanita yang melahirkanku kedunia ini meraih sendok dan piringku, mulai menyendokkan nasi dan menyodorkannya kemulutku, refleks aku membuka mulut menerima suapan lezat itu.

“Kau memperhatikannya belakangan ini,”

Aku jadi tidak tahu harus berkata apa…

“Aku memperhatikan ayah lebih dari aku memperhatikan dia,” Bantahku, “Mana ada…”

“Benar, tidak ada yang berbeda?” Suara ibuku terdengar menyelidik. “Pasti ada, hanya kau yang tahu…”

Beda? Aku mengunyah makananku, menerima suapan kedua.
Berpikir…

"Dia tampan ya," Komentar ibuku lagi, membuat wajahku merah padam untuk kesekian kalinya. "Matanya biru, tubuhnya tinggi,"

Belum cukup rasanya ledekan yang kuterima, ibu menambahkan lagi, "Dia juga sangat sopan, kelihatan sekali bahwa dia berpendidikan tinggi, selera anak ibu hebat...,"

"Ibuuu!" Aku menyerah, menyembunyikan wajahku pada bahu Ibuku, yang juga tertawa melihat reaksi kekanak kanakanku.

"Makanlah, nanti makanannya dingin," Setelah aku selesai meneguk air putih, Ibu mulai menyuapiku lagi,

“Kalau ada yang berbeda, apa artinya?” Tanyaku sambil mengunyah, ibu menghela nafas, ia mengelap sudut bibirku dengan jari jempolnya.


“Artinya, anak Ibu sudah jatuh cinta.”


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 EmptyThu Dec 26, 2013 9:34 am

Daina (Lanjutan)

___________________________________
____________________________




Kata kata ibu, tidak bisa lepas dari ingatan.
Bahkan beberapa hari sesudahnya,
Sudah kucoba mengalihkan perhatianku ke hal lain, tapi pada akhirnya, aku hanya mengulang siklus yang sama,
Berusaha agar selalu dekat dengan... Tasuku.

Seperti hari ini, aku menyapu halaman belakang rumahku, merawat kebun milik orang tuaku.
kulakukan sambil melirik lirik kaca jendela Tasuku dilantai dua, jendelanya hanya setengah terbuka, dia pasti sedang sibuk lagi, mencatat keperluan penelitiannya,
Repot juga, pikirku,

Aku ingin membantu, tapi tidak tahu bagaimana cara.

Apa kubawakan cemilan saja, ya?
Ragu, kulanjutkan acara menyiram bunga bunga.
Sesekali mencuri pandang lagi kearah jendela kamar Tasuku.
Aku selalu memikirkan dengan cara apa supaya aku bisa berguna untuknya.

Perasaan sayang yang sepihak, tumbuh dihatiku…
Bodohnya, padahal ia belum tentu merasakan hal yang sama.
Aku tidak ingin berpisah sedetikpun…
Tidak ada satu pagipun berlalu yang kulewati tanpa memikirkan tentangnya, saat aku terjaga dari tidurku,

Ia sedang apa, ingin tahu apa yang dipikirkannya,
Ingin selalu bersama, selalu bersama...
Terlalu berlebihan, untuk seorang teman.

Bahkan melihat jendela kamarnya begini saja sudah bukan main bahagianya.
Jika aku menutup mata, bisa kubayangkan ia sedang duduk bersandar diatas pembaringan,
Dengan notes kecil ditangannya, memikirkan jauh kemasa depan…

Selalu membuatku tertarik ingin masuk, namun rasanya begitu mustahil, karena ia menutup rapat pintu hatinya, amat rapat.

Ia memperlakukan dirinya sebagaimana kegelapan, tidak bisa melihat apa apa didalam sana.
Hanya bisa menebak dan meraba,
Tapi entah bagaimana ia memberikanku cahaya.
Seluruh duniaku ikut terbawa olehnya.
Tidak, seluruh dunia ada didalam dirinya, sejak awal...

“Bulat!” aku terkaget kaget, nyaris jatuh karena kedua tangan besar meraihku dari belakang.

Kak Ari, nyengir lebar, mendekapku semakin erat sampai sampai aku kehabisan nafas,

“Mati kau, Bulat! Mati! Mati!” Serunya kesenangan, Aku terbatuk.

“Kakak! Bodoh ah!” Tegurku, menarik tangan Kak Ari dan secepat kilat meloloskan diri. “Apa kau mengigau?”

Kak Ari santai saja, malahan tertawa keras sekali.
“Kau tidak nangis? Ayolah, nangis sana, dikiiiit aja,” mohonnya menyebalkan,
Kakak menyentuh bunga bunga yang kurawat, ia tidak mengatakan satupun kata pujian, sikapnyalah yang membuatku merasa bangga akan apa saja pekerjaan yang sudah kulakukan.

“Tidak lucu,” Gerutuku menggembungkan pipi, “Kakak ada apa kesini? Tidak biasanya mau jalan jauh jauh ke desa…”

Kakak garuk garuk kepala, “Memangnya aku tidak boleh kesini? Aku kan’ ingin melihatmu,”
Mulai lagi, bicara tidak jelas apa maksudnya.
Kesini untuk mengerjaiku lagi? Karena bosan?
Kakak tidak bisa menghentikan sikap jailnya...

“Bukannya setiap hari sudah bertemu saat jam makan?”

“Sekali sekali tidak apa apa dong, ketemu di jam yang tidak biasa,” jawabnya membela diri,

Kak Ari menolehkan kepala kearah jendela kamar Tasuku, aku tidak tahu mengapa, tapi ada semacam perasaan ganjil dihatiku.

“Sedang lihat apa?” Tanyaku, kakak sepertinya tersadar, ia menggeleng, malah ia mengalihkan pembicaraan kearah lain,

“Kepala Desa ada dirumahnya?”

Aku mengangkat bahu, “Coba kakak cari ke Rumah beliau saja, aku mana tahu,” ujarku menambahkan, “Biasanya pegawai beliau ada, jam segini mungkin sedang istirahat,”
Kak Ari mengambil Gembor plastik ditanganku, ia berjalan kearah pancuran dan mulai mengisi airnya, aku membiarkan saja ia membantuku,
Kakak menyerahkan alat penyiram bunga yang sudah terisi penuh itu ketanganku, kuterima penuh rasa terima kasih.

“Aku pergi dulu, Bulat,” Seperti biasa, ia mengusap puncak kepalaku, “Sampaikan salamku pada Ibumu, dan hati hati, masuklah kerumah, sepertinya mulai mendung,”
Kembali, kakak menengadah kearah jendela kamar Tasuku.
Aku tidak tahu mengapa...
Ia kelihatan penasaran tetapi memilih untuk mengabaikan.

“Kak,” Tegurku tak yakin, kak Ari berbalik untuk mendengarkan. “Tidak ada… sesuatu yang berbahaya kan?”

Sang pembasmi Undead itu tertegun, lalu tersenyum manis.


“Tidak ada apa apa, tenang saja.”

Lalu ia melihat kearah lantai dua lagi, aneh sekali...


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
Sponsored content





Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 9 Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Descendant Of The Death Master
Kembali Ke Atas 
Halaman 9 dari 10Pilih halaman : Previous  1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10  Next

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Descendant Of The DeathMaster :: DESIRE... :: Chronicles...-
Navigasi: