Descendant Of The DeathMaster
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksPortalLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Navigation
 Portal
 Indeks
 Anggota
 Profil
 FAQ
 Pencarian
Latest topics
» Descendant Of The Death Master
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptyThu Dec 26, 2013 9:35 am by DeathMaster

» Shirotabi Come here ^o^v
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Aug 03, 2013 3:52 am by DeathMaster

» DeepBlue Kingdom
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptyThu Aug 01, 2013 7:05 am by Shirotabi

» Newsletter
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptyMon Jul 22, 2013 11:01 pm by DeathMaster

» Lily - I don't even know a milimeter of Romeo and Cinderella
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptyMon Apr 09, 2012 2:11 pm by DeathMaster

» Rules...? Sedikit aja kok!
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptyMon Apr 09, 2012 12:45 pm by DeathMaster

» Perkenalan
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptyWed Dec 08, 2010 8:28 pm by DeathMaster

» Siapa Male Chara Favoritmu?
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySun Nov 28, 2010 7:30 am by DeathMaster

» Forum Rules: Read This First!
Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Nov 27, 2010 11:42 pm by DeathMaster

Top posters
DeathMaster
Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_lcapDescendant Of The Death Master - Page 8 Voting_barDescendant Of The Death Master - Page 8 Vote_rcap 
Shirotabi
Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_lcapDescendant Of The Death Master - Page 8 Voting_barDescendant Of The Death Master - Page 8 Vote_rcap 
May 2024
MonTueWedThuFriSatSun
  12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
CalendarCalendar
Social bookmarking
Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of Descendant Of The DeathMaster on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of Descendant Of The DeathMaster on your social bookmarking website
Pencarian
 
 

Display results as :
 
Rechercher Advanced Search
Poll
Siapa Male Chara Favoritmu?
Ari
Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Tasuku
Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_lcap50%Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_rcap
 50% [ 1 ]
Ryo
Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_lcap50%Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_rcap
 50% [ 1 ]
Stats The Origin
Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Others
Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 8 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Total Suara : 2

 

 Descendant Of The Death Master

Go down 
Pilih halaman : Previous  1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10  Next
PengirimMessage
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:36 am

Stast.

_____________________
__________________




“Mengajak Aryanov ke sisi kita, apa menurutmu itu tidak mengkhianati kesepakatan awal?”
Aku menggeleng menanggapi argumentasi Ferina, melingkari bingkai jendela dengan jariku, aku melamun..
“Kapan ia melanggar janji, katakan pada Stast...” Desisku seraya memandangi ratusan pijar dilangit malam.
Membutakan, membuat hanyut kepalaku, memberikanku kenyamanan.

Ferina menjamahku dan saat ia berjalan, rambut panjangnya melambai anggun,“Ia pernah mengatakan akan membunuhnya, itu permohonanmu padanya,
Aryanov Gabriel.. Pangeran kegelapan seharusnya membunuhnya, Tapi sekarang ia malah mengatakan ingin bersama!
Aryanov musuh, Aku… aku tidak bisa menerima itu,” Ia menggigiti kukunya sendiri dalam keresahan, berdiri disamping tempat tidur dan mengadu padaku. “Kita harus melakukan sesuatu, Stast…”
Wajahnya memelas, Sekarang malah temaram lampu yang menerangi ruangan tempatku berada menjadi pusat perhatianku saat ini,
Kubiarkan Ferina melemparkan tatapan tidak mengerti kearahku,

“Kalau Aryanov Gabriel memang mau bergabung ke sisi kita, aku tidak masalah,”

“Stast!”

“Jangan berpikir picik seolah musuh akan selamanya menjadi musuh,” Tubuhku melemas diatas pembaringan sutera, “Kau tidak akan pernah maju saat melihat dari satu sudut pandang saja.”

“Kau tidak melihatnya!” Ferina maju kearahku, mencondongkan tubuhnya agak memaksa.
Aku tahu ia terpukul, masih saja ia memberitahuku opininya… “Gadis itu? Kenapa dia membawanya kemari? Tidakkah kau lihat caranya menatap?”

“Gadis itu juga adalah gadis yang dicintai Aryanov Gabriel,” Aku mendesah, sungguh aneh, bukan? Kakak beradik mencintai wanita yang sama…?
Menarik, ini menarik sekali, “Dia membawanya sebagai tawanan, Master kita tahu apa yang dilakukannya.”

Ferina diam saja, “Tapi kalau benar terjadi sesuatu yang aneh…”

“Kau pikir manusia dan Undead memiliki harapan bersama?” Tanyaku, menariknya kedalam dekapanku, menggeram didekat leher jenjang miliknya, “Apa kau pikir begitu,”
Ferina menggigil seperti ketakutan, tapi ia bertahan, ia selalu tahu aku tidak suka ada yang membicarakan sang raja dibelakangnya.

“Tidak, Stast, Tidak…” Ia menunduk, tubuhnya mengeras menunjukkan penolakan, “Aku hanya merasa… ia berbeda, dengan kita…”

“Apa bedanya?” Aku mengelus bahu ciptaanku itu, melepaskan gaun longgar berwarna hitam yang ia kenakan, teramat penasaran dan mabuk akan keingintahuan,

“Apa kau tidak lihat?” Ferina memasang wajah sedih, “Betapa keras kepalanya Aryanov Gabriel dan gadis itu, betapa keras usaha mereka untuk mendapatkannya kembali…”
“Dia pastilah Undead yang paling dicintai sepanjang sejarah umat manusia…Aku takut perasaan mereka yang mencintainya tersampaikan, lalu suatu saat ia, ia akan meninggalkan kita tanpa jalan keluar… Aku takut, Stast” Kurasakan tanganku diremas dengan sangat kuat.
Ucapan Ferina menusuk sanubariku dalam,
Memberitahuku kenangan kenangan lama yang tak kuinginkan, ia benar, aku tahu betul itu,
Kurapatkan pelukanku ditubuh saudariku, mencari cari sisa kehangatannya yang tak kutemukan.
Berpikir, dan pengalaman mengabarkan sebuah jawaban kepadaku,

“Kau jangan khawatir, mereka tidak akan bertahan,” Kutimang timang tangannya dalam genggamanku, “Semua yang mencintai Undead, pasti merasakan penderitaan tak terhingga… suka atau tidak suka…”


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:36 am

Daina.

____________________________
______________________



Siang itu, Aku yang baru saja selesai mandi terkejut bukan main, aku meletakkan kotak musik pemberian Tasuku dipahaku.
Mencoba memperbaikinya,
Kelihatannya terlalu banyak kumainkan…
Bagaimana ini… Hanya benda ini temanku satu satunya,
Aku duduk bersimpuh resah dan mengutak-atik benda yang terus berbunyi itu karena penutupnya yang retak dan terbuka,
Kucoba memperbaiki sendiri ‘mainanku’.
Bunyi nya tidak bisa berhenti,tutupnya rusak…

Aku menghela nafas kecewa, aku bodoh sekali, padahal aku sangat suka benda ini…
Lagu ini... lagu kesukaan kakak, aku tersenyum,
Betapa kebetulannya, ia memilihkan sesuatu dengan ikatan erat terhadap orang yang katanya akan ia bunuh...
Kubayangkan hari hari lalu dimana kami bertiga hidup bahagia,
Membayangkannya mengingat hal tersebut, muncul sepercik harapan menyala nyala dalam hatiku.

Ia mengingatnya kan?
Ia tidak mungkin memilih benda ini secara acak...
Ya, aku boleh berharap, tentu saja aku boleh...

Ditengah kesunyian yang menyebalkan ini, secara tiba-tiba aku mendengar musik yang lain,nada yang sama dengan nada yang keluar dari kotak musikku,
Tapi nada ini dimainkan dengan piano,aku tahu,

Tasuku…?

Tidak apa-apa kan? Aku keluar untuk mencarinya…?
Lagipula bukankah ia pernah berkata bahwa semua undead di tempat ini telah ia singkirkan?
Aku ingin dia melihat kerusakan pada kotak musikku ini,dan kalau dia bisa memperbaikinya…

Nada-nada lembut bermain di telingaku, kuat menampakkan kesan mistik.

Aku bisa melihat semua jendela yang terdapat pada lorong sekelilingku saat aku keluar dari kamar telah terbuka, ,menampilkan pemandangan pantai dan sinar matahari, tidak suram lagi seperti dulu,
Aku sudah merasa tempat ini seperti rumah…, rumahku…,

Kuikuti suaranya,kotak musik ditanganku masih mengeluarkan bunyi, saling bersahutan secara ajaib amat stabil, perlahan aku menuju tangga menurun yang dulu pernah kulalui,kali ini tanpa kesulitan,dibawah tangga ini…tempat grand piano berada…
Bunyi itu seperti menuntunku,menunjukkan padaku arah yang benar.
Gaun tidurku bergesek diantara anak tangga,
ketika separuh jalan aku turun,aku telah bisa melihat Tasuku duduk didepan grand piano nya,memainkan melodi klasik khas yang sesuai dengan bunyi kotak musikku,aku yakin ia menyadari aku ada disini,
Aku yakin ia tahu.
Aku terus melangkah turun,membiarkan renda-renda gaun tidur berwarna ungu mudaku ikut bergerak menyapu lantai,

Kudekati ia, mengamati jari-jari yang mahir itu bergerak luwes diantara tuts-tuts piano,
memainkan melodi spektakuler yang terlatih.
Betapa tampannya, karya seni yang hidup dan begitu nyata,
Mataku terpukau oleh pesona pemangsa dihadapanku, orang yang kucintai,
Aku memandangi lekat lekat, seakan takut ia menghilang…

Being stared at like this, the dreams continuation…
Erases the memories, the scars I can't get rid of…


Aku hafal lagu ini, hatiku ikut bernyanyi walau aku tidak berani mengeluarkan sepatah katapun.
Mengingat ingat liriknya, lagu lama, tapi sangat akrab ditelingaku, betapa sering dulu kak Ari bersenandung lagu ini… Dan sekarang Tasuku memainkan versi pianonya dengan penuh kesedihan…

I chase after you
And in the moment I grab your arm
You disappear


The weighed out two selected words and thoughts
Or is still unnoticed love there?
Without lies and reality without life an death
I long for a world like this


Aku perlahan menuruni tangga, tak sekalipun pandanganku terlepas darinya.
Ingin bertanya padanya sebuah pertanyaaan yang ribuan kali mengusik batinku.
Aku bermimpi kan?
Katakan padaku bahwa aku hanya bermimpi… bangunkan aku, ini mimpi terburukku, terpisah denganmu seperti ini…

I dreamed, right?
While I performed the darkness
I just hurt you
I drowned in the faint dream, right?
Being with people, the forgotten love, both were there…


The pain disappeared with you
This body, without any trace
Kill me, turn me into ashes
I longed for eternity but
At your hand…



Dan mimpipun berlanjut…
Menghapus setiap kenangan, membawa luka yang tidak bisa kita bertiga sembuhkan…
Jika mimpi itu seburuk ini... tidur selamanyapun tak apa...


If I close my eyes and the heavy curtain
Only you hinder my sight
I keep those overflowing thoughts in my heart
Just put me to sleep like this…


Air mataku menetes, tergesa gesa aku menghapusnya,
Ia mengacuhkanku, hatiku menciut seketika.
Mungkin memang salahku? Mungkin ia tidak mau diganggu saat ini?
Aku yang telah menikah dengannya,dan bertekad untuk menghabiskan sisa hidupku bersamanya bahkan sebelum ia menjadi Undead ini tentu menjadi yang paling tahu kalau Tasuku tipe yang suka melupakan sekitarnya pada saat ia tengah serius mengerjakan sesuatu.
Aku paham,sangat paham,
Sudahlah,apapun kepentinganku,sebaiknya nanti saja,aku tidak mau mengganggunya…

Dengan penuh kesadaran diri aku meletakkan kotak musik itu di buffet kecil dimana ia bisa menemukan ‘mainanku’ tersebut dengan mudah,bermaksud angkat kaki dari sini,aku tidak ingin keberadaanku mengganggunya,bahkan bernafaspun kulakukan sepelan mungkin.
Lalu aku berjalan mundur,
Entah kenapa aku merasa enggan memalingkan wajahku barang sedetikpun, ingin selalu menatapnya seperti ini,
Keindahannya yang demikian pantas disandingkan dengan kerupawanan ‘Yusuf sang pesuruh Tuhan‘ yang disebutkan didalam kitab suci itu.

Dan dalam satu kedipan mata, kedua bahuku telah di tahan dari belakang oleh tangan kuat yang sebelumnya tak terlihat olehku,
Mencengkeramku seakan aku telah tertangkap.
Suara piano telah berhenti, digantikan hanya oleh suara halus dentingan kotak musikku, Tasuku tidak ada lagi didepan Grand piano nya, tidak ada dimanapun, sudut yang setidaknya dapat di jangkau oleh mataku.


Karena ia saat ini berada tepat dibelakangku.


Melingkarkan lengannya dan mendekapku erat, meletakkan dagunya dibahuku,
Kurasakan bibirnya yang dingin perlahan menempel dibagian belakang leherku.
Amat perlahan… seolah takut mematahkanku.
Aku bergetar mencium aroma harumnya, pasrah terhadap apapun yang akan ia lakukan padaku.
Aku menutup mata merasakan sentuhan itu, terguncang akan kemantapannya, tidak berani bernafas,
Menunggu.
Detik demi detik berlalu…

Tapi Tasuku tidak melakukan sesuatu yang menyakitiku,
Ia hanya membalikkan tubuhku, begitu lembutnya ia, dan sekarang kami berhadap-hadapan, dadaku menekan didadanya,dan aku berani bertaruh saat ini ia bisa mendengarkan musik yang lain,


Yaitu suara detak jantungku yang berdebar kencang.


Kami beradu pandang dan, Tuhan, Aku melihat ia kini tersenyum penuh kemenangan saat mendengar nafasku yang tidak beraturan dan kegugupan nyata yang pastilah terlihat jelas diwajahku.
Ekspresi seseorang yang tergila gila padanya.
Ia senang dan puas, ia selalu begitu saat ia tahu ia berhasil membuatku berdebar debar hebat.
Aku menunduk, malu sekali, wajahku terasa panas…

Kurasakan telapak tanganku diraih,ia memposisikan kami sedemikian rupa,aku yang telah mabuk akan pesonanya hanya bisa diam membiarkan,
Dengan diiringi suara lembut kotak musikku, Kami berdansa.
Hanya dansa klasik sederhana,dan aku bukan pedansa yang ahli,tapi Tasuku menahan dengan mantap tubuhku, saat kaki-kaki kami melangkah bersama,memutar-mutarku, lalu memelukku lagi, membuatku semakin terhanyut, kurasakan sebelah tangannya mengusap pelan punggungku,
Aku merasakan hangat disana.
Jatuh cinta padanya, lagi, lagi, dan lagi.
Bertanya tanya apa kiranya yang boleh dan tak boleh kulakukan, karena semua larangan dan rambu rambu tampak begitu buram dimataku.

Tasuku… Tasuku…
Lenganku menggapai mencari cari pegangan, Kuberanikan diri membalas perlakuannya.
Kudekap suamiku erat.

Namun sebuah kekuatan tak terlihat membuatnya melepaskan interaksi kami setelah sekian lama.
Aku hanya menatap matanya yang seperti baru saja tersadar dari hipnotis,
Kaget melihat begitu banyak bahasa yang ia ungkapkan hanya dari tatapannya padaku.
Cinta yang sepi ada disana,
kerinduan,


Serta keputusasaan yang merenggut segala kenyamanan yang baru saja aku dapatkan.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:37 am

Stast.

________________________
____________________




Mengintip dibelakang tirai,mengamati apa yang terjadi diruangan itu,
Baru saja aku datang, sayang sekali adegan menarik itu telah berakhir…
Luciferina disampingku,jemari-jemari lentiknya menjepit sebuah gelas Kristal berisi cairan merah yang harumnya menggiurkanku,

Aku menyentuh bahunya ketika menyadari gelagat akan hasrat tak terlampiaskan, bahwa ia akan menyerang mangsa lemah yang saat itu berada dalam pelukan Raja kami.

Dengan mataku,kuisyaratkan ia untuk melihat bersamaku,
Beberapa saat kami saling berpandangan dan menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.


Bunuh dia.

Dia bukan apa apa kan? Akhiri saja hidup makhluk fana yang mudah rusak itu.
Tak apa kehilangan satu yang seperti dia.
Kita memiliki seisi dunia…

Bunuh dia, Raja kami…
Bunuh!


Sang Raja,kekuatan yang menjadi kebanggaan kami sekarang mendorong si gadis agar menjauh darinya,cukup aneh,
Mengingat ia sendiri yang tadinya mendekati gadis itu, menghirup bau harum darah si gadis, Masih saja ia tetap bertahan tidak ingin membunuhnya,
Sikap yang aneh,bukan?!
Apa lagi yang kau tunggu, My Lord…? Kami menunggumu untuk berbagi hidangan pembuka bersama kami…

“Tasuku…?”

Lancang sekali gadis itu!
Ia memanggil penguasa kami dengan nama kecilnya, nama terlarang untuk diucapkan…
Sang Raja hanya mendiamkan,tidak menunjukkan respon terhadap bola mata polos yang menatapnya penuh harap.
Ia kembali menampakkan ekspresi dingin dan kejam,seperti tanpa perasaan,
Bertolak belakang dengan apa yang diperlihatkannya pada sang gadis bermata boneka itu beberapa saat sebelumnya,

“Pergilah, masuklah kekamarmu!” perintahnya dengan nada defensif.
Kami yang menyaksikan ini semua terdiam seribu bahasa,
Sang Raja pastilah mengendus keberadaan kami disini, dibalik tirai ini,
hanya saja,ia berpura-pura tidak tahu,
Aku menoleh pada Ferina,
Sama sepertiku,wajah Ferina juga sama herannya,

Bukankah ia,penguasa kematian, pewarisku…yang tidak mengenal perasaan manusia lagi dan tidak punya belas kasih terhadap makhluk fana…?
Mengapa sekarang jadi begini? Apa yang mengubahnya?

Caranya menyembunyikan perempuan itu dari kami begitu menyedihkan, sampai aku sendiri tidak habis pikir,

“Kotak musiknya…aku belum…” gadis itu bersiap akan membantah,tetapi Raja kami yang agung,dengan gerakan cepat yang hanya terlihat bagai kilatan cahaya, bergerak memungut sebuah benda yang terus mengeluarkan lagu indah tersebut,

Gadis itu sama sekali tidak menduganya, benda indah yang mengeluarkan musik itu terlempar membentur dinding batu, hancur berantakan,pecah berkeping-keping.
Hanya berselang sesaat setelah tangan pucat itu melemparkannya sembarangan diikuti ledakan amarah yang memuncak.

“Pergi! Sekarang!” bentaknya keras, suaranya yang anggun menggelegar dan bergema diruangan yang luas ini, Betapa menakutkan…

Bisa ditebak, dalam keterkejutannya, mata gadis itu berkaca-kaca, ia menampakkan wajah tidak berdosa dan kebingungan,ia tidak pernah menduga,bahwa seseorang yang baru beberapa saat tadi memperlakukannya dengan begitu lembut dan memberinya kenangan yang mungkin akan menjadi salah satu memori terindah baginya bisa dengan begitu kasar membentak tanpa kesalahan yang jelas,

permintaan sederhana…, ya, hanya memperbaiki sebuah orgel,

Tanpa membantah lagi gadis itu melangkah mundur, setengah berlari menaiki anak tangga, air matanya mengalir membentuk anak sungai, siapapun tahu jika saat ini ia sedang menanggung luka hati teramat dalam.
gaunnya tersapu dengan anggunnya, cantik…
Bahkan Stast inipun mengakui daya tarik gadis itu,mungil,montok, begitu molek.
Rambutnya yang ikal bergelombang segelap mahogani, kulitnya bersinar seindah pualam, matanya yang sebulat kelereng dan berwarna seperti buah kakao yang baru matang, menampakkan kepolosan dan keluguan serta kehalusan pembawaannya, Menunjukkan bahwa ia telah dirawat dan dididik sedemikian baik,
demikian pula wajah berbentuk hati dengan hidung mancung dan bibir yang dipoles tipis pewarna bernuansa jingga muda yang merekah penuh, nuansa alam yang kental, warna alam… kecantikan alam...

Sang raja menunduk penuh penyesalan, jika hanya membentak saja sudah se-kalut itu, dia tidak akan mampu berbuat lebih jauh untuk menyingkirkan gadis itu dari hatinya yang paling dalam.
Ia melempar barang barang kesekitarnya, murka, sedih, terluka…
Percuma saja, sia-sia bersedih pada saat yang salah,
Aku hanya menarik pinggang Ferina,menjauh dari tempat itu,
Aku mengerti,yang dibutuhkan sang Raja sekarang hanyalah ruang untuk ‘sendirian’.

Aku yang telah berusia puluhan tahun ini-dimana seharusnya aku telah menjadi kakek buyut dari beberapa generasi keturunanku-tentu cukup bijaksana akan apa yang harus kulakukan.

Sambil menatap kasihan pada punggung yang lemah itu,Stast ini senantiasa bertanya dalam hati,


Bagaimana bisa?!
Undead masih menyimpan perasaan mencintai serta pengharapan yang sebesar itu kepada seorang gadis manusia rapuh hingga ia merasa sesakit ini?!


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:40 am

Tasuku.


__________________________
_____________________





Tiga hari berlalu sejak kejadian itu.

Aku memutuskan untuk bersikap tegas pada Daina siang ini,
Aku telah melarangnya berkeliling tempat ini,hanya mengurungnya dalam kamar,
membayangkan ia tersesat ditempat berbahaya macam ini,atau terperangkap dalam laboratorium penelitian Stast seperti kemarin…Lab milik Stast!
Bagaimana aku tidak shock mengingat setiap makhluk berbahaya hasil kreasi Stast didalam sana!

Aku sungguh sungguh dipusingkan masalah ini,
Semakin lama Daina menjadi semakin tergantung padaku, ia selalu tampak gelisah ketika menungguku mengunjunginya,
Melihat wajahnya yang memelas membuat teriris.

Semakin lama kami semakin sulit memisahkan diri satu sama lain.
Ingin sekali kukatakan padanya,betapa ia gadis yang sangat berarti bagiku, betapa hidupku hampa tanpanya.
Tapi semua kata-kata itu tertahan dalam dadaku,
begitu sulit diungkapkan,
jika kuungkapkan,pasti akan semakin sulit baginya untuk bangkit,
Sebenarnya untuk apa aku menahannya disini…? Tidak bisa membunuhnya, tidak mau melihatnya mati, bahkan tidak sanggup terpisah darinya.
Sementara hidup bersama dengannya juga sesuatu yang mustahil…

Aku semakin jarang menemuinya,hanya berkunjung sebentar untuk mengantarkan makanan,
aku tahu, aku telah sangat melukainya.

-
-
-
-
-

Pukul 03:20 pagi,
Kamar Daina.


Aku tidak mengaku perbuatanku, ketika malam hari aku menyelinap ke kamarnya, setiap malam, seperti malam ini, hanya untuk memandanginya tertidur,
Bisa kulihat bekas air mata dipipinya, ia hanya mengandalkanku,seperti
biasa, dan aku lagi-lagi bersikap kasar padanya,
aku sangat menyesal.

“Tasuku…” aku mendengarnya membisikkan namaku dalam mimpi,ia meneteskan air mata lagi,
Aku yang paling tahu seberapa parah luka hatinya, karena aku.
Bukankah ia wanita yang paling ingin kubahagiakan didunia ini?
Namun ia harus sadar posisinya, ia manusia, dan aku hanya makhluk abnormal hasil rekayasa genetik yang menyedihkan, Kakak benar…
Aku tidak pantas untuknya… aku tidak pantas bagi siapapun…

Aku juga sakit.
Aku ingin mengulurkan tangan,bermaksud menyeka butiran halus sebening berlian itu, jika aku tidak bisa melakukan sesuatu demi dirinya,berarti hanya hal sesepele inilah yang mampu kulakukan,

Tidak, aku terhenti ditengah jalan,
Tepat disaat jemariku akan menyentuh lapisan kulit yang lemah dan lembut itu,
Aku terlalu kotor,bahkan untuk menyentuhnya,
Siapa yang bisa menjamin tangan ini tidak akan mencabiknya?! Siapa yang tahu beberapa saat lagi,makhluk kotor berlumuran darah dan dosa ini tidak akan menyakitinya?!

Aku harus pergi sekarang,
Rasa sakit teramat sangat mengganjal dalam dadaku,
Aku tahu,ketika aku memutuskan untuk memilih jalan ini,aku tahu bahwa aku akan terluka seperti ini,
Namun,aku tidak pernah menyangka,bahwa ia juga…
Sama terlukanya sepertiku, kukira jika kakakku menggantikan posisiku dihatinya, seperti dugaanku,aku akan mudah menemukan alasan untuk melenyapkan mereka dari hati ini,

Tidak kusangka,
Mereka yang ingin kubenci,malah tertanam semakin kuat dihatiku,
Bayangan kakak muncul dimataku,
Dia yang paling kulukai…dia yang telah kukorbankan, dia yang selalu berdoa akan hal yang terbaik untukku…,dia yang selalu rela menyerahkan apapun miliknya yang paling berharga sekalipun demi aku!
Betapa aku telah melukai semua orang yang mencintaiku, aku yang selama ini di lindungi olehnya,
Betapa mereka semua telah menderita demiku,
Dan demi mendapatkan mereka kembali, aku tidak peduli apa yang akan kulakukan dengan dunia ini.

Dunia tanpa mereka sama saja tidak ada dunia.
Aku akan merubahnya, membuatnya menerimaku, mendapatkan kembali cinta kasih keluargaku.
Terserah apapun yang terjadi pada manusia lainnya…

Tapi kenapa justru sekarang?
Keberadaannya, keberadaan Daina lah yang membuatku memikirkan kembali alasan alasan yang telah kutinggalkan, membangkitkan lagi perasaan manusiaku.
Anehnya, semakin aku berusaha menghapus, setitik demi setitik penyesalan mengejarku.
Bahwa ini tidaklah benar, bahwa ini harus dihentikan.



Kakak!


Aku memanggil manggil, seperti ingin ditolong, disaat seperti ini harapan benar benar adalah hal paling menyesakkan, karena kau tahu kau tidak memilikinya,
Baru saja sakitnya terasa lagi,mengingat kami yang saling bunuh…
Namun,aku harus bisa melupakannya dan menganggap segalanya sebagai ‘korban’ untuk ritual busukku demi mewujudkan impian untuk bisa bersatu lagi bersama mereka yang kucintai yang membelengguku selama ini!
Aku tidak bisa melawan nuraniku sendiri,
Nurani, Tash? Hal yang sekarang terlalu tabu untuk kumiliki!
Sambil menatap Daina yang tertidur pulas untuk terakhir kalinya,aku membuka tirai jendela,
Menuju balkon dan kembali menutupnya,

Kelelawar raksasa yang menungguku segera bergerak cepat begitu aku melompat, menyambutku, Raja mereka.
Debur ombak ditengah malam seperti nyanyian tanpa nada, aku ingin sekali lenyap dilaut ini,
Entahlah, sejak Daina tiba disini, pikiranku kacau,
Aku semakin memikirkan masa laluku…

-
-
-
-
-

Aku terduduk diruanganku,
semalaman, begitu terus hingga pagi menjelang, lalu tak terasa malam lagi,
aku hanya datang untuk mengantarkan makanan Daina,meletakkannya di sofanya, Sengaja membubuhkan obat tidur didalam makanan Daina, membuatnya bangun hanya untuk kehilangan waktu, agar ia tidak menungguiku lagi,

Jika kami tanpa sengaja bertemu, Aku tidak bicara padanya,
mengacuhkan tatapan penuh kerinduan yang ditunjukkannya terang-terangan padaku, lalu segera pergi,

Aku seperti orang idiot yang mendambakan kekasih yang jelas-jelas ada didepan mataku,
Aku semakin tersiksa karena tak memilikinya,

Aku tahu ia menungguku,aku tahu ia gelisah,
Sialnya aku lebih memilih menjadi kejam, daripada menjadi bodoh.


“Sampai kapan kau mau dia ada disini?” Stast membuyarkan lamunanku.
Aku tidak bisa menjawabnya, sebaliknya, aku malah mengalihkan pembicaraan.

“Ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku, karena aku tahu Stast tidak mungkin mengganggu ‘waktu istirahat’ku tanpa ada sesuatu yang penting yang harus dilaporkannya.

“Penyusup.” Jawab Stast enteng, “Ada lebih dari 20 orang, Paladin pastilah sudah mengendus wilayah kosong ini untuk melacak keberadaan kita,
Kurasa ada baiknya kita pindah tempat untuk sementara... no?
tenanglah, sudah kulumpuhkan sebagian, tapi beberapa diantaranya berhasil melarikan diri kedalam hutan.”

Alisku mengerinyit, “Kau biarkan mereka lolos?” Bukan masalah besar, biasa saja jika ada yang mengejar kami, akan selalu ada yang mengejar kami dimanapun kami berada, tapi pindah tempat dan membawa Daina bepergian... tidakkah itu terlalu beresiko?

Dengan santai Stast bersandar pada dinding berdekatan dengan jendela.
“Mangsa yang bermain kabur kaburan akan lebih menarik, My Lord,” desisnya memberikanku alasan
Rambut hitamnya yang acak acakan tertiup angin berhembus dari celah jendela yang terbuka.

Aku berhenti menanyainya,
Bagaimanapun mempermainkan mangsaku seperti tikus bukan gayaku.
Aku sendiri lebih suka membunuh dengan cepat tanpa menimbulkan banyak penderitaan maupun rasa sakit.
Mereka bahkan tidak akan sadar nyawa mereka telah terpisah dari badannya.

“Stast…” Panggilku sesaat kemudian, “Aku butuh darahmu, segera, ada sesuatu yang ingin kuteliti.”

Bola mata hitam Stast menunjukkan bahwa ia penasaran dengan apa yang kurencanakan, tetapi ia memutuskan untuk diam saja, namun aku yakin, jauh didalam lubuk hatinya, ia sudah tahu apa yang akan kuperbuat.

Alih-alih bertanya mengenai keperluanku, ia malah membisikkan sesuatu tanpa menatapku. “Apa kau mengerti…? Kau masih memiliki pilihan pilihan itu.
Penderitaanmu, atau penderitaannya.
Kenangan akan selalu indah, tidak peduli seberapapun usahamu untuk menghapusnya, akan selalu terkunci didalam hatimu.
Karena itulah ekspektasiku padamu teramat tinggi.
Kau sudah tahu, Jika kau berharap untuk melanjutkan ini.
Kau akan menjadi yang paling menderita, sebab kau pernah mencicipi dan tahu betul bagaimana rasanya dicintai sekaligus mencintai dengan teramat dalam…”

Kuremas kepalanku sekuatnya.
“Aku… hanya bertaruh.”

“Taruhan,” Stast menyeringai, “Stast ini sudah tahu hasilnya akan seperti apa… Percayalah.”

“Itu sangat beresiko,My Lord…bukankah kau pernah bertekad membuang segalanya?!” Luciferina masuk secara tiba tiba, menyela percakapanku dengan Stast.

“Mau menjadikannya cemilan terakhir untuk merayakan kemenangan kita?” canda Stast lagi, “atau kau mau raja kita berbagi sedikit?”

Aku tersentak kaget.

“Diam kalian semua!” bentakku kalap, melemparkan tempat lilin antik yang bertengger di dekatku ke dinding.
Hancur berkeping keping.

Luciferina mengkerut ketakutan dibelakang Stast,
Menggeram memperlihatkan deretan gigi gigi setajam siletnya pertanda ketidaksetujuan.
Stast, sebaliknya,tetap bersikap tenang seperti tidak ada apa apa.

“Tentu,kami akan mematuhimu,raja kami…” desahnya lembut,

“Aku akan menyelesaikan masalah ini, kuharap sementara aku bertindak,jangan pernah melakukan apa apa,dan kalian tidak perlu berbuat yang tidak perlu,kecuali aku yang memerintahkan”Setelah agak tenang,aku berkata,

“Baik,yang mulia,aku paham,” tanpa banyak membantah, seperti biasa, Stast mengiyakan dengan segera.

“Dan,satu lagi” aku menambahkan, “Tolong,buat kunci pengaman yang memiliki kode jauh lebih rumit daripada kode yang kau buat untuk laboratoriummu itu, Kalau Daina-ku masuk sembarangan ketempat tempat berbahaya lagi, aku tidak akan memaafkan kalian,”

Stast tampak mengerutkan kening mendengar permintaanku,
Tapi toh lagi lagi ia memutuskan untuk diam dan melaksanakannya.

“Sampai kapan ia disini?!”
Stast sampai harus menyeringai tidak senang pada Luciferina karena pertanyaannya,
Tapi aku tahu aku harus memberikan jawaban,

“Kupikir…mungkin tidak akan lama lagi, Ia hanya umpan untuk memancing kakakku kemari, ia kelemahan kakakku, aku bisa melenyapkannya jika semua sudah selesai,”



Dan kelemahanku juga.



Aku tahu ucapanku sangat berlawanan dengan kata hatiku,namun,aku harus sadar posisi dan siapa aku sekarang, mustahil… “Tidak ada yang perlu dicemaskan,”
Aku adalah raja Undead,dan itu kenyataan,
Bisa saja kukatakan akan melenyapkan Daina... mudah sekali, tapi tidak bisa semudah itu melaksanakannya,

Gratakk!!

Sebuah suara mengejutkanku,
Baik aku maupun dua vampir di depanku langsung memasang wajah beringas,
Tapi kecemasanku semakin menjadi jadi saat aku tahu siapa yang sedang menguping dari balik tirai,
Gaun panjang Daina menyapu lantai keramik,
Ya,ampun,dia berjalan jalan sembarangan lagi…!

“Ma…af…” pintanya terbata bata, “A-Aku hanya mencoba berputar putar,dan aku menemukan ruangan ini,kelihatannya aku beruntung, syukurlah ada orang,”
Ia tersenyum dan berjalan mundur,

Daina…,yang didepanmu sekarang ini bukan ‘orang’, kau tahu…

Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku,mencoba menyuruh Daina agar cepat cepat pergi dari ruangan ini,
Aku menyadari aura berbahaya ini lebih dari siapapun,
Dan karena pengendalian diriku amat kuat,aku rasa hanya aku yang masih memiliki lebih dari separuh akal sehat disini.
Daina tampaknya mengerti ia terlihat dalam situasi yang salah,
“Ah…silahkan diteruskan,permisi…” katanya memohon diri,

Hanya saja,kesabaranku sudah habis saat melihat mata Luciferina berkilat lapar,
Apalagi saat ia menghirup aroma harum tubuh Daina,
Dan aroma cairan hangat yang terpompa mulai dari jantung hingga seluruh tubuhnya itu,

Kusambar istriku dengan agak kasar, menggendongnya dengan satu tangan,disertai gerakan sangat cepat,
Membawanya menjauh,
Daina kaget sekali,ia berpegangan pada bahuku agar tidak tergelincir,
Aku tidak peduli,aku marah sekali kali ini,
Ia sama sekali tidak penurut dan nekat…!

“Ini karena Tasuku hampir tidak menemuiku!” jeritnya membela diri saat ku bopong kembali ke kamarnya. “Aku hanya mencarimu…aku hanya ingin bertemu denganmu…”
Aku mendengarnya terisak, ia sendiripun sadar, bahwa aku tengah memarahinya walau tanpa suara.
Ya,Tuhan…
Apa lagi ini? Salahku lagi?

Bagaimana caraku agar dapat menjauhinya…?


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:42 am

Stast.

____________________________
____________________





Luciferina tertegun sama kaku nya dengan aku sekarang.
“Apa-apaan yang tadi…?!” bentaknya,

“Cinta…” sahutku hambar.
Luciferina tertawa mencemooh,

“Jangan membuatku tertawa,Stast…, singa yang jatuh cinta pada menjangan? begitukah?!”
Aku masih terdiam,sama seperti Luciferina,aku sendiri juga tidak dapat mengartikan arti semua ini,
Otakku buntu, dilain pihak, aku juga kebingungan,
Raja kami, seorang pemangsa,dan gadis itu harusnya adalah mangsa…!
Kami hidup tanpa cinta,
selamanya akan seperti itu, karena kami tidak perlu perasaan remeh seorang manusia agar bisa bertahan hidup…
Dalam hati aku mengkhawatirkan perilaku yang menyimpang itu.

“ ‘Daina-ku’ katanya…kau dengar kan’?” Ferina kembali berkicau, “Huh, aku berani bertaruh ia tidak akan memakannya malam ini…”

Aku mengangguk, “Biarlah,toh’ ia hanya butuh bersenang senang, tidak apa kan kalau dia menyimpan mangsanya sebagai mainan…,
Percayalah padaku, Dia yang terkuat diantara kita, Diia raja kita semua,ia tidak mungkin mengingkari semua itu…”

Ferina hanya mengangguk,
“Kali ini aku akan diam,” jawabnya lancar, “tapi,kalau perasaan cinta atau apalah yang merepotkan itu menggagalkan cita-cita kita selama ini,”
Jari jari halus Luciferina membelai kerah baju kemeja longgar yang kukenakan, ketika ia bicara bibirnya amat dekat dengan bibirku,

“Aku bersumpah,akan melakukan apa saja untuk kemenangan kita semua, termasuk melenyapkan perasaan cinta tidak perlu seperti cinta yang ia rasakan seperti saat ini”
Aku tahu ia sungguh sungguh dengan kata katanya, “Sang raja milik kita, hanya milik kita, ia akan melindungi kita, kita menggenggamnya, kita bersama sama akan mewujudkan dunia baru…” Rengeknya padaku,

“Dunia akan jadi milik kita, Stast, milik kaum abadi, mereka hanya ternak, aku tidak akan mati sebelum cita cita itu terwujud”
Tekad yang sama denganku,

“Tunggu saja,saatnya akan tiba,” aku menerima pelukan Ferina yang bermanja di dadaku,mengelus rambutnya yang lurus panjang,
Dan memandang tubuh indahnya yang terbalut busana ketat terbuat dari bahan kulit,
Aku selalu mengagumi ciptaanku, selalu.
Kami,undead adalah makhluk paling indah didunia.

"Saatnya akan tiba, Aryanov Gabriel akan mencari kita selama kita punya gadis itu, aku berjanji," Kutempelkan tangan berjari lentik itu dipipiku, "Aryanov dan Tsarania, Memiliki mereka berdua, kita memiliki seisi dunia..."


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:43 am

Tasuku.

__________________________
________________________




Kutarik Daina yang mengikutiku dengan terpaksa, membuka pintu berukuran besar itu hanya dengan satu tendangan ringan dan mudah,
Bahkan Daina yang mungil tentu amat bersusah payah menggesernya ketika akan lewat.

“Bagaimanapun aku sudah melarangmu keluar! Apalagi dihadapan vampir lain!” aku membentak, menurunkannya keatas tempat tidurnya,
Air mata Daina bercucuran.

“Jangan marah lagi padaku… Jangan berteriak teriak begitu... Aku tidak tuli,” ia menutup telinganya dengan kedua telapak tangan, air matanya mengalir semakin deras,
Aku merasa iba menyaksikannya yang terluka.
Aku telah menyakiti hati wanita yang sangat lembut ini,
Dan lagi-lagi aku sangat menyesal.

“Itu salahmu,” aku tetap bertahan, “Apa kau sama sekali cacat mental hingga tidak dapat mencerna apa yang sering kukatakan?!”

Daina menggeleng kuat kuat, “Aku dengar,kok” katanya padaku, “Tapi Tasuku tidak datang…kau jarang ada disini…,jarang menengokku…, Kau juga membuatku tidur seharian, kau memasukkan obat penenang dalam minumanku, itu curang!
kau pikir ini tempat apa hingga aku merasa betah disini?”

“Mereka berbeda denganku,” aku meruntuk,”Mereka akan memangsamu tanpa sempat kau sadari,mereka kejam, dan mereka akan membunuhmu tanpa ragu!”
Sesaat aku menyadari bahwa ucapanku terlalu bernada kekhawatiran yang nyata,
Mata Daina berkilat.

“Dengar,aku tidak peduli lagi padamu,aku tidak peduli lagi pada apapun yang kau lakukan,terserah kau saja,” elakku
Daina merengut, masih menangis tanpa suara, tapi matanya menatapku terang terangan, protes, penuh ketidak setujuan, marah, tidak terima…
Sejak aku menjadi raja Undead,baru kali ini ada yang berani menatapku langsung dengan tatapan seperti itu,

“Apa benar setelah ini kau akan membunuh aku?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya,

“Jawab aku! apa kau akan membunuhku?” ia bertanya sekali lagi,kali ini bernada gusar,menarik jas putihku, “Apa aku hanyalah umpan bagimu?”

Aku kehabisan akal,

“Bukankah itu yang kau inginkan? Itu yang terbaik bagimu,kan? Atau kau mau pulang ketempat Paladin dan berkumpul lagi dengan sesama manusia? Mengharapkan Kak Ari menjemputmu? Ya, tentu saja, kau mengharapkannya menjemputmu, Romantis sekali, Pangeran berkuda putih datang menyelamatkanmu dari tangan monster sepertiku…” Aku tertawa, “Itu juga tergantung siapa yang masih berdiri dengan utuh saat pertempuran ini selesai.”

Wajah Daina memucat dengan pandangan mata tidak percaya.
Aku tahu kalau aku sok membuat semua keputusan, tentu saja Daina terlihat keberatan,
ia mendengar semuanya,pembicaraanku dengan Stast, ia mendengarnya…

“Bisa bisanya kau bicara seperti itu…” Mata Daina berkaca kaca, “Aku tidak setuju…!” katanya lantang, “Yang aku mau hanya disini,bersamamu, dan soal kak Ari juga! Aku tidak mau lagi kalian berdua berkelahi! Kita bertiga, seperti dulu, itu adalah impianku, hidup bersamamu seperti dulu, disampingmu adalah tempatku!”

“Kau sebaiknya pahami posisimu sendiri saat berbicara,”

“Aku tidak mau!” lagi-lagi ia membantah,mata cokelat muda didepanku menyiratkan gundah, tapi aku tidak kehabisan akal.

“Kalau kau tidak mau mematuhi peraturanku …” aku mencari cara lainnya, “Stast dan yang lainnya akan menjadikanmu makanan mereka,kau tahu?”
tampaknya usaha menggelikanku menakut nakutinya sedikit berpengaruh,
Daina bergidik, hanya sesaat,
meski demikian aku tahu ia sedang merasa takut.

“Kalau... begitu lakukan sesuatu, Tasuku…” mohonnya, aku tercengang,
Apa apaan dia?! Meminta tolong pada Undead!
Daina bersedekap ketakutan, aku tahu lagi-lagi ia berusaha merayuku,

“Dengar…,kau bisa melindungiku…kau bisa melakukan sesuatu agar aku tidak disentuh mereka,seperti selama ini?” Daina meraih helaian rambut yang jatuh menutupi kedua mataku, menyibaknya agar aku bisa melihatnya lebih jelas lagi,
Walau tanpa ia melakukan itu sekalipun,aku telah melihatnya dengan begitu jelas,
Pandanganku terhadap Daina tidak terhalang oleh apapun.

“Kau lebih kuat dari mereka semua, kan? Kalau kau dan kak Ari bersama sama…”

“kau pasti sudah sinting!” ujarku, ada nada mengancam dalam suaraku, “Ya Tuhan…”
Berapa lama aku melupakan Tuhanku? Aku bahkan tidak tahu,ber-Tuhan pada siapakah aku sekarang,
Rasanya sangat terlambat aku mengucapkan kata ‘Tuhan’…
Aku sangat malu pada diriku sendiri…

“Tidak akan ada seorangpun yang menerimaku didunia ini, keberadaanku tidak dibutuhkan didunia yang lama, karena itu…” Aku menghela nafas, “Aku akan membuat dunia baru, dimana semua orang bisa bersama sama…”

“Aku…tidak pernah memikirkan itu…” Daina memelukku, erat dan hangat,
Suhu badannya membuat sel-sel beku dalam darahku kembali bergolak,
Manusia sehangat ini, aku juga sudah lama melupakannya,
Ia menekankan tubuhnya, membuat 'aset' yang menjadi kebanggaan setiap wanita itu menempel dengan ketat didadaku,
Detik berikutnya hanya suara bergetar Daina terdengar,bergema pelan hingga ke sudut sudut ruang dalam hatiku, aku mengerang lemah.
Betapa tidak berdayanya, Sialan...

“Aku tidak akan mengganggumu lagi, Tasuku, aku tidak peduli kau itu kaisar Undead atau bukan…aku berjanji akan selalu mematuhimu meski aku harus terus terkurung dalam ruangan ini…” ia bersimpuh mencium tanganku,air matanya mengalir semakin deras membasahi pipi. “Hanya, Hentikan semua ini… Kumohon, jangan berperang lagi, kembalilah kepada dirimu yang dulu… Tasuku dulu sangat penyayang, aku… aku…”

“Lepaskan aku” ujarku dingin,sama dinginnya dengan hatiku saat ini.
Setengah menyesal karena begitu keras kepala melepaskan kesempatan yang selama ini hanya bisa hadir dalam angan,
Bukannya melepaskanku,Daina malah memeluk lututku,menyembunyikan dirinya diantara mantel panjangku dengan sayangnya,

“kumohon…aku akan menurutimu,akan kulakukan apapun…tapi berhentilah! Jangan lakukan hal hal kejam lagi...!”

“Cintai aku…Tasuku…, seperti aku mencintaimu! kumohon jangan buang aku, jangan tinggalkan aku…”

Jangan menyakiti lagi-cintai dia-jangan berperang-dan jangan meninggalkannya.
Betapa banyak permintaannya yang tidak dapat kukabulkan.
Setiap permohonannya begitu menyayat perasaanku…

Untuk beberapa saat, keadaan semacam ini terus berlanjut, “kita bisa memulainya lagi,Tasuku…dari awal…,berjanjilah,kita tidak akan terpisahkan lagi…berjanjilah…”
Sejak awal akulah yang telah meninggalkannya,
gadisku yang senantiasa menungguku dengan begitu setia, walau aku terus menyakitinya, walau aku terus melukainya,
walau aku membuatnya tersiksa dalam penantian penuh tanda tanya...

Harum darah Daina yang menyeruak mengusik panca inderaku,menunjukkan padaku betapa berbedanya kami sekarang.
Refleks aku mendorongnya, dan menjauh.

"Tidak bisa,kita tidak bisa seperti dulu lagi,ini adalah penyimpangan”
aku tidak menatap matanya,dan hal itu sepertinya telah membuat perasaan istriku sangat terluka,
betapapun aku melaknat diriku sendiri karena telah membuatnya begitu sedih,
toh aku tetap harus bertahan pada pendirianku,
hanya itu satu satunya cara melindungi Daina.

Aku masih disini,menunggunya bicara,menunggu kata kata makian macam apa yang akan ia lontarkan selanjutnya.

Tetapi Daina hanya bersembunyi, ia melemparkan dirinya diatas tempat tidurnya, terisak.
Ia sejak dulu seperti itu, begitu cengeng dan keras kepala, ia tidak mudah menyerah, begitu takut hidup tanpaku,
Bukankah ia yang seperti itu yang membuatku jatuh cinta padanya?
Karena ia menyerahkan segalanya tidak hanya cinta tapi juga hidupnya untukku.
Pengabdiannya, pengorbanannya, kesetiaannya,
Hal-hal yang lelaki lain hanya bisa memimpikan untuk dimiliki...

Ia menjadikanku dunianya, aku merasa berkuasa, ia membuatku merasa bisa melakukan segalanya...
Betapa sempurna cinta yang ia miliki terhadapku sehingga memikirkan tidak bisa bersamanya lagi membuatku gila...

Aku berjalan mendekati ujung tempat tidur,
Daina mengubur dirinya diantara selimut dan bantal, sesekali berguncang menahan isak, semua kata kata penghiburan tertelan begitu saja dalam tenggorokanku.
Meninggalkanku sendirian dengan dipenuhi rasa bersalah.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:44 am

Daina.


________________________________
____________________________



Aku terbangun keesokan harinya,
Kuusap bekas bekas air mata yang mengering diantara pipiku.
“Tasuku bodoh…” Ujarku dengan mata masih mengantuk.

“Maaf kalau aku bodoh.”

Aku tersentak.
Tasuku sudah berada disebelahku.
Tunggu, apa dia tidak pergi semalaman? Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.
Ia mengenakan setelan jubah putih dengan ornamen keemasan dan aksen bulu bulu seputih kapas, semegah dirinya yang biasa, tidak mengurangi suatu apapun estetika serta kecantikan yang ia miliki,
Kendati wajahnya menampakkan ekspresi bosan.
Terpukau sejenak akan pesonanya, lalu kupaksakan diri membuang muka,
Berat sekali rasanya, karena ia selalu semakin tampan entah wajah seperti apa yang tengah dipasangnya.

“Apa yang membuatmu…” Belum selesai aku menanyakan keperluannya yang diluar kebiasaan berada sangat denganku seperti sekarang,
Ia telah bergerak cepat sekali, hanya seperkedipan mataku, ia sudah berada didekat jendela kamarku, menarik tirainya sehingga sinar matahari menyeruak masuk menerangi seluruh ruangan.
Aku menarik selimutku menutupi kepala karena silau.

“Cuacanya bagus,” Tasuku mengangguk padaku. “Ayo jalan jalan.”


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:52 am

Ari.


_____________________________
_____________________




“Jadi begitu,” Aku menarik nafas, membiarkan udara pagi memenuhi paru-paruku,
Ryo disampingku kembali menenggak isi dari kaleng bir ditangannya.

“Aku turut menyesal dengan nasib pak tua,” ujarnya, menuangkan bir yang tersisa diatas makam Yudas. “Cuacanya panas sekali, kawan” senyumnya jail.

Aku mendelik, mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak sopan, Ryo cuek saja.

“Lenganmu bagaimana…?” Tanyaku lagi, berusaha keras agar tidak kelihatan khawatir, celakalah, si brengsek ini bisa besar kepala kalau tahu ada orang mencemaskannya...

Ryo mengangkat bahunya, “Yah, sudah diperbaiki, seperti yang kau lihat,” Ia mengangkat lengannya, menunjukkannya padaku, “Monroe marah padaku, kurasa akan berakibat fatal pada gajiku bulan ini, lagi lagi gagal nikah deh, nasib” Candanya.

Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Jika mendengar Ryo yang bercanda seperti ini, rasa khawatirku pun lenyap.
“Mikia melakukannya dengan baik,” Senyumku.

Ryo agak terkejut mendengar kata kataku, “Tunggu, kau tahu…?”

Aku tidak meresponnya.

“Kau-tahu-Mikia-selama ini---Padaku…?” Ulangnya.

“Apa peduliku,” Jawabku sekenanya, dan Ryo sukses melemparku dengan kaleng kosong bir, Aku mengelak menghindari lemparannya.

“Kau pasti tidak ingin aku menikah lebih dulu daripadamu ya… ” Kata kata Ryo langsung terhenti saat tendanganku nyaris saja bersarang dikepalanya.

“Jangan samakan pola pikirku denganmu, super bodoh.” Aku memaki.

“Aaaah, Bedebah,” Umpat Ryo terengah. “Teman macam apa kau?”

“Teman macam apa yang meninggalkan temannya untuk mati hanya demi seorang wanita masa lalu…?” Balasku, aku sudah dengar ceritanya dari Mikia.
Aku setuju dengannya, Ryo bodoh sekali…

Sahabatku hanya nyengir senang didepanku, “Yah, tapi kan… Tidak jadi,” ujarnya mencoba membela diri.
Pembelaan yang ia tahu tidak akan pernah kuterima.

“Jangan pernah lakukan itu lagi,” Aku berkata tajam, “Kukira hanya aku,”

Ryo diam mendengarkan.

“Kukira hanya aku, tapi jangan kau juga,”

“Aku juga hanya manusia,” Ryo terkekeh. “Aku senang kau mengkhawatirkanku,”

“Aku tidak peduli kalau kau mati dimakan Chimera sekalipun, tapi tidak dengan cara bunuh diri, itu…”

“Iya, iya, Aku bodoh,” Ryo mengangkat tangan tanda menyerah, “Bisa kita hentikan acara ceramah akbar ini…? Kau jadi seperti Alexander tua itu.” Setelah memastikan bahwa Mikia tidak ada untuk mendengar mulut lancangnya, ia kembali melanjutkan acara duduk santainya diatas nisan nisan tua.

“Sekali ini, hanya sekali ini, Lagipula kau tahu apa yang kucari selama ini sudah kutemukan,” Ryo mengerling kearah nisan baru yang masih basah oleh embun pagi,
"R'lyeh seperti keluargaku... Setidaknya sebelum aku bertemu denganmu,"

"Itu bukan alasan."

“Ya, ya, siap, Jendral.”

Aku membuang muka, betapa menyebalkannya.

“Tapi berkat itu, aku jadi tahu,” Ujarku lagi. “Dunia seperti apa yang kiranya ingin dibuat Tasuku.”

Hening.
Bahkan Ryo pun tidak menyela kata kataku saat ini.

“Tidak apa apa, Aku sedikit lebih memahami pemikirannya,
Didunia ini, ada beberapa hal yang, walaupun kau pahami, tidak akan dapat kau terima… betapapun kau berusaha keras memikirkannya.”

“Diluar logika, yah,” Balas Ryo, menanggapi ucapanku. “Undead yang dapat menunjukkan perasaannya, jika saja manusia yang sekarang bisa semudah itu menyatakan maksud mereka, semudah itu saling memahami, pasti tidak akan pernah ada peperangan karena orang bisa lebih mengerti antara satu sama lain seperti itu,
Segalanya sebaik kita mengenal diri kita sendiri, bahkan matipun takkan menyesal.”

Kami sama sama terdiam.
Tasuku… Ia memikirkan banyak hal.
Dalam hati aku kagum padanya.
Ia melakukannya dengan caranya sendiri.
Ditangannya, mungkin, mungkin saja Virus ini adalah anugrah tersendiri…

Tidak,
Betapa bodohnya,
Bodohnya aku yang memiliki harapan itu padanya.

Yang tidak dapat diterima adalah bagaimana ia menyakiti untuk mencapai hasil tersebut.
Berapa banyak yang harus ia renggut.

“Ternyata kalian disini!”

Seruan Mikia membuat aku dan Ryo menghentikan percakapan kami sejenak.

“Ah, selamat pagi, kakek,” Mikia tersenyum dan menyapa nisan besar ditengah tengah pemakaman."Dan selamat pagi R'lyeh,"

Pasangan bodoh...

“Darimana saja kau,” Ryo menyela,

“Belanja,” Mikia mengangkat kantong plastik besar yang penuh berisi belanjaannya, “Sedang tidak ada kerjaan? Mau sarapan bersama?” tanyanya padaku.

“ Yakin aku tidak mengganggu pasangan yang sedang kencan?” Aku merobek bungkus keripik yang disodorkan Mikia,

“Jangan tolol,” Umpat Mikia, “Tidak ada yang seperti itu disini.”

“Mengganggu! Jelas mengganggu! Kau juga ada keperluan lain, kan, Ar?” Teriak Ryo, Yang langsung dibalas dengan sikutan Mikia.
Aku tergelak mendengar kata ‘mengganggu’ dari Ryo.

“Kalau tahu aku begitu mengganggu dengan senang hati aku akan ikut,” Ujarku yang langsung menerima ajakan Mikia.

Mengganggu pasangan bodoh,
Ini akan sangat menyenangkan.

Diiringi tawa Mikia dan protes bertubi tubi dari sahabatku yang berisik,
Kami meninggalkan area pemakaman.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:52 am

Daina.


____________________________
_______________________




Aku duduk diantara bunga bunga matahari besar disekelilingku, sepertinya Tasuku membawaku kesebuah taman disudut lain kastil besar ini.
Tasuku benar, harinya cerah sekali, angin hangat bertiup menerbangkan helaian helaian rambutku, gugup, aku membetulkannya dengan jari jariku.

Tasuku duduk diatas sebuah hiasan terbuat dari batu besar berbentuk singa tak jauh dari tempatku berada, mengawasi.
Rambut keemasannya begitu sempurna dibawah cahaya matahari.

Aku membuang muka.
Berpura pura masih marah padanya.
Walau hal itu rasanya sangat sulit sekali.

“Kau pucat,” seru Tasuku, membuka pembicaraan, “Sudah lama sekali kau tidak keluar kemana mana kan? Ini baik untukmu.”

“Kau juga pucat,” Jawabku asal, merasa lucu dengan kata kataku sendiri, “Apa pedulimu tentang aku? Aku kan’ hanya menunggu pangeran berkuda putih.”

Tampaknya aku memancing kemarahan Tasuku lagi,
Ya Ampun, lihat betapa mudahnya ia terpancing emosi sekarang,
Aku tidak tahu aku mendapat keberanian dari mana.

Lancang, kupandangi Tasuku, bahunya tertarik kedepan, tapi sebentar kemudian tampaknya ia sudah tenang lagi.
Tentu, itu hal yang paling mereka semua bangga banggakan, ya? Kemampuan mengendalikan diri atau apalah.
Mereka kan’ hanya menganggap diri mereka sebagai pemangsa,
Seperti bunga pemakan serangga.
Semakin mirip tampilannya dengan mangsa mereka, semakin sempurna.
Aku meremas gaunku, membayangkan sudah menjadi apa suamiku dalam dua tahun terakhir.

“Bermainlah,” Ia berkata, nadanya seperti memerintah. “Tidak ada banyak waktu seperti ini kecuali sekarang.”

Aku mencabuti serumpunan bunga Blue Daisy dan melemparkan kearahnya.
Sejauh mungkin yang aku bisa, walau aku tahu takkan mungkin menjangkau tempatnya berada.
Setidaknya aku bisa menunjukkan padanya bahwa aku benar benar marah.

Tasuku –aku tidak tahu apa itu perlu tapi aku bersumpah melihatnya- menghela nafas.
Ia berjalan santai kearahku, jubah putihnya melambai dengan sangat anggun, memunguti tangkai bunga bunga yang kurenggut begitu saja.
Aku merasa bersalah akan bunganya, tentu saja.
Kadang aku begitu tidak bagusnya dalam mengendalikan emosiku, kuakui.
Tasuku memberikannya padaku.

“Lihat, Apa kau tidak kasihan pada bunganya?” Tasuku membelai Daisy ditangannya.
Memisahkan setangkai dengan yang lain, menunjukkan padaku.



Bagaimana setangkai keindahan yang ia angsurkan padaku itu kemudian layu sekejap mata dalam digenggamannya.



“Aku tidak punya lagi kemampuan untuk menolong bunga bunga ini,” Tasuku berujar, “Mereka yang terakhir lahir disekitar sini, kalau kau tidak mau tidak apa apa, kita tidak akan melihatnya lagi setelah ini.”

Aku terkejut mendengar kata katanya.
Dengan kasar kurenggut sisa bunga dalam dekapannya.

“Pergi…!” Bentakku seraya membalikkan badan. Kejam, Tasuku kejam sekali…!
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkannya.
Ia begitu dingin.
Ia yang dulu, Tasuku yang dulu… Tidak akan pernah berbuat begini…
Tasuku yang lembut, Tasuku yang baik hati,
Rasa sakit menyeruak dalam dadaku. Meskipun demikian… Aku selalu mengharapkannya, entah darimana keyakinan ini berasal.
Aku sendiri tidak tahu.

Cinta selalu memberikan kekuatan aneh kepadaku, aku mengerti itu saat aku mulai memilih untuk hidup dengan mencintai Tasuku.
Saat semua malapetaka ini terjadi.

Sedetik, dua detik, detik ketiga aku menolehkan kepalaku, melihat kebelakang.

Dia sudah tak ada disana.
Pergi dari pandanganku.
Aku yakin ia masih mengawasiku dari suatu tempat yang tidak tertangkap oleh mata manusiaku yang terbatas,
Kesal sekali rasanya, kenapa Tasuku menyebalkan begini?
Tidak minta maaf… juga tidak merasa bersalah sedikitpun.

Aku memeluk bunga Blue Daisy didadaku, merunduk, dengan sebelah tanganku aku menggali lubang diatas tanah, bermaksud menanam ulang kehidupan kecil tak bersalah yang harus menjadi korban karena ketidakmampuanku mengendalikan perasaan yang berkecamuk ini.

“Maafkan aku…” Bisikku,

Jika Dia tidak bisa mengucapkannya, Aku masih bisa.



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 12:56 am

Tasuku.


____________________________
_______________________




Munafik,
Kenyataannya tidak bisa kuhentikan diriku sendiri, tersenyum melihat tingkah Daina barusan.
Terus mengawasi Daina dari balik jendela,
Istriku berjongkok memperbaiki tatanan bunga bunga disekelilingnya,
Gaunnya melambai dan rambutnya yang tergerai nampak begitu cantik.
Ia takkan tahu betapa aku memujanya.
Ratuku yang paling kucintai diseluruh dunia…

“Dia lembut,”

Aku menoleh, Stast sudah berada disampingku.
Sebisa mungkin aku menyembunyikan ekspresi senang dan banggaku atas pujiannya.

Ya, Ia suka bunga dan kupu kupu.
Hobinya berkebun dan mengawasi makhluk hidup.
Daina luar biasa, kan?
Dia cepat belajar, juga selalu bersungguh sungguh.

Ia wanita paling lembut dan keibuan yang pernah kukenal,
Ia juga lucu, patuh, jujur dan lurus.
Ia gadis ajaib yang bisa menjadi apa saja sesuai harapanku, tidak pernah sekalipun membuatku kecewa, ia keajaiban bagiku.

Lebih dari itu.
Ia hidupku.


Tapi diluar, kata kata sarat makna pemujaan itu tertahan hanya sampai dihati.
Aku tahu takkan bisa menyuarakannya.
Tidak lagi.

“Bagaimana dengan para penyusup itu?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Stast tidak menyindir apapun lagi tentang Daina,
Sebaliknya ia malah menunjukkan antusiasmenya terhadap pertanyaanku.

“Yah, My Lord…” Ia mendesah bahagia. “Aku belum menemukan mereka, sebagian mungkin lari kedalam hutan, tapi jika ada yang sampai mencapai kastil ini, aku pasti sudah tahu…”

“Belum…?” Tanyaku tajam. “Harus berapa lama lagi aku melihatmu bermain main?”

Stast menyeringai sarkatis.

“Kau harus memastikan jangan sampai ada seorangpun yang mendekati tempat ini.”
Putusku akhirnya.

“Aaah, Aku mengerti,” Jawabnya, mengerling kearah Daina.
Tampaknya ia menyadari reaksiku yang berpura pura tidak terpengaruh.
Stast memancingku, aku tahu.
Kelihatan sekali ia ingin mendengarku bicara lebih banyak tentang Daina, ingin mengetahui isi hatiku sebenarnya.
Entah dia sedang mengobservasi atau apa,
Kentara sekali dari bahasa tubuh yang menampakkan rasa penasaran yang tidak bersusah payah disembunyikan itu.
Aku takkan membiarkannya tentu saja.
Aku sendiri bahkan belum tahu apa yang kuinginkan.
Tidak paham apa yang kulakukan.

Tanpa kusuruh bayangan Stast lenyap dalam sekejap,
Aku mendengar suara petir menggelegar.

Sebentar lagi akan hujan.
Kupandangi tuan puteriku yang tengah menengadah menatap langit, sebelum ia kehujanan aku harus menyuruhnya masuk.

Disamping kaki Daina aku bisa melihat dengan jelas bunga bunga itu telah ditanam kembali ditempatnya.



Mungkinkah sesuatu sepertiku bisa ditolong dengan kekuatan yang sama?



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:00 am

Stast.


_________________________________
_________________________




Dari kejauhan aku melihatnya, bersamaan dengan hujan mulai turun, Raja kami menghampiri Pengantinnya, mendekapnya dari belakang.
Di awal saja gadis itu terkejut, tapi begitu mengetahui bahwa sosok yang berada sangat dekat dengannya adalah suaminya, ia membiarkan.
Wajahnya begitu sedih.
Tenang, tapi begitu sedih.
Raja kami membisikinya sesuatu, memperingatkannya agar tidak bermain main dibawah hujan.

Gadis itu agak ragu sejenak, raut wajah merajuk seperti anak anak marah akan sesuatu, hingga kemudian akhirnya mengangguk menyetujui, balas menggenggam tangan sang Raja yang membimbingnya masuk kedalam.

Cairan kehidupan jatuh dari langit membasahi rambutku, mengaburkan seluruh panca inderaku,
Aku menyipitkan mata mencari cari, membiarkan air hujan membasuh seluruh tubuh pendosaku, teringat kembali akan pertanyaan kuno yang selama ini terlupakan.

Undead hidup bersama manusia…?
Tidak… Pertanyaan lama itu adalah…


Manusia, bisakah hidup bersama Undead…?



Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun tanpa cahaya yang kulalui,
Aku kembali mempertanyakan eksistensiku.
Bagaimanapun pertanyaan menyakitkan itu lebih baik lenyap saja, musnah bersama impian tak berarti,
Tuhan hanya tercatat menciptakan mereka, bukan kami.
Hanya ada satu ras yang boleh berkuasa, seharusnya itu adalah mereka.
Dan ada hal hal yang tidak boleh ada, itulah kami.

Betapa tidak adilnya…

Aliran lembut air hujan bergerak meluncur diatas lapisan kulitku, aku bersandar pada pohon ek didekatku.
Menggenggam butiran air yang menetes netes ditangan ini.
Penuh kehidupan.
Sama seperti gadis itu, dipenuhi daya hidup.
Begitu kuatnya hingga sang Raja saat ini mungkin saja tidak lagi merasa mati…

Aku mempererat kepalan tanganku.
Mungkinkah ada sesuatu… yang lebih kuat didunia ini dari luka dihati kami?
Sesuatu yang lebih kuat bahkan dari perasaan absolut bernama dendam sehingga makhluk terkutuk yang keberadaannya lebih baik dimusnahkan seperti kami, bisa diterima…?



"Dia Undead, dan dia Dicintai."


Tidak pernah ada Undead yang dicintai, omong kosong,
Kalaupun ada, itu hanya kenangan sesaat, mereka akan melupakanmu,
Setelah mereka menyadari bahwa kau bukan lagi orang yang sama dengan yang dulu mereka inginkan.

Gerimis terhenti, hanya sesaat kemudian, bau setelah hujan, Stast ini selalu mencintainya…
Membuat segalanya terang melebihi apapun, memberikan kunci akan hal hal yang kau cari, hal hal sepele sekalipun, seperti gairah masa depan untuk 60 menit kedepan, kau seakan bisa bepergian jauh kemanapun kau suka tanpa terhalang masa maupun waktu.
Aku menghirup penuh kerinduan.
Stast membaui sesuatu yang lain.

“Ferina…” Bisikku dengan mata tertutup.

Seorang gadis berambut lurus panjang keluar dari rerimbunan,
Melihatnya seperti itu, kisah lama akan ibu hawa membuatku tertawa.
Karena aku tidak mungkin adalah sang Adam.

Ia mencekal pohon terdekat dengannya, bekas cakarnya menimbulkan lubang menganga pada sisi pohon, bibirnya penuh bagaikan mawar merekah semerah darah mengatup angkuh dalam kemarahan.

Aku hanya berkomentar “Aneh… Aku tidak membaui apapun didekat sini, kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?”

Ferina diam saja, “Jika,” ia mengibaskan helaian keemasan rambutnya, “Ada yang menyembunyikan sesuatu disini,”

Sunyi, ia seperti mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kelanjutannya.

“Itu adalah kau, Stast.”

Perlahan Stast ini membuka matanya,

“Dan apa kiranya yang bisa kusembunyikan darimu…?”

Ferina tersenyum sinis. “Macam macam, misalnya saja, Hasrat.”
Aku ikut tersenyum,

“Jika, sesuatu sudah diketahui orang lain dengan amat baik seperti itu, tidak ada gunanya lagi menggunakan istilah ‘sembunyi’ untuk menggambarkannya…”

Senyum diwajah Ferina memudar.

“Aku tahu apa yang sedang menjadi ketertarikanmu saat ini,” Ia mendesis lembut tetapi kejam, “Tidak ada gunanya impian bodoh sekarang, untuk kita, tidak ada jalan kembali, dan perempuan itu,” Ia mundur dariku, namun tetap mempertahankan nada bicaranya, “Aku tidak akan membiarkannya mengubah apapun, entah apa yang harus terjadi pada diriku.”

Dalam seperkedipan mata, Aku merengkuh tubuh maha indah dengan kulit bagaikan pualam itu kedalam dekapanku.
Membuatnya paham dengan siapa sebenarnya ia bicara sekarang.
Ferina tidak sempat mengelak, tenggorokannya tercekat.

“Aku tidak mengerti perasaan macam apa yang tengah kau rasakan saat ini, Aku yakin tidak akan ada yang berubah…,
jangan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perintah, kau mengerti?” Bisikku. “Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, tapi Raja kita adalah Raja kita, jika kau sedikit saja memperlihatkan gelagat akan mengkhianatinya,”

Aku meraih pergelangan tangannya, menekannya lembut, mematahkan dengan begitu mudah.
Ferina menjerit tertahan.

“Kau akan musnah menjadi debu…”

“Aku menger…ti… Lepaskan aku,” Pinta ciptaanku lemah, seiring dengan kemampuan regenerasinya membetulkan letak tulangnya yang retak.

Aku mencium bagian samping lehernya sebelum melepaskan.

Ferina menjauh, lebih hati hati dan waspada seakan aku adalah ancaman lain baginya.
Aku membiarkan saja ia berpikir begitu,

“Ada sesuatu yang seharusnya tidak disini, bersembunyi,” kataku cepat sebelum Ferina sempat lari dariku, “Tidak ada satupun yang mampu bersembunyi dari hyena macam kita, kecuali memang sengaja disembunyikan,”

“Mana aku tahu!”Dengus Ferina kesal.
Masih memperlihatkan kemarahan yang sama, hanya saja kali ini ada sebagian rasa takut mewarnai bola mata ruby-nya yang indah.

“Begitu…” Aku mengalihkan pandangan, “Tapi kuharap kau mengingat dengan baik kata kataku barusan.”

“Aku akan mengingatnya!” Jerit Ferina kesal, “Aku akan membantumu melakukan pencarian, agar kau puas dan tidak sembarangan mencurigaiku lagi,”

Aku tersenyum menanggapi tawaran menyenangkan itu, “Betapa baiknya kau.”

Luciferina berdecak kesal sebelum akhirnya melesat dengan cepat, hilang tak berbekas dikedalaman hutan.


Aku kembali meneruskan lamunanku.
Memikirkan cerita cerita lama seribu satu malam, Grimm, apa saja,
Pada akhirnya semua hanya terfokus pada satu hal,
Keajaiban...



+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:02 am

Stast. (Lanjutan)


______________________________________

______________________________



“Kenapa kau agak pucat?”
“Tidak apa-apa,kok,aku…mungkin aku terlalu banyak berendam…”
“Kalau begitu jangan terlalu memaksakan diri,kau harus segera bilang padaku kalau ada sesuatu yang mengusikmu,” bisikannya terdengar demikian lembut ditelinga.

Lengan sang raja tak henti-hentinya melingkar mesra diantara pinggang gadis mungil dipangkuannya, sangat khawatir melihat rona merah jambu dipipi sang pengantin semakin memudar karena gugup.
Menggunakan jari, Ia menyisiri rambutnya dengan lembut,


Terus memesrai sang pengantin tanpa peduli walau Stast ini berada didepan mereka.


Jika bukan karena kepentingan sesuatu yang harus dilaporkan secara mendadak, mustahil ia mau diganggu disaat begini,

Ia tidak memarahi pengantinnya dan mengusirnya seperti dulu, sebagai gantinya, ia tidak sekalipun menyembunyikan kewaspadaannya.
Aku agak geli, siapa yang ingin mencuri dan memakannya jika tahu ia adalah properti pribadi milik yang mulia?

Gadis itu terlihat jengah,sepertinya ia sendiri agak tidak nyaman diperlakukan seperti bayi begitu,
tapi kenyataannya ia sendiri tidak dapat menahan dirinya untuk tidak membelai helaian anak rambut sang raja yang jatuh dari samping wajahnya hingga ke pipi dengan semburat warna keemasan,

ah,ya…,benar juga…, meskipun sang raja tidak mengakuinya, siapakah yang peduli jika mereka sedang dimabuk cinta demikian kuat?
tidak peduli pada aturan, moral, atau apapun. Hubungan yang terlarang.
Dan pasangan suami-istri sinting.

“Hm,kau tidak ingin bicara apapun padaku,Stast?” setelah sepuluh menit berlalu barulah pria dengan aura rembulan dan wangi mawar yang pekat memabukkan itu memalingkan wajahnya menghadapiku.

Aku seakan tidak dapat menahan rasa penasaranku,melihatnya yang begitu bahagia,


Kenapa bisa? Mengapa sebahagia itu?!


Mereka bukan pasangan serasi! Manusia dan Undead, hubungan yang membahayakan, penyimpangan yang mempertaruhkan nyawa…
Kuperhatikan rona bahagia gadis itu,ia bahagia…begitu bahagia…
Apa ia tidak menyadari ia bisa saja mati tiga detik lagi?! Apa tidak sadar pada akibat yang akan mereka timbulkan dari hubungan mereka?! Sebenarnya atas dasar apa mereka bisa bertahan?!

Kulihat wajah lega-nya bersandar pada pangeran.
Pangeran kami, penguasa kematian…
sambil menyimpan perasaan aneh dalam dadaku,kuteruskan kalimat

“Kulaporkan, bahwa tiga dari wilayah jajahan kita direbut,”
Wajah pangeran berdarah berubah muram seketika.

“Mengapa bisa?” ia bertanya parau.

Aku menunduk.
menimbang-nimbang,apakah harus kujelaskan sekarang.
Melihat situasi dan kondisi yang sepertinya tidak tepat saat ini, namun aku tidak pernah sekalipun meragukan kemampuan rajaku, aku telah pantang mundur sekarang, maka akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan.

“Karena kakakmu, My Dear Descendant…” tidak hanya sang raja yang terlihat amat terkejut mendengar kata-kataku, tuan puteri berambut sama gelapnya dengan kayu mahogani itupun terlihat pucat pasi,
Aku tahu instingnya memerintahkan agar lebih baik ia tidak mendengar lebih jauh hal hal yang mungkin akan menyakitkan hati,
Karena ia melakukan gerakan seperti akan beranjak dari pangkuan suaminya, namun Tuhannya didunia itu malah menahan pinggulnya disertai sikap protektif agar tetap ditempat, duduk dengan nyaman diatas sofa berwarna magenta dengan aksen keemasan bersamanya.

“Teruskan,” perintah sang raja ingin mendengar lebih jauh.
Aku tahu inilah yang kunantikan sedari tadi, ‘perhatian yang terlambat’ ia berikan pada laporan yang sangat-sangat penting,
Ia tidak biasanya begini, seperti mabuk akan sesuatu.
Aku penasaran, ketika ia masih menjadi manusia, apakah ia juga seperti ini?
akupun menghela nafas bersiap.

“Kakakmu saat ini memimpin Paladin,musuh kuat yang sekarang memiliki posisi sebagai Kaisar yang sama kuatnya denganmu…”



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:03 am

Daina.



____________________________
_____________________




Kak Ari.
Yang ia maksud pastilah kakak…

Aku terhenyak mendengar nama itu disebut,
Apalagi ia telah menjabat sebagai Jendral besar yang memimpin Paladin.

Tasuku tidak banyak membicarakan kakaknya sekarang, tapi aku yakin kakak masih melihatnya dengan cara yang sama, melihat kemungkinan dan harapan yang sama denganku,
Jika aku bisa bersama dengannya, jika kami telah menemukan sebagian cara untuk menangkal malapetaka ini,
Apakah terlalu serakah jika kami mendamba keluarga kami, keluarga yang utuh, sama seperti dulu?!
Apa ini terlalu serakah, Tuhan?!

Aku memegang tangan Tasuku yang semakin dingin,
Itu tidak mungkin,Daina…
Tidak mungkin ada keajaiban…sebanyak apapun kau memintanya,keajaiban itu tidak akan terjadi…sulit…

Jangan. Jangan kakak.
Apakah mereka berdua akan saling bunuh lagi? Terus seperti ini sampai salah satu dari mereka mati konyol di arena maut?

Kepalaku pening lagi,belakangan makin sering,
“Jika terus begini tidak ada pilihan lain bagiku selain aku sendiri yang harus pergi meraih kembali apa yang telah direbut dari kita” ujar Tasuku tenang.

Pergi lagi?! Berperang lagi?!
Itu artinya akan ada pertumpahan darah lagi antara kakak beradik itu,
Apa yang bisa kulakukan untuk mereka?
Aku punya banyak sekali pertanyaan, selain itu…akh….
Buram lagi,aku menyenderkan kepalaku dibahu Tasuku, mencari pegangan,
Aku ingin sekali.
Ingin.
Ingin sekali menyela percakapan itu, mengatakan dengan tegas bahwa ‘Ia-dan-kakaknya-tidak-akan-berkelahi-lagi.’
Aura menakutkan Vampir berambut hitam dihadapanku begitu menekan, sehingga sepatah katapun tidak bisa kuucapkan.
Menyakitkan, melihatnya saja sudah menyakitkan.
Aku tidak bisa berbuat apa apa untuk mereka, Tasuku dan Kak Ari, dan itu rasanya sangat sakit…

“Kapan waktu tepatnya,My Lord?”

“Paling lambat tiga hari dari sekarang…,Invasi baru akan dimulai,aku yang akan ada disana memimpin kalian,”

“Segera kusiapkan pasukan kita,”

“Senjata virus yang kita kembangkan, saatnya membuat ujicoba,Stast!”

Suara-suara berputar disekelilingku,aku tidak dapat lagi membedakan…yang mana…bicara pada siapa…
pandanganku akan sekeliling kabur.

“Daina…?!” sapuan tangan halus Tasuku di pipiku membuatku tersadar,aku menatapnya,saat itu apa yang kulihat bercampur aduk.

“Kau kurang sehat? Mau istrirahat?” ah…,rasanya nyaman sekali mendengar nada sehalus beledu itu bergaung mesra penuh rasa cinta dan rasa kasih sayang terhadapku…

“Maaf,Tasuku…” sahutku sambil menyentuh kepalaku yang rasanya berputar,aku tidak ingin merepotkannya…harusnya aku tidak memikirkan apa-apa…

“Aku…mu…mungkin aku hanya agak ngantuk…mungkin aku kurang tidur?” ujarku lagi dengan senyum yang dipaksakan, aku terpukau menyaksikan mata topaz berkabut agak jingga itu menatapku tidak percaya,

Ia menghentikan pembicaraan penting hanya untukku,karena itu saja aku sudah merasa sangat tidak enak,

“Aku akan mengantarmu,” ia berdiri akan menggendongku, aku menepis tangannya,dan mata itu melempar sorot kecewa karena penolakan yang kulakukan.

“Aku bisa sendiri” aku tertawa hambar,berusaha menetralisir rasa mual di perutku yang tiba-tiba datang,

Dia dan kakak… keluargaku akan saling bunuh lagi, membayangkannya saja sudah… ugh…

Agak tertatih aku bangkit,aku melihat si vampir berambut hitam menatapku dengan tatapan aneh melalui bola mata onyx-nya, matanya hitam sama seperti kakak, tapi tidak ada kehangatan didalam sana, kosong, hampa,
Jika kau berharap Vampir ini akan meanatapmu dengan sorot lapar mengerikan, Kau akan kaget karena kau tidak bisa menemukan emosi apa apa saat kau melihat matanya, bahkan kilatan cahaya yang biasanya terdapat pada bola mata makhluk hidup.
Ia dingin, bahkan aura yang berada disekitarnyapun membeku.
kucoba untuk tidak mempedulikan bulu kudukku yang meremang dan berjalan terus.

Seisi ruangan serasa berputar ketika aku melangkahkan kaki-kaki lemahku diatas karpet tebal,aku sempoyongan,berusaha meraih gagang pintu,
Tapi aku terhenti tepat didepan pintu kayu ek besar itu…,mencari perasaanku yang hilang, denyut nadiku melemah…,

lalu gelap,

Detik berikutnya aku merasa tubuhku oleng,
teriakan kekasihku yang memanggil namaku, adalah musik terakhir yang bergema ditelingaku…

++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:04 am

Tasuku.


______________________________
_________________________



Aku menyentuh pipi Daina dengan kalut, istriku masih tergolek tanpa daya, badannya panas.

Stast masuk kedalam kamar, berdiri disampingku begitu saja,
ia ikut menyentuh dahi kekasihku, Entah mengapa aku tidak bisa menghentikannya.
Aku merasakan percaya diri yang aneh…

“Kelihatannya hanya anemia, Dan kelelahan akibat stress ringan,”
Tentu, tak usah diberitahupun aku sudah tahu, aku seorang dokter.
Tapi kata kata Stast seperti menamparku.
Stress, tentu saja,
Berada disini memberikannya tekanan batin lebih daripada yang sanggup ia tahan.
Aku mengutuki diriku sendiri mengapa aku harus membicarakan tentang rencana pembunuhan tepat dihadapannya.
Terlebih lagi, pembunuhan itu ditujukan kepada satu satunya keluarga kami didunia…


Apa yang harus kulakukan untuk menolongnya?!

“Tasuku…” lagi-lagi ia mengigau,badannya panas sekali, kucoba memberikannya obat, dan sepertinya itu sedikit membantu,
Tak kupedulikan lagi Stast sedang melihatku dalam jarak teramat dekat.
Kugenggam tangan Daina erat erat, menempelkannya didahiku, perasaan kami terhubung dengan cara yang aneh.

“Jangan…membunuh lagi…”
Air mataku jatuh, ia menyebutku dalam mimpinya, menyuarakan harapan yang selama ini ia sembunyikan dariku.
Emosiku seharusnya mati, kenapa aku merasakan kesedihan?

“Jika terlalu berat, kau bisa menariknya ke sisi kita, dengan kemampuanmu sekarang itu mungkin,”
Aku diam saja, Kata kata Stast memang keterlaluan, saran yang kejam, tapi ia benar,
Harusnya kulakukan saja.
Tidak akan ada yang berubah.
Jika hanya untuk menariknya kesisi kami dan mengubahnya, mungkin akan lebih sempurna, bisa saling melihat kedalam hati satu sama lain, betapa menggiurkannya.
Dan kabar yang lebih baik lagi, aku masih tetap bisa menyimpan cinta milik Daina untukku sampai akhir zaman.
Aku yang sekarang sanggup.

Aku bisa melakukan apa saja, membunuh sebanyak apapun, menghidupkan orang mati, membuat surga ataupun neraka, semua untuk mendapatkan kalian yang kucintai, kembali ke tangan ini.
Aku sanggup menghancurkan dunia, meruntuhkan hidup siapa saja yang menghalangiku.
Duniaku adalah orang orang yang kucintai, kalau orang orang itu tidak ada, sama saja dunia tidak ada.
Tapi,
melukainya lebih dari ini…



Aku tidak sanggup.



Aku tidak ingin ia mati, Apapun akan kulakukan…apapun!
Betapa aku menyadari sekarang, Daina berharga karena ia hidup, aku takut ia terluka justru karena ia mampu merasakan sakit.
Tuhan, aku sangat menyesal…
Melihatnya sekarat didepan mata begini…
Aku bersedia mengorbankan jiwa raga ini,asalkan aku dapat melihatnya hidup dan tersenyum seperti sedia kala,
Bersamaku, Meminjamkan kekuatannya.
Genangan air mata dipipiku semakin menganak sungai, aku tahu aku bersalah,tapi mengapa hukuman ini diberikan kepada orang orang yang kucintai?!

“Jangan membunuh…lagi…”

Suara igauan Daina membuatku tersadar,aku tidak boleh menjadi lemah seperti ini,aku harus berpikir…
Masa bodohlah, aku sanggup melakukan apa saja sekarang.
Tuhanku, jika ini cinta, maka apapun menjadi mungkin.


“Aku tidak akan membiarkanmu terluka, aku akan melindungimu, aku berjanji.” Bisikku lembut disamping telinga Daina.
Kugenggam erat tangan Daina, mengelus jemari rampingnya,
merasakan kehidupan lain mengisi jiwa ragaku yang kosong.
Vampir tua yang menjadi guru besarku tidak mengatakan apapun lagi, aneh…
Ia tidak pernah sekalipun menentang apa apa yang kulakukan.
Lalu kurasakan keberadaannya lenyap begitu saja, bersamaan dengan suara desau angin yang menerpa tirai panjang melewati balkon kamar pengantinku.

Kuusap lembut pipi istriku, hatiku mengumandangkan berbagai macam doa yang kutahu.
Berharap Tuhan memberkati kami.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:05 am

Mikia.


____________________________
________________________




“Ari bisa melakukannya dengan sangat mudah, kenapa aku susah sekali yah,” kucoba sekali lagi memasukkan minyak kedalam pasta, Ryo menahan tanganku tanpa mengatakan ‘cukup’,

"Harusnya langsung ditiriskan saja, tidak usah ditambahkan minyak juga tidak apa, kan' mau langsung dimakan,"

"Tapi nanti lengkeeet,"

kalau tidak lengket ya kebanyakan minyak, itulah hasil pekerjaanku, yah, aku sudah terbiasa sih…

"Menyebalkan," Gerutuku, "Masa' soal beginian aku harus tanya pada Ari?"

“Kalau perbandingannya adalah Ari, susah itu,” timpalnya, menggulung pasta dengan garpu lalu serta merta memasukkan kedalam mulut, “Yak! Sempurna! Ini enak kok!”
Ia membantuku menata makanan diatas meja tamu, aku cukup senang ia meluangkan waktu untuk menemaniku begini, Tidak aneh memang, karena semenjak kakekku meninggal ia sering mampir,
Rasa persahabatan Ryo yang dalam kadang kadang membuatku merasa tidak enak menolaknya,
Namun mengingat aku yang baru baru ini menyatakan perasaan pada orang ini,
Ingin rasanya menenggelamkan diri jika bertemu dia.

Ryo santai sekali, tidak pernah mengusik sedikitpun tentang pengakuanku malam itu,
Dihatiku terbersit sedikit rasa penasaran memang,
Ingin tahu apa saja yang dipikirkannya, ingin ia berinisiatif membuka pembicaraan tentang kami, agar segalanya menjadi jelas, agar aku tidak harus menderita digantung begini.
Kurang ajar, kalau begini aku dan Ari tidak ada bedanya dong?

“Ada sesuatu diwajahku?” Tanya Ryo sambil menyuap, aku terkesiap, Sudah berapa menit aku tidak menyentuh makananku sama sekali dan berhenti memandanginya?

“Tidak ada,” Berpura pura melihat kearah jendela, aku membuang muka, bergaya judes seperti biasa, “Oh yah, kau hari ini akan menemani Ari rapat kan? Itu hebat sekali, aku sering diajak kakekku dulu, berat tapi,”

“Yeah, nanti sore” Ryo, seperti dugaanku, terlihat agak tertekan, ia muram sekali, lucu memikirkan orang yang seharusnya paling tertekan adalah Ari, ia mengkhawatirkan sahabatnya itu dengan cara yang unik.

“Kenapa tidak Syeikh saja yang menemani?” tanyaku, “Urusan seperti ini memang sebaiknya didampingi oleh yang berpengalaman saja,”

“Aku mau begitu,” Ryo menyentuh telinganya, agak bingung, “Tapi Ari menginginkanku…”

Ari menginginkanku… Oh ya ya ya…

Stop, Mikia, Jaga otak Fujoushi-mu disaat seperti ini.
Jangan Fangirling tidak jelas begitu.
Tidak bisakah kau jadi manis sedikit seperti Daina?
Aku mendesah tidak karuan, setiap kali aku melatih senyum polos seperti milik Dai, entah mengapa yang kulihat didepan cermin adalah wajah cewek idiot lega habis kentut setelah tiga tahun sembelit.

“Itu fotomu yah?” Ryo menunjuk kearah pigura berbingkai warna hijau lumut disebelah tempat dudukku, aku menoleh untuk melihat apa yang menarik perhatiannya.

“Oh, yah, benar,” Senyumku, “Aku lucu yah?” Didalam foto itu aku menggenggam bunga lily, mengenakan terusan putih dan topi, sedang digendong oleh kakekku,

“Itu umur berapa?” Ryo ikut tertawa kagum,
Membuatku berpikir keras mengingat ingat.

“Hmmm… berapa ya? Mungkin sekitar 7-8 tahun? Kau tahu, saat kecil aku hiperaktif, aku sering menyelinap ketempat pelatihan, membuat repot semua orang, aku menarik pelatuk pertama kali saat usiaku 5 tahun, bisa kau bayangkan reaksi kakek saat itu?”

“Dan masih saja, dia ingin menjauhkanmu dari pekerjaan ini,” sambung Ryo.

Aku mengangguk bersemangat, “Yap! Walau akhirnya dia harus mengalah, hehe,” Tiba tiba senyuman diwajahku mengendur, “Seandainya saja dia ada disini sekarang…”

Ryo kali ini tidak tertawa lagi,

“Dia dan ayahku adalah sahabat dekat, sejak Alexander Boracnitchov wafat, bisa dibilang ayahku-maksudku Syeikh- jadi agak pemuram,” Gumamnya, “Aku kadang berpikir,”
Sambil menyendok saus daging banyak banyak, aku mendengarkan, “Aku tidak ingin kehilangan Ari seperti itu.”

“Ryo…”

“Kadang membayangkannya saja sangat sedih,”

“Seandainya saja adiknya bisa menyayanginya sepertimu,” aku berkata pahit, tak kusangka Ryo malah menyanggahnya,

“Tidak, ia lebih,” bantahnya halus, “Jika tidak sesayang itu, dia tidak mungkin jadi gila karena kehilangan…”

Aku tertegun.
Ryo adalah Ryo… Dia mengerti orang lain lebih baik dari siapapun.
Cukup mengagumkan bahwa ia masih bisa melihat Dr.Gabriel dari sudut pandang manusiawi seperti itu, padahal orang tersebut adalah musuh…
Ryo baik hati, dia tidak sadar kalau dia baik hati.
Itulah yang paling menarik darinya,
Kelakuannya juga tidak mencerminkan seseorang yang baik hati.
Tapi ia bisa mengerti hal hal yang sulit dipahami orang lain.
Tidak aneh, ia bisa bersahabat dengan Ari yang ‘Seperti itu’, Tahulah, Ari mudah dibenci karena sikap dinginnya, dan sekalinya ia bicara, yang keluar dari mulut sialan itu malah kata kata pedas tidak layak yang membuatmu semakin ingin menendang wajah tampan nan stoic itu.
Aku sendiri jika sudah membenci orang, tidak bisa lagi berpikir sehat tentangnya.

“Aku selalu berharap aku bisa melihat dari sudut pandangmu,” ucapku sungguh sungguh, “Kau pastilah selalu memandang sesuatu dari segi baiknya saja, hm?”

“Aku apa?” Tukas Ryo bodoh.

“Oh sudahlah, lupakan saja,” Sial, sudah bersusah payah memuji. “Dan terima kasih sudah mengunjungiku, rumahku sepi sekali sejak kakek tidak ada,”

Ryo kelihatan sudah menghabiskan makanannya, laki laki makannya cepat, aku saja masih banyak sisa dipiring, hah,
“Pasti sepi sekali yah,” komentarnya sesaat, Ia kelihatan diam, termenung memikirkan sesuatu yang tak kumengerti, aku menelan makananku, bertanya tanya hal apa kira kira yang ada diotaknya saat ini.

Tak berapa lama ponsel lelaki itu bordering, “Ini pasti Ari,” Ia memberitahuku, membaca sms yang dikirimkan Ari untuknya, Aku tak kalah antusiasnya dengan Ryo,

“Aku harus pergi sekarang,” katanya lembut,

Agak kecewa sebenarnya karena waktu cepat sekali berlalu, walau begitu, ini tidak seperti aku bisa melakukan apapun kan?
Aku toh bukan siapa siapa,
Menahannya sedikit lebih lama lagi juga memalukan, dan hari inipun sampai akhir dia tidak membahas tentang pernyataan cintaku.



Aku ditolak.
Jelas saja.




“Oh yah, Mikia,” Sapa Ryo tepat didepan pintu, lamunanku terhenti, masih mengunyah karena makanku lambat, garpu berada didekat mulutku, sedang berpikir berapa banyak persediaan tisu yang tersisa dirumahku, apakah cukup, karena mungkin setelah ini aku bakal nangis Bombay gara gara patah hati,
Atau haruskah kulampiaskan kekesalanku dengan makan banyak banyak saja? “satu hal lagi,”

“Yaaa?” Sahutku dipanjang panjangkan, Ada apa lagi sih?

Cring! Aku menangkap sesuatu berkilauan yang ia lemparkan keatas pahaku, sial, nyaris masuk kedalam piring, kalau tertelan bagaimana? Eh, memangnya aku anjing laut yang menelan apa saja begitu? Azz konyol Mikia,
aku memungut benda tersebut untuk melihat lebih jelas, mataku membulat penuh ketidak mengertian.

Kunci… kamar?

“Mulai sekarang, pindahlah ketempatku,” Ryo tersenyum santai sambil memasang sepatunya, “Ayo tinggal bersama,”

Cepat sekali ia menghilang dibalik pintu, bahkan tanpa menunggu persetujuanku,
seakan yakin gagasan mendadaknya pasti tidak akan ditolak,



Bahkan tidak mengindahkan reaksiku yang membatu bak tersambar petir disiang bolong.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:07 am

Ryo.


Gedung pertemuan Mercury City, Moscow.

___________________________________
_____________________________


Ari berjalan santai sekali, Sama sekali tidak kelihatan bahwa ia sebentar lagi akan mengadakan pertemuan penting dengan para kepala Negara dari seluruh penjuru dunia.
Saat ia memasuki ruang rapat dalam gedung setinggi 338 meter yang menjadi kebanggan Moskow itu,
Dihadapannya, didepan meja oval berdiri setidaknya sekitar 15 orang pemimpin Negara, pejabat penting maupun ketua organisasi besar,
Mereka semua menunggunya dengan gelisah,
Beberapa tampak berbisik bisik resah, begitu melihat Ari duduk dikursinya, keadaan menjadi senyap seketika.
Hanya ada tampang tampang penuh kecemasan bertanya tanya apa sekiranya yang hendak disampaikan oleh Sang pemimpin baru Paladin.

Ari berdehem, menyampaikan pembukaan dengan sempurna,
Sempurna menurutku, aku tidak menaruh minat pada apa yang mereka bicarakan, konsentrasiku buruk sekali soal simak-menyimak… Karena ia lancar lancar saja, baiklah, begitupun sempurna.
Sementara aku –seperti orang bodoh- duduk disampingnya sebagai perwakilan dari Guardian Paladin, Asli, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, karena aku gugup dan biasanya kami hanya bekerja berdua saja,
Apalagi beberapa muka orang orang yang hadir disana bentuknya macam macam, aku ingin tertawa sepanjang waktu.

Tapi yang paling ingin membuatku ketawa sampai mati adalah Tampang Ari.
Sok bisnis, sial, haha
Aku tahu itu bukan wajahnya, ia mengcopy gaya bicara Boracnitchov dengan sangat sempurna.
Dan anehnya malah tidak terkesan mirip.
Ari memiliki aura berbeda, bukannya mengganggu, justru hal tersebut membuatnya unik dan disegani.
Tak heran si Tua itu memilihnya sebagai pengganti.

Ada yang berbeda dari penampilan sahabatku belakangan ini,
Ia tidak lagi mengenakan coat panjang khas prajurit Paladin.
Sebagai gantinya, kini ia mengenakan seragam militer megah yang sama seperti yang dikenakan Alexander Boracnitchov semasa hidup, disertai Cloak hitam berornamen khas kemiliteran pada bahu yang menutup bagian belakang tubuhnya, sehingga sangat tampak bahwa ia adalah seorang Jendral sekarang,
Bahkan rambut juga poninya yang biasanya agak panjang berantakan kini ia sisir kebelakang,
Sial, sial sial, aku ingin tertawa…
Belum lagi muka nge-boss itu, Bahahahah,

Bisa aku ketoilet sebentar? Aku ingin sekali tertawa!

Ya ya, Aku bangga padanya.
Melihatnya seperti ini, mau nangis rasanya, Kami sudah bersahabat lama sekali, dan melihat ia sudah mencapai tingkat seperti sekarang, yah…
Aku paham perasaanmu, Ibu…
Aku mengulum senyum berusaha agar tidak terbahak ditengah suasana serius begini.

“Jadi, apa kalian setuju?” Ari berdiri seraya mencondongkan tubuh kedepan, kedua tangannya bertumpu diatas meja, meminta kepastian.

Terdengar bisik bisik super berisik dari seluruh ruangan, bergema hingga kelangit langit.
Telingaku geli, sambil garuk garuk kuping aku melanjutkan tontonanku.

Salah seorang lelaki yang usianya kutaksir mendekati akhir 50-an berkepala botak mengangkat tangannya, “Maaf, Gabriel,”

“Silakan, Mr. Sanchez,” Jawab Ari tenang.

“Ku-kupikir… apa rencanamu itu tidak terlalu…”

“Merepotkan?” Selidik Ari tersenyum, “Aku tidak memaksa, kubilang, bagi yang ingin ikut saja, Semua yang menginginkan keselamatan, saat ini itulah prioritas terbesar kita.”

“Tapi… kau tahu.. Keadaan Negara kami sekarang…”
“Anak anak kita akan banyak mengalami masalah kelaparan,”
“Jika kita hanya fokus untuk membangun sesuatu sebesar itu, bagaimana urusan negara yang lain? Dan lagi, bagaimana mungkin bisa selesai hanya dalam waktu beberapa bulan?”

“Aku tidak bilang kita akan melakukannya dengan tangan kosong,” Ari melipat kedua tangannya didada, “Aku sudah bicara pada Sekjen PBB, semua Negara akan bekerja sama, tidak hanya satu atau dua, ini proyek yang dikerjakan secara massal,” Ia mengetukkan buku buku jarinya didepan meja, “Juga pertaruhan, kita akan menyuntikkan seluruh kekayaan kita dalam rencana ini,”

Kembali suasana ricuh.

“Tenang semuanya, tenang,” Ari mengangkat tangannya. “Semuanya tahu kita harus berkorban, kita tidak akan mendapat sesuatu tanpa merelakan sesuatu,”

“Aku menawarkan makanan, perlindungan, juga jaminan keselamatan bagi kalian mau mengikuti rencana ini, Jadi kutanya sekali lagi, siapa yang mau ikut?”

Hening, mata mata tanpa rasa percaya itu…

“Kita tidak berperang sendiri, kita berperang bersama bukan? Tidak hanya Negara kalian yang sedang terdesak dalam keadaan darurat seperti sekarang ini.”

Lalu seseorang yang duduk paling pojok dan kukenali sebagai presiden AS, Gerald Logan, pertama kali berdiri,
Menyesal sekali karena sejak Washington DC yang terkenal memiliki sistim keaman terkuat setelah Moskow berhasil ditembus dalam Invansi beberapa waktu lalu, ia harus memindahkan lokasi pusat pemerintahannya.
Dengan penuh itikad baik ia menjabat tangan sahabatku, pertanda menerima tawaran kami,

“Terima kasih banyak,”

“Kami mempercayaimu, apapun yang terjadi,” Orang nomor satu di AS itu tersenyum ramah,
Ari mengalihkan pandangan kearah kursi kursi yang lain, semula wajah mereka semua kelihatan cemas dan ragu ragu, "Tidak ada yang dipaksakan, tapi bantuan maksimal diberikan kepada negara yang bersedia melakukan aliansi,
Diluar itu, Kami tidak bertanggung jawab menjamin apapun,"

Semula muncul ekspresi keragu raguan, kemudian sunyi,
Lalu satu persatu bangkit dari kursinya, berdiri dan menyatakan dukungan mereka.

Tidak bisa kujelaskan betapa bangganya wajah sahabatku saat ini, lega, bahagia, tenang.
Pun demikian, masih dipenuhi oleh kharisma-nya.

Aku harus meminta penjelasan nanti.

-
-
-
-
-

“Tidak usah mengawalku,” Ari berpesan pada prajurit dibelakang kami, mereka memepet seperti bodyguard, Kurasa sama sepertiku, Ari sendiripun juga merasa tidak nyaman,
Kami memasuki Lift berdua saja,

Begitu pintu lift tertutup, Ari tersandar lemas didinding.
Menghancurkan Imej keren-cool-kharismatik yang baru saja ia tampilkan.
Aku sampai melongo tak percaya.

“Hoy!” Teriakku, “Kemana larinya sobatku yang keren tadi?”

“Brengsek kau,” Ari memaki, “Panas, gugup, aku ingin mati.” Tergesa gesa ia melonggarkan kancing bagian leher,

Tanpa menyia nyiakan kesempatan, aku langsung menertawainya sekuat yang aku bisa.

“Nanti kau juga terbiasa,” Sikutku, Ari meredam amarahnya sendiri, aku tahu ia sebal.

“Suatu saat aku akan membuatmu merasakannya juga,” geramnya, “Aku bersumpah.”

“Tidak terima kasih,” Tolakku, “Susah payah bilang supaya jangan dikawal seperti tadi, astaga, apa mereka juga mengelap bokongmu saat kau buang air besar?”

“Tutup mulutmu,”

Aku tertawa lagi, “Ngomong ngomong, apasih yang sedang kau bicarakan tadi?” Tanyaku penasaran, “Jelaskan padaku sekali lagi, -Ngerti kan aku tak pandai mikir- Rencana apa yang kau tawarkan pada mereka semua?”

Ari menghela nafas.

“Rencana pembangunan 57 basis dibawah tanah, tersebar keseluruh penjuru dunia, Sekaligus tempat pertahanan terakhir melawan kiamat yang akan segera terjadi.”

Aku melongo lagi.

“Ma-maksudmu yang seperti Krasnoyarsk-26 kita?!”
Tentu saja semua tahu tentang Krasnoyarsk-26 kami, kota megah yang semula digunakan sebagai pusat reaktor nuklir yang berada sekitar 200-250m dibawah tanah.
Luasnya jangan ditanya, Hahah.
Kami menggunakan 17km2 untuk produksi, cuma hal ini yang tidak berubah sementara sisanya saat pertama kali dibuka dan beroperasi pada tahun 1958 atau sekitar satu sengah abad yang lalu hanya seluas 131km2,
Guess what? dan sekarang ukurannya membengkak menjadi 1.990.34km2 hanya untuk sanitasi dan perlindungan, semua dalam system multilevel terowongan bawah tanah didalam gunung, segalanya tersedia disana meliputi persediaan air bersih maupun ventilasi udara, terbayangkan?
Yeah, gila memang, dan ia bilang ingin membuat sebanyak mungkin yang seperti itu?

“Tepat sekali,” sahut Ari muram.

Aku terperangah, “Kau gila, Boracnitchov saja belum tentu mau mengambil keputusan sebesar itu, maksudku… tak semua Negara memiliki kapasitas baik wilayah maupun dana untuk membangun yang sebesar itu,
Krasnoyarsk.. well… uhh…”

“Aku tahu,”

Kukepalkan tanganku, apa tujuan Ari?
“Realistislah, Ar, membangun peradaban baru, memfasilitasi seluruh manusia dimuka bumi ini sekaligus… astaga, kau ini baru bangun tidur atau apa?
Dan lagi.. mereka… Kau sudah lihat kan pengungsi di Ghana, Semenanjung Malaysia, lalu di China… Mereka Negara miskin sejak Invasi memblokir sebagian besar wilayah mereka, Untuk mengisi perut saja mereka sudah kesusahan, apalagi memikirkan hal seperti ini, pikirkanlah dampaknya.”

“Sudah kupikirkan,
Kenyataannya, yang memiliki Shelter atau tempat berlindung dibawah tanah bukan hanya Rusia saja, meskipun kita terkenal memiliki kota terlarang yang besarnya hampir mencapai satu buah Negara,bagaimanapun Krasnoyarsk sangat besar, tetap saja, apa yang kita bangun saat ini bahkan tidak cukup untuk menampung semua penduduk dinegara kita sendiri,
Apalagi ingin menolong mereka diluar sana?
Ini tidak adil, perang yang lebih besar akan segera meletus, kita harus menyiapkan lebih dari sekedar senjata yang cukup untuk menampung orang orang yang tidak bisa bertarung.
Mungkin rencana ini tidak sepenuhnya bagus karena hanya akan menyusahkan banyak orang, tapi ini jauh lebih baik daripada bergelut dengan kepunahan ras.”

Aku mendengarkan Ari dengan serius sekarang.

“Memang benar akibatnya juga sama besarnya, tapi aku sudah memperhitungkan itu, masalah dana, aku akan membuat mereka saling bantu, kita tidak hanya akan membuat Shelter dibawah tanah tapi juga terowongan yang bisa menjadi sambungan antar Negara, semacam jalur rahasia, tentu saja kita akan mengawasinya dengan ketat sehingga tidak ada secuil viruspun bisa lolos, sama seperti krasnoyarsk, Kita hanya akan membuat beberapa kota dibawah tanah, dalam skala banyak serta lebih besar.”

“Entah apakah kau bisa membuatnya meskipun kau mengumpulkan seluruh uang yang ada dimuka bumi ini…” Aku menggeleng, “Gila, ini sangat gila… Ar, aku tidak percaya kau melakukannya,” Tadi saja ia mendapat banyak tekanan seperti itu.
Berani sekali, aku bergidik.
Alih-alih tertekan, ia malah balik menekan mereka, menjanjikan perlindungan dan keselamatan segala, mirip taktik salesman murahan ‘Beli sekarang atau kehabisan’ tapi dengan kemasan jauh lebih mewah.
Ia menancapkan kuku besinya lebih kuat daripada yang kukira.

Ari mengangguk, “Harus bisa,”

Baru saja kami keluar dari Lift, Monroe sudah menghadang kami.
“Yo Jendral,” Sapanya ramah, ia menyerahkan beberapa lembar kertas ketangan Ari, “Aku sudah membuat Prototype seperti yang kau minta, sebentar lagi mungkin akan selesai,”

“Terima kasih Monroe,” Sahut Ari seraya membolak balik kertasnya, “Ini sempurna,”

“Apasih itu?” Aku melirik lirik penasaran, cukup kaget karena mendapati bahwa angka angka dan skema menyebar dimataku membuatku pusing.

“Ini robot,” Monroe menjelaskan, “Kita butuh banyak untuk apa yang akan segera kita lakukan,”

“Wow,” Desisku, “Kau menggunakan full-teknologi untuk pengerjaannya?”

“Valhalla,” Ari tersenyum, menyebut nama proyeknya, “Robot robot ini sangat efisien, mereka mampu melakukan pekerjaan mereka 40x lebih cepat, juga tidak beresiko karena kita hanya perlu memantau mereka dari jauh, Tidak ada gaji, upah, protes, atau apapun,”

“Dan sumber energinya?” tanyaku lagi, sial aku masih belum bisa memikirkan dengan sungguh sungguh, lemot sekali, haha…

Baik Ari maupun Monroe menatapku sumringah,


“Kita punya Nuklir, sejak dahulu kala Rusia adalah penghasil senjata serta teknologi militer tanpa tanding, saatnya energi tak terbatas pembawa kehancuran itu berguna demi kepentingan orang banyak.”

Aku mengerjap ngerjap.
Oke, oke.
Jadi dia sungguh sungguh akan melakukannya.
Nuklir, musuh umat manusia terbesar selain Undead, sebelum Virus ini menimbulkan kegemparan, perang dan penindasan hak asasi manusia terbesar seringkali terjadi karena teknologi jahanam itu.
Rusia memiliki reaktor nuklir raksasa yang tak terhitung jumlahnya, Dan dinegara ini Paladin adalah Hukum,
Tapi tetap saja, kami sendiri sangat berhati hati memanfaatkan energi berbahaya itu selama ini, keadaan sudah kacau, setolol apa ingin mengacaukan lagi?

Kacau, Dan…
Ari ingin menggunakannya demi kepentingan orang banyak?

Jika ditangan adiknya Virus itu adalah Anugrah.
Ditangannya, senjata pemusnah massal mungkin saja bisa menjadi sesuatu yang bersifat melindungi.

Diktaktor sempurna tapi orangnya sendiri tidak tahu.
Betapa miripnya pola pikir mereka.
Aku jadi merinding.


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:08 am

Daina.


_________________________
___________________



“Ini,” Tasuku membantu menyuapkan sesendok bubur itu kedalam mulutku, berusaha membuatku menelan makanan dan meminum obatku.
Sudah berhari hari seperti ini,
Ia menemaniku jauh lebih banyak daripada biasanya, Aku benci ia melakukan ini karena aku tiba tiba jatuh sakit, terkadang ia lembut, terkadang ia kasar...


Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sudah tidak marah lagi padanya,
Jika ditanya apakah aku tertekan, tentu saja aku tertekan.
Ingin berteriak, marah.
Melampiaskan rasa ketidaksetujuanku padanya.

Bisa bisanya ia, bicara tentang menghancurkan dunia ini… membunuh kakak… dengan tenang begitu…
Bodohkah jika aku bermimpi?
Aku selalu berharap ia mau mengubah sudut pandangnya.
Bukan mendukungnya melakukan hal hal diluar akal sehat.

Dia tidak minta maaf, bahkan berpura pura tidak tahu,
tapi aku sadar ia sedang mencoba berbaikan, jadi begitulah, hubungan kami sudah jadi seperti biasa lagi.
Kuremas ujung selimut tebal yang menutupi tubuhku dari batas perut hingga mata kaki,
Ia ingin berbaikan, sudah jelas.
Orang yang saling mencintai memang tidak butuh kata kata untuk saling menyampaikan maksud hati mereka,

Tasuku membetulkan letak bantal dikepalaku, aku mengucapkan terima kasih,
Dan dia hanya tersenyum tipis menyambutku.
Suamiku menyentuh pipiku bangga,
Jika dulu disentuh seperti ini, aku akan sangat senang, sentuhannya adalah hal hal yang paling kutunggu tunggu melebihi apapun,
Karena ia dokter dan selalu mengurung diri diruang penelitian, dan aku sebagai asisten sibuk mencatat hal hal yang disuruhnya, kami tidak setiap hari bisa bicara,
Tapi beginilah cara kami berkomunikasi, Dulu sekali, Tasuku selalu menghampiriku yang sedang menuliskan data penelitiannya, lalu ia menepuk pipiku tanpa bicara apapun, sehingga rasanya entah sejak kapan, tidak perlu lagi bahasa mesra untuk mengekspresikan kekaguman serta rasa cinta kami satu sama lain.

Aku tertawa, kalau membayangkan masa masa dulu, hari seperti ini serasa mimpi,
Tidak perlu kata kata cinta, tidak perlu janji janji, tidak usah memperhatikanku secara berlebihanpun tak apa, kedengarannya aku munafik sekali ya?
Tapi tanpa itu semuapun, Ia telah membuatku jadi pengantin wanita paling bahagia diseluruh dunia, kurang apa lagi?


“Daina…” Panggilnya, Aku menoleh tidak mengerti,

“Maaf…”

Heee?
Aku terkejut, melotot kearahnya,
Ia sampai saat ini tidak pernah mengatakan satu katapun tentang permintaan maaf, mengapa tiba tiba?!

Aku harus bagaimana?
Senang? Sedih?
Kebaikannya, apapun itu, pastilah hanya sementara…
Hati kecilku tidak ingin mempercayai bahwa sekecil itu saja arti keberadaanku baginya, entah keyakinan dari mana, mengingatnya tetap saja membuatku terusik.

Tasuku menunduk, “Aku belakangan ini memikirkannya,”
Ia diam sejenak, meletakkan mangkok yang isinya hanya tinggal sedikit diatas meja, seperti ragu untuk mengambil keputusan apakah ia harus bicara atau tidak.
Sejurus kemudian, tanganku yang semula kuletakkan diatas pangkuan digeser lembut.

Ia memelukku, meletakkan kepalanya didepan perutku,
Bermanja dengan sayangnya, posisinya santai, bahkan tidak pernah sesantai ini sebelumnya.
tangannya yang dingin menggenggamku erat,
Membuatku takut, tapi juga pasrah.

“Diam,” Ia menghentikanku saat aku ingin membuka mulutku, bahkan ia sama sekali tidak melihat, seakan ia punya sepasang mata tambahan diatas jidatnya.
Betapa seenaknya, ia tahu aku mencintainya seperti ini…
Jangankan hanya dipeluk, dimakanpun aku tidak akan menolak.
Dan dia menikmati bermain-main dengan perasaanku…?
Oh, sekarang ia kembali bicara, “Aku pastilah sudah menyusahkanmu selama ini, aku…” Ia terhenti sejenak, biasanya Tasuku sangat pandai bicara, meskipun demikian, kali ini nyata sekali ia kesusahan dalam memilih kata kata.
“Aku tidak berjanji apa apa… tapi… aku tidak akan membuatmu sedih lagi, mulai sekarang,”

Aku tidak bisa menipu diriku sendiri, aku bahagia.
Ia lagi lagi membuatku bahagia,
Tapi bukankah selama ini selalu begitu?

“Jangan sampai… dua menit lagi berubah ya?” Pintaku curiga, Tasuku menengok inosen kearahku , “Biasanya kau begitu, baiknya sebentar saja, lalu membentakku, lalu marah marah,” Aku mengangkat bahu, “Kau begitupun aku tidak bisa berhenti mencintaimu, padahal” tambahku,

Tasuku memandang sendu, “Aku seperti itu ya?”

“Iya! Kau tidak tahu betapa kasarnya sikapmu padaku? Kau…”

Tasuku menaikkan tubuhnya keatas ranjang, ia sudah cukup membuatku kaget hari ini bahkan sejak ia datang.
Apa dia menelan sesuatu yang salah?
Tidak hanya ikut masuk begitu saja kedalam selimut, , ia bahkan merengkuhku kedalam pelukannya,

“Aku apa?” Godanya sekali lagi, aku ingin protes sekuatnya, tapi dalam keadaan seperti ini, sepatah katapun mustahil keluar, “Apa tadi?”

Vampir bodoh…’ Aku tertawa dalam hati, aku mencintainya, jahat!

“Bisa kau ulangi sekali lagi?” Ia bertanya sambil mendekatkan wajah kearahku, nafasnya yang dingin menerpaku, aku yakin ia bisa saja tidak bernafas sama sekali, tapi sekali ini, entah mengapa ia berusaha tampil ‘sehidup’ mungkin…
Tidak bisa dipercaya, aku tetap mencintainya, tetap menggilainya setelah semua ini.

“Lupakanlah!” Seruku, “Kau sudah berjanji, itu yang penting,” Aku langsung menyembunyikan wajahku didadanya, rumahku, tempatku pulang…
Tasuku memelukku semakin erat, kurasakan ubun ubunku diciumi.
Sesaat kukira waktu berputar kembali.
Mundur ke masa masa bahagia kami...


Yang berbeda sekarang hanyalah betapa dingin sentuhan yang membelaiku…



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:09 am

Mikia.



_____________________________
_________________________




“Garing, ya,” Sahut lelaki berambut hitam disampingku sambil menghembuskan asap rokoknya, Aku berpegangan erat pada susuran pagar balkon tempat kami berbincang, Menetralkan perasaanku, sesekali melihat lihat kearah belakang,

“Dia kusuruh pergi untuk misi selama 2 hari,” Ari berkata seperti menjawab semua pertanyaan dibenakku, “Sesukamu saja,”
Aku menarik nafas legas sebelum mengumpulkan emosi dalam dadaku.

“Aku tidak mengerti kenapa ia melakukannya!” Teriakku, mungkin saja kedengaran hingga 60 lantai kebawah, “Ryo bodoh!”

Ari memandangpun tidak.

“Kasihan,” Ia bergumam.

“Makanya!” Bentakku, “Harusnya aku jatuh cinta padamu saja, ya kan! Sial, kenapa aku tidak jatuh cinta padamu saja, sih?! Kurasa kau jauh lebih baik sebagai laki laki.”



Kali ini giliran Ari mendelik kearahku.

“Tidak lucu,”

Aku tertawa hambar, “Sadis, Sebegitu jeleknya kah daya tarikku sebagai perempuan?”

Ari menghela nafas, “Jangan meremehkan diri sendiri,” ia mengingatkan, “Jika kau tidak bisa berhenti meremehkan dirimu sendiri, orang lain juga tidak akan berhenti meremehkanmu.” Ia mematikan rokoknya dan melemparkan kedalam bak sampah tak jauh dari tempat kami berdiri.
Pandangannya lurus kedepan, sejajar dengan langit.

Dia jendral sekarang yah, aku lupa…
Tapi ia tidak sedikitpun menampakkan perlakuan yang berbeda, ia tetap Ari yang sama, jika kami semua merasa senang dipimpin olehnya, itu bisa dipastikan bukan karena pangkat maupun derajatnya.
Ari memiliki aura seorang pemimpin sejati,
Dan tidak hanya itu, sebagai seorang laki laki dewasa daya tariknya sempurna,
Tinggi tegap 186cm dengan tubuh terbentuk sempurna, ia memiliki tatapan mata tajam yang terasa mampu menembus.
Juga sepasang tangan kuat yang lebih dari mampu untuk melindungi.
Pembawaannya tenang, kharismatik, suaranya yang berat juga sangat seksi.
Dan yang paling menarik adalah bagaimana dari luar ia kelihatan dingin membeku padahal sebenarnya ia sangat hangat.



Sungguh beruntung wanita yang memiliki hatinya.



“Kau jadi seperti Ryo, senang bicara yang tidak perlu,” Ia menggeleng kesal, aku tertawa, Ryo juga sering bilang ‘Seandainya Ari perempuan aku akan menikahinya.’ Mendadak perutku sakit karena rasa geli yang menggelitik.

“Apa sih yang kau sukai dari Daina?” Tanyaku tiba tiba.


Wah, Ari terlihat kaget sekali.

“Potong gaji,” Candanya, mendadak aku meninju bahunya,

“Oh ayolah, Jendral!” Aku menggebuk punggungnya berkali kali, “Tidak adil, aku sering curhat padamu, tapi aku tidak pernah mendengarmu curhat,”


“… Aku tidak perlu,” Tolak Ari tegas.


“Kalau aku, ” Tanpa bisa dilarang, aku bicara sesuka hati, “Suka Daina karena dia lembut, manis, girly, juga cengeng sekali, apalagi, yah…” Kulirik Ari, kelihatannya diam saja tanpa respon.
“Juga tidak mudah menyerah! Dan… apalagi, apalagi,” Aku menarik narik ujung bibirku sambil berpikir, “Oh yah, Dan dia mungil juga, Lalu lalu… Aaaaa Lalu apalagi…”

“Ceroboh, sudah tahu lemah tapi sok kuat, cerewet super ngotot, tidak takut menderita menempuh resiko, bangga hidup melawan arus, Semakin tidak diterima semakin ia datang, semakin dilarang akan semakin dilakukannya,”

Aku terdiam, Ari tersenyum, ia tidak menatapku.

“Dia penuh rasa ingin tahu tapi tidak punya ide bagaimana cara mempertahankan diri sendiri sedikitpun, mudah sobek, mudah terjamah, kalau sudah akrab dengannya dia akan membuntutimu seperti parasit, tapi anehnya, semakin kau berpikir dia orang yang merepotkan, semakin kau ingin melindunginya…”

Lalu sebentar setelah itu, Ari seperti tersadar dari hipnotis, ia kembali diam, membuang muka.



Hening.




“…Wow…” Desisku, sungguh luar biasa, ia mengenal Daina sampai seperti itu, ah, aku jadi tidak tahu aku harus bilang apa... “Berarti aku Dan Ryo bukan kandidat utama pengantinmu yah,”


Reaksi Jendral seperti yang kuduga, salah tingkah.
Aku senyum senyum sendiri melihatnya sibuk mencari sudut yang pas supaya wajahnya yang gugup itu tidak kelihatan.
“Sudah kubilang tidak lucu, Ryo akan pulang malam ini,” Beritahunya padaku, “Selesaikan masalahmu, sudah saatnya,” Ari berkata sambil menyalakan sebatang rokok lagi,

Aku menunduk, “Bisa tidak yah?”

“Harus, Kesalahpahaman diantara kalian harus secepatnya dibicarakan,”

Aku mengerinyitkan alis mendengar kata kata Ari, kesalahpahaman?

-
-
-
-
-

Kusapukan pandanganku kesekeliling ruangan minimalis berwarna putih itu,
Ryo suka interior begini yah, tidak banyak kontras,
Tapi pasti ia jarang pulang dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ari, pasangan workaholic itu…
Lamunanku terbang kemana mana saat telapak tanganku bersentuhan dengan sofa minimalis berbahan lembut itu,
Berarti ia sering berada ditempat ini.
Duduk diatas sofa ini, tidur dikamar itu, atau mungkin berguling guling dilantai sambil nonton tv?
Sudah berapa kali aku membayangkan berada diruangan milik Ryo?

Suara pintu dibuka menyadarkanku,
Aku berbalik untuk melihat bahwa Ryo baru saja masuk dan menggantung coatnya pada dinding,
Ia tersenyum, aku membuka mulutku untuk bicara tapi sebelum satu kata keluar dari mulutku, orang gila itu sudah berjalan dengan cueknya melewatiku begitu saja,
Mulutku menganga tidak percaya,


“Aku belum jadi hantu kan?” tanyaku, Ryo melangkah gontai membiarkan pintu kamarnya terbuka begitu saja, ia duduk diatas ranjangnya, melepaskan kaus kaki serta merenggangkan kancing kancing kemejanya dengan santai sekali.

Kepalaku memanas karena marah.

“Kau dengar tidak?” Cecarku mengikutinya, berkacak pinggang didepannya sambil melempar pandangan sebal, Ryo terlihat lelah memandangku dengan ekspresi tanpa dosa,

“Apanya?” Ia bertanya bego.

Aku melemparkan kunci ditanganku keatas tempat tidurnya.

“Kukembalikan,” Ketusku, “Aku tidak butuh belas kasihanmu,”

Ryo tambah semangat memasang wajah sok suci itu, “Belas kasihan apa? Kau ngomong apasih?”

Oke, sepertinya aku yang capek sekarang,
Capek sekali ngomong sama orang begini, Bilang saja kalau mengasihaniku, aku tinggal sendirian, aku masih dalam masa berkabung, menawarkan menjadi roommate segala, Apakah aku sudah se-desperate itu hidup sampai sampai ia harus memaksakan dirinya menyukaiku?

Katakan, Mikia, kalau tidak sekarang, kapan lagi.

“Sebut saja,” Ujarku tegas, “Aku mendengarkan,”

“Hah?”

“Tolak saja!” Teriakku tidak sabaran, “Jangan terus digantung seperti ini, Aku juga tahu diri, dan aku punya harga matiku sendiri,”

Ryo terdiam, tik tik tik tik tik suara jam berbunyi.
Mau mati rasanya, aku hampir meninjunya karena kesal.
Aku seperti… seperti perempuan yang rendah sekali, menggunakan kesedihan sebagai cara untuk memaksanya menerimaku, itu bukan aku.
Dan aku benci itu.

Detik demi detik berlalu, kuberanikan diri mengangkat wajahku, mendapati bahwa saat ini Ryo sedang duduk manis dengan tangan menyangga dagunya, memandangiku penuh senyum mengembang.

Panas yang asing membakarku sekali lagi.

“Sini,” Ryo menepuk nepuk sisi sebelahnya, mengisyaratkanku untuk duduk, refleks aku mundur beberapa langkah.

“Kau takut padaku?” Ia bangkit berdiri, melangkah kearahku, membuatku semakin terdesak kebelakang,

“Kau mengalihkan pembicaraan,” Aku mengingatkan,

“Ingin bertengkar yah?”

“Mau mengajakku? Boleh,”

“Mentang mentang aku diam saja, kau mengartikan seenaknya,” Ryo mendekat semakin intens,

“Aku serius, aku akan membunuhmu kalau kau maju selangkah saja,” Aku mengepalkan tinjuku kearahnya.

“Menakutkan, ayo saling bunuh,”

Crap, punggungku telah menyentuh dinding beton bercat warna krem itu.
Ryo menyeringai penuh kemenangan.

“Pertama,” Ia tidak maju lagi, berdiri dalam jarak tidak jauh dariku, bersandar pada meja tulis, “Aku senang sekali ketika aku pulang kerumah, aku mendapatimu menungguku disini,”

“Dan kedua,” Ia melanjutkan, “Kapan aku pernah bilang aku menolakmu?”

Kakiku mendingin,

“Kau tidak ramah, Mikia,” Ia memandangiku, sorot matanya menuntut.

Salah, pasti ada yang salah!
Aku mengumpulkan seluruh kekuatanku, maju kedepannya dan menggebrak meja tidak mau kalah, “Tapi kau tidak pernah sekalipun..!”

Sentuhan itu begitu cepat, Ia menempelkan bibirnya pada bibirku,
Kasar, aku tidak menikmatinya sama sekali.
Aku-tidak-menikmatinya.
Rasanya seperti tersengat listrik.

"Lepas, kau menjijikkan," Dorongku,

"Kukira kau menginginkannya," Katanya inosen,

"Yang seperti ini, aku sama sekali tidak menikmatinya, apalagi darimu,"

"Oh yaaa?" Bukannya melepaskan, si bodoh itu menciumku lagi, lagi, dan lagi.

Aku memberontak sekuat tenaga, "Sudah kubilang aku tidak bakal... mmm!"
Aku tidak suka! Jangan jatuh! Jangan jatuh!
Jangan ka...lah...

Satu, dua, tiga,

Hup, Ryo menahan tubuhku yang melemas dipelukannya.

"A…a…apa…" Aku berpegangan pada lengan Ryo, mengambil nafas.

Sementara Ryo tidak mengejekku lagi, ia malah berkeluh kesah, berbisik ditelingaku, “Kalau aku tidak suka padamu, untuk apa aku memintamu hidup bersama?”

“Tapi kau belum mengatakan kau menyukaiku, tidak satu kalipun,” Aku menarik baju bagian lengannya, “Lepaskan, aku bisa sendiri,” tegasku mencoba berjalan,
Baru saja aku ingin menggerakkan kakiku, sudah lunglai lagi seperti habis kena pukul.
Ryo memegangiku dengan sigap.
Ia mendengus seperti orang yang tidak punya pilihan lain.

“Kenapa kau tidak pernah menurut padaku? Keras kepala,”

“Aku hanya ingin kau mengatakannya.”

Kali ini aku memandangnya, protes yang nyata sekali kutujukan pada lelaki dihadapanku,

“Aku tidak bisa mengatakannya, aku bukan tipe laki laki seperti itu…” Ia memelukku, pelukan yang kuduga hanya akal akalannya untuk menyembunyikan rasa bersalahnya saat ini.

“Katakan sekarang,” Desakku, “Apa kau mencintaiku?”

Ryo menatap kesal, ia tidak bicara lagi melainkan membopongku keatas tempat tidur,
Aku menurut karena kakiku kesemutan entah karena apa.
Ryo sialan, itukan hanya ciuman…
Dan mengapa aku lemas begini... tidak, aku tidak menikmatinya!
Tidak bagus, jantungku tidak mau bekerja sama.

“Dengar,” Ia mengusap puncak kepalaku, “Kau tidak perlu memaksakan diri untuk tinggal disini jika kau tidak mau…”

Aku menegakkan kepalaku,

“Aku capek, aku mandi dulu,”

Gerakan Ryo terhenti, aku menarik kemejanya, ia berpaling melihatku dan matanya dipenuhi pertanyaan.
Tampak ragu,

Lalu ia menyerangku.


Sesaat dunia seperti berputar dalam satu gerakan lambat.
Meraihku kedalam dekapannya, mendorong dan menindihku begitu saja.
Ia menciumku lebih kasar dari yang apa yang baru saja ia lakukan,
Tapi kali ini aku malah merentangkan tanganku, balas memeluk dan menguncinya.

“Apa kau yakin? Aku tidak akan membiarkanmu keluar satu jari kakipun dari tempat ini jika kau sudah jadi milikku,” Ia terengah, menghentikan ciumannya, menatapiku gundah.
Aku tidak menjawab, bahasa tubuhku memberikan petunjuk aku menginginkannya lebih dari yang ia tahu.
Ryo mengerang, “Oh sial,” makinya membuatku ingin tertawa, dan tawa itu batal begitu ia meneruskan kalimatnya, “Aku mencintaimu,”

Tulang tulangku seperti diloloskan rasanya.
Tenggelam dalam sukacita yang aku sendiri tidak pernah tahu akan begitu menyenangkan rasanya.

Kami bertukar pandang, Ryo tersenyum pahit mengakui kekalahan, membuatku gemas ingin segera menciumnya lagi.
Tu, tunggu! Sekarang kenapa malah aku yang mau?
Memalukan sekali!

Bodoh, Aku memajukan wajahku, ia menghindarinya dan menggigit telingaku mengajak bercanda.
Kemudian kembali memelukku erat.

"Aku sudah lama sekali ingin seperti ini denganmu,"

"Kau bau," sahutku memencet hidung.

"Bisa tidak manis sedikit?" Protes Ryo mendelik, "Katanya orang yang jatuh cinta segalanya terlihat bagus, tidak ada jelek jelek sama sekali,"

"Memangnya siapa yang mencintaimu?" Tanyaku menggoda.
Lagi lagi lelaki disampingku mendelik tidak senang.

“Aku memang belum mandi… gara gara kau,” Ia tergelak mengalah, aku ikut tertawa, tanganku mendekap punggungnya semakin erat,

"Mikia, kumohon, pindahlah kesini, tinggallah bersamaku," pintanya sekali lagi.
Aku memutar bola mata berlagak seperti sedang berpikir.


"Yahhh, kalau kau memaksa..." jawabku bergaya, membuat Ryo menarik ujung hidungku gemas, dan tiba tiba aku teringat sesuatu, “Harusnya aku… Menyiapkan air mandimu, yah?”

Betapa kagetnya aku melihat Ryo terperangah.

"Ya, mulai saat ini begitu kan? Aku tidak janji akan selalu ada dirumah, tapi kalau aku kebetulan ada, aku pasti akan mengurusmu sebisaku,"

"Aku tidak pernah diurus siapa siapa," tukasnya nyengir, "Kurasa sentuhan wanita tidaklah buruk, Beritahu aku kalau air mandinya sudah,” Ia menyingkir dariku, rebahan dalam posisi tengkurap sambil menyelusupkan kepalanya diantara bantal.
Apa dia senang?
Tapi dia... tidak ngomong apa apa?
Ah, seenaknya saja.

Laki laki ini…
Aku menghela nafas kesal.
Apa apaan, tidak imut, tidak romantis, bagian mananya yang asyik,
Kemudian aku menyentuh bibirku sendiri, Aku menunggu urat pada sendi sendiku pulih sebelum memutuskan untuk berjalan.

“Terbiasa… terbiasa…” Gumamku, merebahkan kepalaku bersandar dipunggung Ryo, yang secara mengejutkan kudapati sangat empuk.
Wah, Aku tidak tahu sisi dirinya yang ini.

Inilah laki laki yang kucintai, tidak bisa berharap banyak kalau begitu,
Dia tidak imut, tidak romantis, tidak peka, kurang ajar,




Dan sebagai bantal dia sempurna.





++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:11 am

Tasuku.


__________________________
____________________




“Sampai kapan kau mau begitu, My Lord?” Ucap Stast pendek, ketika ia lagi-lagi mendapati aku sedang menusukkan selang-selang transfusi pada tubuhku, aku memilih diam sejenak, menikmati asupan energi yang mengalir dan kudapat dengan cara yang tidak seperti biasanya itu.

“Kau menyedihkan,” Stast memberikan komentar kedua-nya. “Kau pikir kau bisa bertahan berapa lama dengan cara ini?!”

“Aku hanya mencoba,” jawabku bertekad, apapun yang kulakukan, toh Stast atau siapapun tidak akan bisa menghentikanku, aku tidak akan melakukan kekejian itu lagi sementara, tidak selama Daina berada disekitarku,
Ia akan menemukannya, ia akan sadar.
Daina memiliki firasat halus yang amat tajam.
Mencoba semanusia mungkin pada saat aku berada didekatnya? Menggelikan memang…
Stast yang cerdas tentu memahami hal itu, ia hanya merasa tujuan kami sedikit tertunda, dan akupun merasakan hal yang sama, tapi siapa peduli?!

“Kau tidak harus membantuku,” Ucapku pada Stast, Undead yang selama ini menjadi sahabat bagiku itu mengerinyitkan alis, menatapiku nanar.
Stast terdiam beberapa saat, lalu ia mengeluh pelan,

“Pertaruhan yang beresiko, kau bisa terbunuh kapan saja jika Paladin atau Aryanov Gabriel menemukan kita, kau tahu…”

“Aku bisa melindungi diriku sendiri,” komentarku sekenanya.
Oh yah, benar, aku bahkan sudah tidak peduli lagi, betapa buruknya hal itu.
Aku diam saja, menunggu detik detik Stast menyerangku, seranglah, tidak apa,
Seranglah sekarang, seruku dalam hati.
Biarkan aku tahu hatimu…

“Asupan energi ini tidak benar,” Jemari ramping Stast menyentuh selang selang yang tersambung langsung kedalam pembuluhku. “Kau harus membuat formula yang sesuai supaya kesegarannya bertahan lebih lama, transfusi tidak sama dengan mengdapatkannya langsung dari tubuh yang masih hidup, darah mati tidak memberimu kekuatan seperti yang kau inginkan,”


Aku terdiam tak percaya,

“Aku akan mengurung diri didalam lab-ku,” Ia berkata pelan, “Mencari tahu apakah ada cara bertahan hidup seperti ini,” Ia melirik kearahku, tapi tidak sedikitpun terdengar nada merendahkan pada suaranya, “Berhati-hatilah, My Lord… sementara ini kau tidak sekuat kau seharusnya…”

Mengutuk, aku tersenyum lemah tanda terima kasih padanya.
Vampir tua itu… Aku tidak mengerti apa yang ada didalam pikiran Stast, tapi lagi lagi ia tidak bertanya,
Ia bahkan tidak menentangku.
Ia berlalu begitu saja, meninggalkan jejak kegelapan serta suara pintu berderit menutup.

Menggerutu, kurasakan aliran kekuatanku tidak keluar,
Stast benar, ia sendiri pastilah sudah berkali kali mencobanya,
Darah, tidak seperti cairan lainnya, kena angin saja rasa maupun khasiatnya sudah tidak sebaik memerasnya langsung dari tubuh mangsa, kau akan mendapatkan jutaan sel yang mati pada detik pertama udara menyentuh cairan yang menjadi sumber kehidupan kami itu…
Jika Zombie perlu darah sekaligus daging untuk menjadi induk virus mereka, kami hanya perlu darahnya, karena kemampuan kami bisa mempertahankan tubuh kami sendiri.
Kami tidak akan membusuk, hanya melemah dalam kondisi rigor mortis mengerikan.
Bagi manusia mungkin tidak ada bedanya, tapi bagi Undead, perbedaan sekecil apapun tetap saja perbedaan, pengaruhnya akan sangat besar…

Lagipula sangat sulit mendapatkan donor tanpa membunuhnya…
Aku menatap kosong pada tumpukan tawanan bahan percobaan yang didalam tabung kaca.
Orang orang hidup yang hanya tinggal tulang berbalut kulit setelah darahnya kuambil sebagai bahan transfusi.
Pun demikian, cara seperti ini, mengumpulkannya dalam jumlah tertentu juga tidak memberiku pilihan lebih baik...
Kupikirkan kembali kata kata Stast, Lagi, ia benar, aku sedang lemah...



Jika keluar sekarang, mungkin aku akan terbunuh…



Aku bertanya tanya berapa harga kepalaku saat ini.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:13 am

Daina.


________________________________
________________________





“Kau Itu siapa?”

Masih Terngiang jelas pembicaraan antara aku Dan Stast The Origin tadi malam.

Suara ketukan pelan pada pintu menyadarkanku, kupikir itu Tasuku, Dan aku,
Seperti orang gila, Tidak peduli pada kondisi tubuhku, seperti mendapat suntikan tenaga tambahan.
Berlari menuju pintu serta bergegas membukanya.


Tidak ada seorangpun,


Penasaran, aku keluar, sepanjang lorong tampak sepi, hanya nyala obor samar samar yang menerangi sekitar.
Apa dia hanya sengaja melakukannya untuk mengajakku bercanda?

“Tasuku…?” Aku memanggil, suaraku bergema hingga keujung ruangan,
Tidak ada tanda tanda keberadaan darinya yang kucintai.
Lelah, akupun memutuskan untuk menutup pintu, masuk kembali kedalam kamarku,
Berjalan menuju meja rias, aku memeriksa raut wajahku yang nampak semakin pucat didepan cermin.

Aku menghela nafas, apa yang dilakukan kakak sekarang? Mikia bagaimana?
Bagaimana kabar teman teman yang lain…?

Sedangkan Daina ini masih belum bisa membawa hati Tasuku kembali kepada kita…
Kepalaku berdenyut lagi.



“Apa aku mengganggumu, Mademoiselle?”



Cepat cepat aku mencari asal suara lembut yang membuat lapisan udara berubah menjadi menyesakkan itu.
Aku ingat aku sudah mengunci pintu tadi, aku juga ingat aku menyimpan kuncinya didalam laci meja riasku…
Tapi jendela balkonku masih terbuka.
Sangat tidak mungkin seseorang bisa masuk kedalam, dalam ketinggian seperti ini,
Aku terkesiap, menangkap tanda tanda kehidupan didepan mata.


Seseorang yang bukan Tasuku.


Mataku melotot tidak senang, karena memang bukan Tasuku yang ada disana,
Melainkan vampir berambut hitam.


Stast The Origin.


Ia bergantung secara terbalik seperti kelelawar.
Atau ia memang kelelawar? Menyeringai kearahku dengan bibir pucat miliknya.
Mata hitamnya yang begitu gelap tanpa cahaya memandangku.

Secara Reflek Aku berlari hendak menutup jendela balkon, tidak peduli aku akan menjepitnya sampai hancur jika ia menolak pergi dari sana,
Meski demikian usahaku hanya mampu untuk membuat benda yang kucoba gerakkan tertutup separuh jalan, Tangannya menahan jendela besar itu, Hanya sebelah tangannya dan membuat seluruh tenaga yang kukerahkan menjadi tidak berguna,
Aku sekuat tenaga melawan tapi tidak mampu berbuat banyak dan hampir kehabisan nafas pula.

“Ada yang ingin kukatakan padamu, Perempuan.” Ujarnya lirih. “Hanya bicara.”
Suaranya terdengar tenang, sama sekali tidak terlihat bahwa ia sedang adu otot denganku.

Aku tidak percaya padanya.
Aku berjalan mundur. Menjauh Dari pintu.
Aku terus mengawasinya yang perlahan melangkah masuk kedalam kamarku,
Stast the origin berjalan terbalik, kedua kedua kakinya menempel ketat dilangit langit, ia seperti kelelawar sungguhan,
Ia melompat kebawah, berpijak pada kedua kakinya dengan mantap.
Gerakannya saat jatuh mirip seekor kucing.
Anggun dan pasti.
Seakan ia memang dianugrahi kemampuan semua jenis binatang.

Aku sengaja bergerak kesamping tempat tidur, mencoba meraih gunting yang selalu sengaja kuselipkan dibawah bantal.
Jika ia mendekat sedikit saja… sedikit saja…
Jujur aku takut, ia jauh, ratusan kali lebih kuat daripada aku.
Tidak, aku akan menikamnya jika ia berani mendekat, Meski aku masih belum berani menatap matanya yang nyaris tersembunyi diantara helaian rambut berantakan itu.

“Apa kau tahu kalau kau akan segera mati?”

Ia memberitahuku sesuatu, Tentang apa yang sedang terjadi padaku saat ini.
Aku berpikir itu lebih seperti usahanya membuatku putus asa.
Perlahan aku menyentuh bagian dimana jantungku berada.

“Kenapa baginya kau begitu berharga?” Tanya Stats. “Kenapa manusia sepertimu bisa mengubah pendiriannya?”

Aku terkejut mendengar kata kata Vampir itu.
Mengubah pendirian apa?!
Tasuku…?


Ia berjalan mendekatiku, aku semakin merapat kearah tempat tidur, tanganku menyusup kebawah bantal.

“Biar kutebak, kau sedang menderita sekarang... apa kau menyesal mengalami semua ini?” ia kembali menyeringai senang. “Menyesal karena mencintai makhluk yang tidak seharusnya dicintai?”

Aku tidak mengerti maksudnya, bahasanya terlalu tinggi untukku,
Tapi aku menangkap dengan jelas perasaan meremehkan itu…

“Kau salah.” Jawabku.
Gerakan makhluk didepanku tidak terlihat lagi.

“Aku mati dan hidup untuknya, Berubah pendirian, kau bilang? sekarang, Kau memberitahuku alasan untuk hidup.” Aku merasa nafasku terhenti ketika Stast bergerak secepat kilat, Ia menghampiriku, Aku terjatuh keatas ranjang dalam keadaan telentang, mata tanpa kehidupan itu nanar menatapi setiap jengkal tubuhku.


“Kau pikir kau siapa?” Ia bertanya lagi, “Kau tidak akan pernah tahu rasanya, dia menderita karena mencintaimu, dan dia tidak boleh mencintaimu,”

“Dia tidak!” Bantahku, entah mendapatkan kekuatan dari mana, “Bersamaku dia tidak pernah menderita! Dia bahagia!”

Kesal sekali, “Kau… Kau yang tidak tahu apa apa, perasaan kami, hubungan kami, kepercayaan diantara kami…”

Stast tersenyum mengejek, mengulurkan tangannya, “Jika memang kalian saling percaya sampai seperti itu, kau tidak akan menangis seperti ini…” detik jemari kurus yang indah itu menjamah wajahku, saat itu pula aku menancapkan gunting yang kugenggam sedalam dalamnya pada dada makhluk jahanam tersebut.
Darah merah keperakan mengalir membasahi kemeja putihnya.
Vampir didepanku tidak bereaksi, ia terlihat seperti akan jatuh dan tangannya bertumpu pada pinggiran kasurku,

Mati?

Aku menatapnya penasaran, secepat kilat menarik diri hendak pergi dari tempat berbahaya ini segera sebelum dia bangun lagi.
Aku merasakan kakiku ditarik sangat kuat sampai sampai aku kembali telentang keposisi semula,
Stast, dengan kecepatan serta tenaga luar biasa merayap naik keatas tubuhku, menindihku sehingga panikpun rasanya aku tidak sempat,
Ia mengunciku, menghalangiku untuk lari.
Aku ingin berteriak tapi tenggorokanku seakan terkunci,
Aku sangat takut padanya, tapi entah mengapa, ada suara dalam kepalaku yang mengatakan bahwa aku tidak boleh kalah.

Ia menarik tanganku, mengarahkannya pada benda tajam yang saat ini menancap didadanya, lembut, ia membimbingku untuk menarik sesuatu yang menyakitkan itu perlahan.
Aghh…” Ia mengerang seperti menahan kenikmatan, Ia tidak bisa merasakan sakit, takut, takut, aku sangat takut sampai sampai aku berpikir jantungku bisa berhenti kapan saja sekarang.

Sapuan dingin lidah basahnya menjilati sisa sisa air mata disudut pipiku, Aku menutup mata kuat kuat, tanganku basah oleh cairan perak itu, begitu licin dan banyak, seperti menyuruhku untuk melakukannya sendirian, ia melepaskan pegangan eratnya pada tanganku, mengerti bahwa yang seperti ini tidak akan membunuhnya, jadi kukerahkan seluruh tenagaku untuk mencabut benda itu keluar, Demi Tuhan aku memang berniat menyakitinya, aku tidak pernah seingin ini membuat seseorang menderita.
Suara percikan darah yang semakin banyak seperti lagu sedih yang tidak pernah kumimpikan didalam khayal paling menyakitkan sekalipun.

Sunyi, hanya tetesan yang mengalir ditanganku dan berat dari sesuatu tidak wajar menindihku mengingatkan bahwa aku tidak sendirian dikamar ini.
Akhirnya kuberanikan diri untuk melihat,
Matanya tidak lagi hitam dan mati, saat ini warnanya seperti bulan purnama.
Merah dan kejam, warna yang sama dengan milik Tasuku.
Segala macam kegairahan ada disana, lapar, bersemangat, bernafsu…


Stats tersentak dengan tatapanku yang pasti dinilainya sangat berani itu.
Padahal aku sendiri tidak berani mengedipkan mata barang sedetikpun.
Stats menatapku, juga tanpa berkedip.
Lalu ia tertawa lantang.
Aku tidak mengerti apa yang ia tertawakan. Kelihatannya ia berusaha keras menghentikan tawanya itu.
Ia menutup mulutnya dan wajah pucat itu terlihat semakin…menakutkan.

“Madamoiselle!” jemari lentiknya mengambil sejumput rambutku yang menjuntai dibahu, lalu ia menciumnya. “Menyenangkan sekali, jika denganku, kau boleh melakukannya dibagian manapun kau suka,”

Aku memalingkan muka.

“Apa yang kau pikirkan?” Vampir itu bertanya lagi, aku tidak paham ia tertarik kepada apa, tapi aku tidak pernah, satu kalipun, merasa seseorang bisa tertarik kepada isi kepala bodohku sampai seperti ini.

“Beritahu aku, Mademoiselle…” Stast menyapa lagi, kali ini sambil menggelitik perutku, membuatku ingin muntah.
Luka lukanya sepertinya sudah sembuh, karena darah tidak menetes lagi,

“Aku ingin membunuhmu, Aku ingin menyiksamu sampai mati,” Jawabku angkuh,
Aku akan mati, aku benar benar akan mati…

“Santapan yang berharga itu dinilai dari kesulitan mendapatkannya…”
Aku kaget mendengar kejujuran itu.
Merasakan ancaman, terasa jari jari Stast perlahan bergerak kearah pahaku,
Mengelusnya pelan, aku memaksakan diri untuk tidak menutup mata, Tubuhku mengejang memberitahu arti penolakan,
Bahkan -entah inisiatif darimana- aku semakin melotot padanya.
Kurasakan tangan itu bergerak semakin keatas, meraba bagian dadaku,
Aku bisa merasakan dingin suhu tubuhnya saat jari jemari itu berhenti dibagian leherku.
Ia merapatkan kedua lengannya kesekelilingku seakan mengurungku didalam dinding ini. “Aku selalu penasaran…”
Aku merasakan perasaan aneh seakan aku tersedot kedalam dimensi lain saat aku menatap matanya.

“Kenapa… kalian berusaha begitu keras mencintai sesuatu seperti kami…?” Ia berbisik ditelingaku, “Yang sudah mati tidak akan pernah kembali,”

“Aku hanya cinta… Aku hanya tahu aku cinta padanya,”

“Larilah,”

Aku tersentak, apa…?

“Larilah, selagi kau bisa, selagi kami belum berubah pikiran,”

“Kau tahu apa?” Lirihku dengan air mata menggenang, mengembalikan kata kata yang pernah ia ucapkan, “Kau tidak tahu rasanya…”

“…Percayalah aku tahu,”

Aku menangis lagi,
Aku merasa dipahami untuk pertama kalinya,
Sial, mengapa harus vampir ini?
Aku merindukan kak Ari… Aku rindu Tasuku… Aku rindu keluargaku…
Aku ingin pulang...


“Kenapa kalian harus berperang?” Suaraku putus putus, Stast membelai rambutku, aku menyadari ketulusan, sekejap, rasa takut yang menjadi jadi itu bercampur dengan perasaan aman, aneh sekali…

“Jika kami tidak berperang…” Suara lembut bernada jahat itu menjawab, “Kami akan mati… kami berperang mempertahankan hidup kami.”

“Mempertahankan hidup dengan merenggut hidup orang lain?” Tanyaku tidak mengerti,
Undead tua itu menatapku kasihan, aku terisak lagi,
membiarkan Stast menyesap aroma rambutku sesaat sebelum ia melepaskanku.
Berjalan kearah balkon.

Ia berkata sebelum menghilang, “Tidak akan ada yang berubah… sekuat apapun perasaan yang ingin kau sampaikan padanya.”

“Kenapa kau mengikutinya?” Tanyaku lagi, sembarangan menarik kain sprai, menutupi bagian tubuhku yang terbuka, “Kau tahu ia berubah… karena aku…? Dan kau tidak… menghentikannya?”

Stast menoleh padaku, senyumannya teramat samar.
“Karena jalan keluar yang ia tawarkan bukan dengan menjajah… Dengannya, Dunia akan bertransformasi kebentuk yang lebih baik, itulah ideologinya, hanya ia yang bisa mewujudkan.” ia melompat kebawah, Dari tempat yang tingginya puluhan meter,

Aku menyembunyikan diriku lagi didalam selimut,
Tidak akan ada yang berubah…? Dunia bertransformasi?
Otakku serasa dipaksa berpikir.

Jika Vampir sepertinya bisa memperingatkanku sedemikian rupa tentang apa yang harus kucintai dan apa yang harus kulupakan…
Apakah harapan benar benar menjadi sesuatu yang tidak mungkin bagi kami?
Ini benar benar memaksaku,
Memaksaku berpikir dengan cara mereka.
Dan jika kau melihat dari sudut pandang mereka, Transformasi bukanlah sesuatu yang buruk, didunia ini ada banyak orang yang membutuhkannya…

Mengerikan, mereka, manusia dan undead, saling bunuh hanya untuk merealisasikan dunia ideal menurut mereka masing masing.
Aku terkejut menemukan bahwa aku tidak tahu harus memihak siapa…

Tidak, atau, masih ada opsi ketiga, jelas, aku manusia, sudah jelas kan?
Dan aku mencintai Undead.
Pemikiranku memang lebih bodoh, lebih sederhana, orang lain barang tentu tidak usah susah payah menafsirkan maksudku, itulah opsi ketiga yang mustahil, kemustahilan yang ingin kucoba. Perlu penjelasan macam apa lagi?

-
-
-
-
-

Begitulah,
Segera setelah pertemuan sekaligus kontak pertama dengan Stast, malam itu aku memutuskan untuk mandi sebersih yang aku bisa dan mengguyur seluruh tubuhku dengan air dingin.
Membasuh jejak darah serta apa saja yang ia tinggalkan dikamarku.
Merasa jijik, tapi juga simpati yang aneh.
Aku tidak bisa tidur nyenyak malam itu, kemanapun aku berpaling, rasa takut selalu menyertaiku.

Dan siang ini, Tasuku berkunjung seperti biasa, dia akan langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres, Pertama, ia tahu aku kurang tidur, dan kedua… “Apa Stast kemari?” Tasuku bertanya, nadanya ketus dan dingin, aku mengangguk lemah.
Suamiku mencengkram kedua bahuku,

“Tidak perlu kau lakukan inipun aku pasti tidak akan membohongimu,” mohonku, Tasuku mengendur sedikit.

“Bukan…” Ia menatapku dalam dalam, “Dia tidak… melakukan hal hal yang membuatmu celaka, kan? Dia tidak menyakitimu?”

Rasa khawatir yang ia tunjukkan membuatku lega, aku kejam sekali, berbahagia sementara orang lain sedang kesusahan… Tasuku memikirkanku, ia kesusahan, dan aku senang karena hal itu?

“Hanya bicara…”

Tasuku diam lagi, ia menjauhkan dirinya sedikit, duduk tenang melipat kakinya disampingku, “Dia bicara apa?” Tanyanya kemudian, mendadak dinding-dinding kosong menjadi pusat perhatian terbesarnya sekarang.
Aku kembali menunduk.

“Dia bilang… Kau berubah,”

Tidak ada tanggapan,

“Dan itu karena aku…”

Kami berdua diam, jantungku berdegup kencang,
Lalu terdengar suara desah lega suamiku,

“Dan kau senang…?”

Aku mengangkat wajahku, jadi Tasuku bisa melihat rona itu sekarang.

“Jadi itu benar?” Desakku balas bertanya.
Tasuku diam saja, wajah tampan itu terlihat menimbang nimbang apa yang akan ia katakan padaku selanjutnya,

“Baumu mirip dengan dia,” Ejeknya, membuatku mati rasa seketika.
Merusak mood…
Aku membaui diriku sendiri, astaga?
Padahal aku sudah mandi dan pakai parfum banyak banyak,
Mendadak aku ingin menjauh sejauh mungkin,

Jika orang yang kau cintai mengomentari bau badanmu, sebelum kau jadi wangi lagi kau tidak akan percaya diri untuk berada didekatnya bukan?

Jemari Tasuku terulur membelai kedua pipiku, terus hingga ke rahang, berbeda dengan semalam, padahal mereka Vampir yang sama berbahayanya,
Kenapa sekarang aku meminta lebih?

“Jangan mendekat dulu!” Protesku setengah mendorongnya, Tasuku melakukan sesuai permintaanku seperti biasa, tapi ia tidak bisa menyembunyikan sorot ketidak setujuan,

“Kau yang bilang tidak suka, aku…”

“Apa…?” Oh, sial, dia tidak menghiraukan, “Dimana dia menyentuhmu?” Tanya Tasuku lagi, aku menggeleng kuat kuat saat rajaku mendesak diatas sofa,

“Ini… bukan seperti itu…” Bantahku, ia mengecup kakiku, terus naik keatas, seperti mencari cari sesuatu,

“Disini? Bukan…” Tukasnya seraya menciumi bagian tungkai, lalu ia menyeringai ketika ia sampai dibagian paha, menyingkap gaun tidurku tidak sabaran, “Dia memulainya dari sini,” matanya berkilat marah.
Tunggu, apa Tasuku sedang… cemburu?

“Sudah kubilang tidak ada…” Aku hampir menangis, “Dia… Dia hanya menakutiku…”
Bagus sekali Daina, Didengarkanpun tidak,
Ciuman itu terus merambat naik, kearah perut, lalu semakin keatas,
“Ahh…haah…” Suaraku halus diantara bunyi gesekan ujung hidungnya dengan kulitku, kendatipun terhalang sehelai kain, sensasi tetaplah membakar,
Aku merasa ia seperti sedang menginspeksi tubuhku…
Ia berhenti saat wajahnya hanya beberapa sentimeter diatas bagian dadaku, nafasku tercekat saat ia meneruskan kegiatannya disana, refleks kedua tanganku menggapai, menyambut dan memeluknya, secara tidak langsung meminta agar ia membenamkan wajahnya lebih dalam lagi.

“Tasuku kejam… kenapa kau melakukan ini? Kau tidak percaya padaku…?”

Tubuhku bergetar aku tidak ingin dia marah… Bukan karena aku takut, tapi karena aku mencintainya, begitu tergila gila sampai sampai harga diriku pun tidak ada artinya lagi, bahkan hidupku sendiri, tidak ada artinya lagi jika ia tidak ada,
“Jangan… Tinggalkan aku…”

Ia telah sampai dibagian wajah sekarang, sengaja melewatkan bagian leher, berlama lama menciumi kedua pipi.

“…Ya…” Bisiknya serak, suaranya satu tingkat lebih berat dari biasanya, seolah memaksakan diri untuk mengalihkan perhatian. “Aku percaya…” diciumnya puncak kepalaku, memberikan waktu untuk bernafas sebelum mulai membelaiku lagi.

‘Kau itu siapa?’

Siapa aku?
Terhenyak dalam pelukannya, aku merangkul penuh sukacita, tidak mengerti apa yang ia pikirkan, yang kutahu adalah mendamba.
Begitu seterusnya hingga aku kelelahan, dan ia meninggalkan tubuh sepi ini menjerit jerit meminta agar ia memberikan hukumanku.

Dan jika seseorang bertanya aku siapa, apa yang harus kujawab?
Aku hanyalah makhluk fana yang amat diinginkan oleh sang penguasa kematian…



+++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:14 am

Stast.


___________________________
______________________




Bersandar dibalik pintu, perlahan orang yang kutunggu akhirnya keluar dari dalam sarang cintanya,
Ia tidak tampak terkejut melihatku, juga tidak memperlihatkan tanda tanda marah.
Aku tersenyum maklum, ia tidak melanjutkan setelah beberapa langkah melewatiku.

“Penyusupnya?”

Betapa luar biasa, kendatipun ia memiliki beragam pertanyaan dalam benaknya mengenai tindakanku, ia masih bisa mengesampingkan kepentingan pribadinya.

“Kutemukan dua ditengah tebing, selesai, tapi kuduga mereka hanya pengamat, masih ada beberapa lagi dikedalaman hutan, cuaca buruk sehingga penciumanku tidak terlalu baik, kita harus menunggu sebentar.”

“Dan kota kita?”

“Menyesal sekali,” aku berkata sungguh sungguh, “Ryo kisaragi memimpin pembersihan di Boston, memukul mundur Ferina dan yang lain, sekarang wilayah itu clear, kurasa kita kehilangan satu lagi…”

Sang raja mendesis tidak puas, “Harus segera diselesaikan,
Kita tidak bisa terus begini, jika ingin menyelesaikan… Kita harus lakukan tuntas hingga ke akar.”

Aku mengangguk setuju.
Ini semua berawal dari kakaknya yang menjadi jendral besar Paladin kan? Entah apalagi yang direncanakan oleh orang sehebat Aryanov Gabriel, kami harus berhati hati.
Jika sang raja memang berniat untuk menuntaskan hingga ke akarnya, itu artinya sebentar lagi akan…

“Bagaimana cara membuat kontak…?” Sang raja bertanya, “Jika kita menghubungi mereka begitu saja, menyampaikan keberadaan kita, mereka bisa saja tidak datang, mengira ini informasi palsu lalu hanya mengutus sebagian besar pasukannya saja, sekedar mengecek, akan buang buang waktu,”

Kelihatannya untuk yang satu ini kami sepakat,

“Aku ingin dia sendiri yang datang.” Katanya lagi.

“Aku paham, kita akan mengusahakannya,” Bujukku menenangkan,

Ia tidak sedikitpun menoleh kepada Stast ini, setelah beberapa lama,

“Dan aku juga tidak mengerti apa yang kau pikirkan…”

“Begitu pula aku,” Senyumku, melihatnya meneruskan langkah, gayanya acuh, bersikap seolah itu bukan hal penting, tapi aku tahu bagaimana kami masing masing memikirkan dengan serius.

Ia kesal, ia menemukan bau yang lain menempel pada tubuh wanitanya,
Ironisnya, seharusnya ia tidak lagi merasakan kecemburuan seperti itu,
Kemarahan yang egois, rasa ingin memonopoli yang tinggi.
Ia ingin membunuhku kalau bisa, karena aku berani melayangkan tangan terhadap pengantinnya, disaat bersamaan dia tidak mengerti, aku tidak memberi akal sehatnya cukup alasan untuk melakukan hal tersebut.
Aku bisa membunuh gadis itu, semudah aku menginginkannya, hidup mati gadis itu tidak ada hubungannya denganku, malah, mungkin dengan menghilangkan nyawa gadis itu aku bisa saja membantu tujuan kami selangkah lebih dekat, walau nyawa taruhannya, aku selalu tidak masalah apapun yang kukorbankan demi tercapainya tujuan, ia tahu sifatku.
Tapi aku justru tidak melakukannya, hal inilah yang membuatnya bingung.

Sama sepertiku, aku juga bingung.
Ketika gadis itu berkata ‘Aku mencintainya,’.
Betapa kekeras kepalaan tersebut mengingatkanku akan sesuatu…
Begitu keras kepalanya mencintai sesuatu hingga mencelakakan diri sendiri.
Aku menengadah, kubiarkan ukiran ukiran nan indah menyihirku…

Ah, Nostalgia… betapa gilanya,
Seandainya bisa memutar waktu,

Daripada melihat mereka menderita sampai mati, aku lebih senang jika mereka lari.
Mereka yang mempunyai cinta sebesar itu untuk diberikan, pantas mendapat sesuatu yang lebih baik daripada kami



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:15 am

Daina.


___________________________
_______________________




Aku kembali menikmati saat saat tenang sambil mengharap kedamaian seperti ini akan berlangsung selamanya.
Tidak ada yang terjadi lagi, aku mulai menghitung hari, tidak tahu pasti berapa lama sudah aku disini.
Mungkin 2 bulan? atau lebih?
Tasuku selalu dan selalu memperhatikanku sehingga aku mulai kerasan, kecuali malam itu, Stast juga tidak pernah menggangguku lagi.
Yah, Praktisnya, tidak ada apa apa.
Sama sekali.

Apakah Tasuku sudah mulai membatasi gerakannya?
Ia selalu sibuk bersamaku sepanjang waktu...
Dalam hati aku gembira memikirkan khayalan khayalan bahagia itu.

Hari ini,
Seperti biasanya aku bermain main diluar dan Tasuku menemani disampingku.
Ia begitu baik, membantuku merawat bunga bunga sebagai kegiatanku setiap hari, hasilnya, lebih banyak benda hidup kecil itu bertebaran didepan Mansion sekarang.

“Lagi?” Ujarku melihat Tasuku memasangkan mahkota bunga pada rambutku, ia tertawa,

“Kau seperti peri,” pujinya, melihatnya sangat sungguh sungguh, kau tidak akan tega protes lalu mengatakan bahwa ia sedang menggombal.
Ia selalu bicara dengan raut wajah serius seperti itu,

Aku menggenggam bunga bunga itu, “Dulu,” Kataku mengingat ingat, “Saat kita baru saja bertemu, kau juga pernah melakukan ini untukku, kau juga mengatakan hal yang sama.”

‘Karena hanya ini yang aku bisa selain Rumus Kimia,’ Adalah yang dikatakan Tasuku saat itu.

“Benarkah? Aku lupa…” Sebelah Alis Tasuku terangkat tidak yakin.
Gemas, aku memukul dadanya.

“Jahat! Itu penting bagiku,” Seruku merajuk, “Aku sedih kau lupa…”

“Hey…,” Tasuku mencubit pipiku, “Karena bagiku masa depan denganmu lebih penting,” Merasa tak mendapat respon, ia merangkulku dari belakang, “Ayolah Di,” Membisikiku, “As your king, I command you…”

Ia menempelkan telapak tangannya pada tanganku, dibawah mendung dan cahaya matahari samar samar, aku melihat betapa kulit yang kini tidak dialiri darah itu seputih pualam.

“Untuk tidak bersedih… Berbahagia selalu selama lamanya,”

Aku terpesona, tertarik semakin dalam, suaranya lembut seperti menghipnotis,
Merdu terdengar bagaikan dentingan alat musik paling menakjubkan.
Percaya, aku percaya, aku sangat percaya, Aku akan mengikutimu kemanapun,
Aku akan melakukan apapun untukmu, kau Rajaku, kau duniaku, Aku percaya padamu…
Kuserahkan diriku, jiwa ragaku, hidupku, semua milikmu.
Bawa aku kemanapun kau pergi…

“Jika kau tidak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri, lakukanlah untukku…”

Bisikan itu menyamai suara angin yang membelaiku.
Perasaanku meluap, Aku nyaris berbalik dan melompat kedalam pelukannya,
Kemudian deru tembakan yang memekakkan telinga menghancurkan emosi yang susah payah kami berdua bangun, seakan jantungku berhenti berdetak saking terkejutnya, refleks menutup mata,

Tasuku…?

Lagi, suara tembakan.

Pelan pelan kubuka kedua mataku, demi memastikan ia baik baik saja, asap menghalangi pandanganku, mengurung kami berdua, aku maju kedepan, tanganku meraba raba sekitarku, aku merasakan bunga bunga yang susah payah kutanam terinjak begitu saja, berkeresak, aku nyaris menangis, putus asa, mencari cari lelaki yang kucintai,
Berdoa untuk keselamatannya.

Tapi aku malah mendapati ia yang kucintai lagi lagi berada didepanku,
Darah merah keperakan membasahi jubah putih bersihnya, menetes anggun dari kepalanya,
Tubuhnya penuh luka,

“Tasuku, kau…”

“Kau tidak terluka kan?” Tanya Tasuku cemas, ia tidak kesakitan, malah sebaliknya, walau aku mencemaskannya dan ia kelihatan sebagai yang paling pantas dicemaskan, ia bersikap seperti tidak ada apa apa, aku terkejut, cepat cepat menggeleng,
Dari kepulan asap tebal, samar samar aku melihat beberapa orang ditepi hutan,

Paladin.

Dari seragamnya saja aku sudah sangat mengenali.
Mereka pastilah Paladin, apa mereka kemari untuk melacak Tasuku…?

“Lihat kan, para tikus muncul sendiri pada akhirnya,” Secepat tiupan angin topan, Stast muncul dihadapan kami, seluruh tubuhnya menegang dalam posisi tempur.
Cakarnya yang lebih keras dari baja kelihatan bersiaga, Berkeretak seiring gerakan halusnya diudara.


“Sudah terkepung!” Orang orang bertopeng itu juga dalam posisi tempur, “Stast the origin dan Dr.Gabriel,” Mereka berteriak, “Tidak sia-sia jika bersusah payah mendekati tempat ini… Kita mendapatkan keduanya sekaligus!”


Lalu tembakan demi tembakan dilancarkan lagi, “Aku sudah bilang padamu, My Lord, beginilah jadinya kalau kita menetap disuatu tempat untuk waktu yang lama,” Aku yakin sekali ia sedang bicara pada Tasuku, Stast mentransformasi lengannya kedalam bentuk tombak yang menjadi perisai sekaligus senjatanya pada saat bersamaan.
Ia maju secepat kilat kearah penyerangnya, tidak mempedulikan hujan peluru mengerikan menembakinya dari segala arah.

Ia menangkisnya, setiap gerakannya tepat sekali.
Apa dia bisa membaca dengan tepat arah peluru?
Atau semua yang ia lihat nampak dalam gerakan slow motion?
Ia kuat sekali, dalam sekejap, ia bahkan menangkap moncong senjata itu.
Menarik dan menghancurkannya seperti kerupuk.

Para orang orang terlatih dari Paladin itu tentu saja bukan lawan yang gampang, beberapa dari mereka bahkan memiliki spesialisasi senjata jarak dekat,
Sementara tembakan masih dilancarkan, Dengan Timing yang luar biasa tepat agar rekannya bisa terhindar dari peluru, satu sama lain mulai menyerang kearah Stast,

Aku berlari kedepan untuk melihat luka luka Tasuku, Begitu aku menyentuh bahu Tasuku, Lelaki yang kucintai membalikkan badannya kearahku, demi menunjukkan bahwa sekarang luka luka itu telah lenyap, serpihan peluru keluar seperti karet dari kepala maupun tubuhnya, ia masih berlumuran darah dan cideranya pelan pelan menutup, cepat sekali!

“Sudah biasa begini,” Desis Tasuku, “Ayo, kau harus masuk kedalam, Stast bisa mengatasi semuanya,”

Aku terdiam, ah... “...Bukan begitu maksudku,”

Tasuku diam menungguku menyelesaikan kalimat, berpikirlah Daina, ada, pasti ada yang salah... Ada yang salah!
Kau ingin mengatakan apa?

“Dia bisa membunuh semuanya!” Desakku, “Kau harus menghentikan mereka, tidak harus membunuh, kan? kau pasti bisa melakukannya…”

Belum sempat aku selesai bicara, kapak besar menghantam punggung suamiku,
Teriakanku tertahan.

Darah.
Mengucur banyak sekali.
Dari lukanya,
Jika manusia biasa dengan volume darah sebanyak itu dan luka sedalam itu.
Ia pasti sudah mati.

"Markas!" Pria itu terlihat bicara, ia menekan kapak besar itu lebih kuat kedalam, membelah jantung Tasuku dengan ketepatan mematikan.
Aku tahu, ia sedang melaporkan keadaan...

"Memang Dr. Gabriel! Nona Daina juga ada disini!"
Perhatianku terombang ambing antara namaku yang sedang dipanggil, lalu pada Tasuku.
Kenapa? Ada apa? Reaksinya tampak lambat...

"Dia ada? Kalian menemukannya?"
Suara Baritone yang akrab ditelingaku mengambil alih komunikasi yang semula dipegang operator.

Kakak...
Itu Kak Ari.
Dia sedang... mengkhawatirkanku? Dia mencariku?

"Selesaikan misi dan bawa dia pulang,"

Prajurit itu menjawab patuh. ia mengeluarkan shotgun.
Aku berteriak hendak menghentikannya, tapi ia menembak cepat sekali dalam jarak dekat dan membabi buta kearah Tasuku.

Prajurit didepanku menghela nafas lega, "Nona Daina, ikutlah dengan kami, ini akan segera selesai..."

"Tidak... aku..." Tasuku, tidak mungkin mati semudah ini, kan?
Kenapa?
Aku melihat luka dimana kapak raksasa itu menancap dalam, tidak ada tanda tanda perbaikan jaringan, pun Tasuku, berdiri dengan kepala tertunduk seperti patung batu.
Wajahnya tidak terlihat diantara rambut pirang yang jatuh meriap menutupi muka.
Aku pernah membaca jika Undead jenis Vampir kehilangan banyak darah ... tidak mungkin... rigor mortis?
Bukankah ia terlalu awal untuk sampai pada kondisi kaku mayat itu?

Prajurit Paladin itu menyalakan pemicu api,

"Tidak... Jangan...!" Teriakku, ia akan membakarnya! habis sudah!

Tik!
Tasuku terkejut, Ia bereaksi disaat saat terakhir,


Namun api besar terlanjur menjilat tubuhnya.


"Tasuku!" Teriakku dalam kegilaan.
Menghambur kearah nyala berkobar.

Tap!
Aku terjerembab keatas tanah.

Kakiku...
Majupun tidak bisa, seakan ada kekuatan yang menahanku agar tidak bergerak satu sentipun dari tempatku berada.
Aku menoleh kearah kakiku,

Pada tangan pucat yang keluar dari dalam tanah.
Memegang erat kedua kaki, menarikku mundur pelan pelan.
Aku mengalihkan pandangan tidak mengerti kearah Tasuku,
Ia belum mati?

Api telah padam, menyisakan hanya sosok hitam legam terbakar, semula adalah suamiku...
Tasuku...? Aku menunggu, tegang.

"Mati...!" Si Prajurit berkata bangga, Ia mengeluarkan, kali ini, pemicu api yang lain, benar benar akan menghabisi Tasuku sampai jadi abu.


Kejadian selanjutnya benar benar diluar akal, atau begitulah setidaknya yang terlihat dimata manusiaku.
Mengerikan, karena dari sudut ini, aku bisa melihat dengan jelas...
Bagian dimana mata seharusnya berada terbuka.
Mendelik secara mengerikan.


Kreek...
Betapa ngerinya aku melihat kepalanya berputar dengan sangat mengerikan kearah yang seharusnya belakangnya,
Ia seperti hantu, aku tidak mengenalinya lagi.

“Kau nyaris melukai Istriku…” Lirihnya lembut kearah penyerangnya, sedetik kemudian ketika ia sudah membetulkan posisi kepalanya, dan tulang tulang mengerikan keluar dari dalam tubuhnya. Mencabik penyerangnya dalam sekali serang.
Tanpa sempat melawan, Prajurit itu mati dengan darah menetes-netes, aku merasakan percikan yang sama membasahi wajahku, padahal aku berada cukup jauh, shock, aku menutup mulut tanpa bisa berkata apa apa,

Memperhatikan saja bahwa dari tulang tulang yang menembus tubuh mangsanya, Tasuku yang kucintai menyerap setiap tetes darah segar, memejamkan mata dan merasa hidup.
Begitu menikmati acara makannya yang ganjil…
Dan... aku melihat semakin banyak ia menyerap darah mangsanya, ia semakin kuat, aku menyaksikan sangat jelas bagaimana jaringan yang rusak pulih sangat cepat, dagingnya yang semula terbakar, lapisan kulitnya, bahkan pakaian yang ia kenakan, semua pulih dalam waktu sangat cepat... berbeda dari sebelumnya.


“Maaf tentang yang satu itu,” Stast berkata lembut, suaranya menggema dari ujung ke ujung.
Ia sendiri telah menyelesaikan tugasnya.
Mayat mayat... ada dimana mana...
Suamiku tidak menyahut, ia menjilat cairan merah pekat yang mengalir ditangannya,

Lalu menjatuhkan begitu saja tubuh kering terkoyak koyak mangsanya diatas tanah, sesuatu menjijikkan yang keluar dari dalam tubuhnya pelan pelan masuk kedalam, ia mencabut kapak yang menancap dipunggungnya, tubuhnya berlumuran baik darahnya sendiri maupun darah mangsanya.

Trekk-trekk-trekkk,
Terdengar bunyi sesuatu sangat menganggu, Tasuku menghampiri mayat itu, memeriksanya, dari saku depan jaket si mayat, ia menarik sesuatu,

Radio… alat komunikasi…



Aku percaya padanya, aku akan mengikutinya kemanapun…


“Kakak…?” Lembut, ia berbicara kepada alat itu, ia tidak salah, komunikasi masih terhubung, amat jelas, menyambung hingga entah kemana, markas pusat mereka…

“Aku ada disini, Daina ada disini,”

Ujung jariku kaku,


Kumohon jangan katakan, jangan kau berikan bukti atas semua prasangka burukku padamu,
Kumohon jangan…



“Datanglah…”

Rasanya seperti sebilah pisau es menghujam dadaku, dingin, menimbulkan nyeri.
Lalu ia melemparkan alat komunikasi itu kepada Stast yang menyambut dengan wajah tak kalah kejam,

Tangan tangan itu masuk kebawah tanah, melepaskan kakiku yang semula dipegang sangat kuat

Tidak, aku percaya padanya.


Aku percaya.
Aku...

Jadi untuk apa dia baik padaku selama ini? Agar kakak datang padanya? Agar ia bisa saling bunuh lagi dengan keluarga kami satu satunya?
Apakah baginya perang jauh lebih penting… bahkan melebihi diriku…?
Sakit, ini benar benar sakit.

Ia menggunakanku, itulah jawabannya.
Ia menginginkanku untuk memancing kakak sendiri yang datang kesini, Demi memusnahkan musuh bebuyutan mereka, Paladin…
Ia ingin aku berada disini karena aku berguna, bukan karena ia mencintaiku…?

Kemudian, aku melihatnya menoleh kearahku, apa ia akan membunuhku sekarang?
Tugasku… sudah selesai, kan?
Ia maju kearahku, hendak menggapai, “Maaf… Kau tadi… mau bilang apa?” Katanya seakan tak ada apapun yang terjadi, Sulit dipercaya bahwa ia lebih menyesali tindakannya yang sudah mengacuhkanku ketimbang kenyataan bahwa ia baru saja membunuh orang.

Kenapa…?
Kenapa kau tidak bunuh saja aku sekarang?
Apa kau mencintaiku…?
Jawab aku, Tasuku… apa kau pernah, sekali saja, memikirkan bahwa kau mencintaiku…?!

‘Berbahagialah…’ Baru beberapa menit lalu ia mengatakan hal semanis itu...



Berbahagia…?
Aku sudah melihat kegilaan, dan ia lagi lagi mengingkari janjinya…
Bisa kulihat warna matanya berubah ubah, kuning keemasan, lalu merah pekat, begitu terus berganti ganti, ia mengulurkan tangannya padaku.

Ia menginginkanku, tapi sebagai apa…?

'Kau itu siapa?' Oh tidak, Pertanyaan Stast menggangguku lagi...



Dari jauh aku sadar, Stast the origin, menyeringai kearahku penuh keyakinan.
Aku yakin sekali, ia sedang menertawakanku.
Tawa yang dingin, penuh kebencian.

“Tidak…” Tolakku, “Tidak!” Aku menepis saat tangan Tasuku sudah mencapaiku, sekejap saja rasa mual menguasai, bau anyir darah, dan serpihan daging dimana mana membuatku ketakutan, “Jangan sentuh… aku…”
Aku tidak tahu, aku baru saja menyaksikan pembantaian brutal yang dilakukan oleh pria yang beberapa menit lalu baru saja berkata bahwa ia menginginkan kebahagiaanku!

“Ternyata memang aku hanya umpan, kan?” Ujarku dengan mata yang sedih,
Memang Tasuku kelihatan shock mendengar ucapan itu meluncur dari bibirku seakan ada sebuah palu besar menimpa kepalanya, tapi ia diam.
Ia menarik diri, membiarkanku mundur teratur,
Aku tidak peduli, persetan dengan itu.

Aku benar benar marah…
Entah mengapa, bahkan tubuhku kaku, tidak bisa bergerak sebebas yang kuinginkan, dilain pihak aku sudah tidak tahan ingin pergi dari tempat dimana pemandangan mengerikan itu menghantuiku.

Aku menggeleng kuat, setengah kesal, setengah sedih, setengah takut, “Kau melakukannya lagi, kali ini dengan amat baik,” Desahku kecewa, sebelum akhirnya melangkah menaiki tangga mansion, meninggalkan Tasuku terpaku penuh kepiluan.
Dalam hati aku berharap ia mengeluarkan tombak mengerikan itu lagi dan merobek jantungku seketika,
Tapi ia tidak melakukannya, entah mengapa.

Tidak, aku tidak tahu, aku tidak mau tahu.
Ia menghancurkanku.
Sangat hancur sampai aku merasa tidak ingin hidup lebih lama lagi.


++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:16 am

Tasuku.


___________________________
_______________________




Stast menghampiriku, penampilannya tampak sama kacau, tapi aku bertaruh ia menikmati ini.

“Tidak bisa dipaksakan, wanita tidak suka pemandangan seperti ini, My Lord,” Ia berkata lembut, aku berdecak kesal,


“Kau lihat cara mereka berusaha melenyapkanku, Jika hal seperti itu dilakukan pada manusia, ganjarannya pastilah hukuman mati, mereka kejam, tidak berperikemanusiaan, Aku hanya melindungi diri,” sanggahku, “Aku terpaksa, Jika tak kubunuh, mereka akan membunuhku, begitu seterusnya…,"

Sungguh menyebalan, Aku tidak pernah dengan sengaja ingin memanfaatkan Daina atau apa… aku… itu hanya keadaan terdesak…”
Ya, jika aku tidak melakukannya, mereka akan terus dan terus mengirim bala tentaranya kemari, dalam baku tembak tadi saja seandainya aku tidak fokus untuk melindungi Daina, dia pasti akan mati terkena ratusan peluru.
Kakak harus datang kemari, mengakhiri semua ini.
Dan Daina tidak mengerti…

Stast terkikik geli, melihatku tertunduk lesu.
"Apa boleh buat, karena untuk makhluk seperti kita, hak asasi atau apapun tidak lagi berlaku,"


Dalam diam, Hatiku membenarkan kata kata Stast,

"Mereka tahu,
Mereka tahu ini bukan kondisi terbaikku, aku memandangi telapak tanganku sendiri,
Kau benar, aku nyaris mati.
Jika saja aku tidak cepat bertindak aku pasti sudah mati."

Stast mendengarkan serius.

"Aku hanya tidak menyangka, perbedaannya sebesar itu, antara mendapatkannya secara langsung dari tubuh mangsa dengan transfusi biasa,
Kekuatanku tidak keluar, tidak seperti yang kuinginkan,"

"Aku sudah bilang kan?" Stast berkata tajam, "Aku juga tidak bisa percaya sampai kau bilang sendiri... padahal mereka hanya prajurit kelas kedua... menyamai Guardian saja tidak..."

Regenerasiku tidak datang secepat yang kumau, pun gerakanku, melambat,
Aku sempat panik saat mereka membakarku.

"Siapa...?" Aku bertanya, "Mereka tahu aku sedang tidak sekuat biasanya, mereka seperti memanfaatkan keadaanku... mungkinkah... ada seseorang yang mengkhianatiku disini?"

Stast cepat cepat menggeleng, "Nonsense," Bisiknya, menepuk bahuku, "Singkirkan pemikiran kekanakanmu itu, My lord..., Baik aku maupun Ferina, Tidak ada satupun orang disini yang menginginkan kekalahanmu, ketiadaan dirimu berarti akhir bagi kami, itu lebih menyakitkan dari pada apapun." Ia menekankan nada bicaranya padaku.

Aku menatap Stast, Ia tidak pernah berbohong padaku,
Selama ini...
Apakah ia sedang menyembunyikan sesuatu?

Apa? Jika ia ingin melenyapkanku, dia bisa mulai dari Daina terlebih dahulu,
Dan ia tidak melakukannya.
Walau ia memiliki alasan yang tepat.

Aku menghela nafas, Tidak, jika dia bilang begitu, maka begitulah adanya,
Dia mencintaiku, mencintai semua keturunannya...
Dia tidak akan berbohong kecuali untuk melindungi kami semua...

Sekali lagi, aku memutuskan untuk percaya...

Daina.
Ketika aku berkata aku menginginkan kebahagiaannya, melebihi siapapun,
Aku merasa tidak pernah sejujur itu sebelumnya.
Pertempuran selanjutnya, entah siapapun yang menang atau kalah, aku atau kakak…

"Aku hanya mengharapkan kebahagiaan untuk Daina, seseorang akan memberikannya untuknya, meski itu bukan aku."
Aku tersentak,
Sejak kapan aku curhat pada Stast?

Menutupi kegugupan, aku memaksakan diriku menatap mata Stast, melihat sendiri bagaimana reaksinya,

Sungguh diluar dugaan.
Vampir tua itu ternyata tidak menampakkan emosi sama sekali, pun keberatan, protes, apapun itu,
Sebaliknya, seringaian lebar menampakkan gigi taringnya, matanya yang hitam berkilat penuh semangat.

So, you’re still love her, afterall…

Aku menunduk.
Sial…

“Jadi inikah yang kau maksud dengan bertaruh?” Stast memancing lagi, “Aku menang, My Lord,”

“Tidak, aku…”

Non, ” Stast mengibaskan tangannya, “Aku bisa melihatnya, kau tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu dari orang tua ini… Aku sudah hidup cukup lama untuk mengetahui apa yang ada dibenak orang lain…”

Kali ini aku terdiam, tidak mampu menjawab apa apa, ia membaca hatiku dengan sempurna.

“Stast… Apa kau pikir…” Aku ragu sejenak, tidak tahu apakah bijak aku meminta nasehat darinya sekarang, “Apa kau pikir, mungkin, bagi manusia dan Undead untuk…” Aku berpikir, “Hidup bersama sama?”

Stast tidak menjawabku, kelihatannya ia juga sedang berpikir mencarikan jawaban yang tepat.
Namun melihatku sudah begitu resah membayangkan bahwa tidak akan ada jawaban yang tepat untuk pertanyaanku tersebut, ia merangkulku kedalam dekapannya.

“Anakku…” Ujarnya lembut, “Kau masih ingin menciptakan surga?” Tanyanya, aku tidak menjawab,

“Yang kita lakukan selama ini hanya mencoba membuat mereka mengerti dengan cara kita, dan mereka juga berusaha membuat kita mengerti dengan cara mereka…” Kurasakan ia membelai rambutku, membuatku merindukan kakakku teramat sangat. “Apa kau pikir adakah kemungkinan, sesuatu yang lebih kuat daripada kekeras kepalaan kita masing masing selama ini?”

“Kau tidak marah?” Tanyaku, “Kau tahu tujuanku bukanlah membunuh kakakku sejak awal, tapi mencari cara agar… kami semua bisa bersama sama… dan kau masih tidak marah?”

“Akupun ingin melihat, jalan keluar itu,” Stast menengadah keatas langit, “Kau lupa bahwa perbedaan terbesar kita dengan mereka adalah, kita mampu melihat tidak hanya dari satu sudut pandang saja?” Ia terkekeh,

Aku tersenyum lemah.

Jika saja mereka bukan pemangsa, Undead adalah sahabat terbaik yang bisa kau temukan, begitulah mereka…

Suara kak Ari menggema begitu jauh hingga kedalam hatiku.




+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:17 am

ARI.


__________________________
______________________




Semua orang, tak terkecuali Caesar dan juga Monroe, terdiam, memikirkan informasi yang baru saja kami terima,

“Mereka menghabisi unit 23 yang kita kirim untuk menyelidiki, tidak salah lagi, kita sudah dapat memastikan lokasi mereka, Pennsylvania. ” Caesar memberikan instruksi kepada bawahannya, “Lekas, kejar dan sergap mereka ditempat, Biar aku dan Kisaragi yang pergi bersama kalian untuk mengatasi ini,”

“Tunggu!” potongku, “Dan atas wewenang siapa prajurit diizinkan melakukan misi bunuh diri?”
Bahkan aku sendiripun tidak bisa membiarkan, walau prajurit hebat bahkan sekelas Ryo dan Caesar sendiri yang berniat turun tangan, belum tentu dapat mengalahkan Tasuku.
Aku tidak bisa mengirim sahabat karibku sendiri untuk misi seberbahaya ini.

“Wewenangku,” Jawab Caesar, “Segala resiko sudah diperhitungkan demi mendapat hasil paling baik, dan cara ini selalu terbukti efisien bahkan sejak era Alexander,”
Yeah, karenanya Solomon dan Messiah sampai kehilangan nyawa, bukan?
Karena kita terlalu berhati hati dalam bergerak.

“Alexander Boracnitchov, sudah mati,” Putusku, “Sekarang kita menggunakan caraku, Kisaragi sedang tidak ada ditempat, dan aku menolak mengirim dia hanya berdua ke medan sesulit itu,”
Pennsylvania adalah wilayah yang telah dikuasai seluruhnya, tidak akan semudah itu...

“Gabriel…” Monroe menyabarkanku, ia kelihatan takut persiteganganku dan Caesar menjadi lebih besar lagi, “Aku bisa menggantikan Kisaragi jika harus…”

“Tidak ada yang akan meninggalkan tempat ini,” putusku, “Tidak tanpa aku.”

Caesar kelihatan ngeri sekali mendengar kata kataku barusan, “Apa kau tidak berpikir hah?! Kami melakukan semua ini untukmu!” Caesar menggeram, “Dan sekarang, kau secara sukarela ingin menyerahkan diri ketangan mereka seperti Alexander?! Bocah sialan… Ini tentang siapa yang akan menjadi roda penggerak Paladin jika kau tidak ada!”

Atmosfir ruangan dalam sekejap menjadi amat suram, hanya terdengar bunyi bunyi kedipan alat alat komunikasi yang terhubung pada basis Paladin diseluruh dunia,
Monroe mengeluh, tapi aku tidak dapat mendengar dengan pasti apa yang ia katakan,
“Aku, Ryo, Kau Caesar, Dan kau juga Monroe, kau ikut aku, Mikia dan Syeikh akan tetap dimarkas,” Akhirnya aku membuat keputusan final, untuk tetap pergi,
Percuma saja mengirim orang lain, akulah yang diinginkannya.
Jika kami sepikiran, berarti Tasukupun saat ini sudah jemu dan ingin mengakhiri segalanya.
Ia memberitahukan tempat persembunyiannya, Masuk akal, mengingat pasukannya yang sekarang mungkin saja masih belum siap untuk menyerang benteng pertahanan Paladin di Rusia secara langsung.
Kami unggul jumlah.
Karena itu ia menginginkan aku sendirilah yang muncul dihadapannya.

Bagus sekali, kami sudah diberi banyak sekali keuntungan, pertama, kami tidak harus membahayakan orang banyak, kedua, kami bisa melakukan persiapan yang matang terlebih dahulu, ketiga, tidak perlu susah payah menemukan mereka, karena mereka sendiri yang ingin kami datang.

Lalu, Daina ada…

Aku mendengar suaranya, begitu hidup, sama seperti suara yang selalu terbayang dalam kepalaku.
Semangat dalam dadaku berkobar, selalu seperti ini sejak aku menetapkan perasaan.
Aku tidak akan kalah.
Aku pasti akan datang, aku tidak akan mati, tidak peduli apa yang terjadi padaku.

Aku berkata pada Monroe dan Caesar yang masih kesal-kebingungan dengan keputusanku.
Aku yang sekarang lain dengan aku yang dulu.
Aku paling tahu hatiku, tidak ada seorangpun berhak bicara mengenainya.

“Aku berbeda dengan Alexander Boracnitchov,
Aku bertarung bukan dengan mengetahui resiko bahwa aku pasti mati, tapi aku bertarung dengan menyadari adanya kemungkinan besar, kalau aku akan menang.”

-
-
-
-
-
-


Tepat pukul 03:30 pagi, aku mengetuk pintu kamar Ryo.
Betapa lamanya aku berdiri didepan sana sampai sampai kakiku pegal dan sibodoh itu tidak menunjukkan tanda tanda kehidupan sama sekali,
Apa dia pingsan setelah kelelahan karena belakangan ini banyak sekali kuberikan misi seorang diri?
Aku jadi merasa bersalah juga karena membebaninya…
Dia masuk Paladin karena ingin menemaniku dan hanya itu alasannya berada dalam pasukan elit ini.
Sejak aku dan dia bersama sama sebagai prajurit bayaranpun, semua yang ia lakukan hanya mengikutiku kemana mana, kemampuannya hebat dan ia pemegang rekor kecepatan no 1 didunia, tapi tetap saja, ia tipe yang selalu bergantung pada apa yang kukatakan, Ryo tidaklah payah, ia hanya malas berpikir, jika diibaratkan, aku mesinnya dan ia rodanya, seperti itulah kami.
Ketika di Vienna, Bisa kubayangkan betapa bingungnya dia menjadi seseorang yang harus memanduku, orang yang biasanya ia ikuti, Rasanya semua dendamku terbalas, haha…

Tapi tidak akan kukatakan.
Bajingan itu bisa mati bahagia jika tahu aku memikirkannya.


Pintu mengayun terbuka,
Hampir saja aku kena serangan jantung, suprise,
Karena yang membukakan pintu… Adalah Mikia.

“Oh… Ari?!” Wajahnya merah sekali, melihatku seperti sehabis melihat hantu,
Ia terlihat susah payah bangun tidur, rambutnya acak acakan, dan ia hanya mengenakan kemeja kusut, kebesaran sekali ditubuhnya, artinya itu milik Ryo.

“Siapa, Miki? Ha, Ar? Kenapa tidak kau suruh masuk?” Kali ini sibodoh yang muncul, dia juga sama acak acakannya, Bahkan ia telanjang dada dan hanya mengenakan celana panjang piyama.

Jelas sekali mereka habis melakukan apa.

“Tidak usah, Aku buru buru,” Jawabku sambil melipat tangan didada, “Seperti hewan saja, Jadi ini yang kalian kerjakan? Kelelahan sampai sampai tidak ada satupun yang mengangkat telponku?”

Kedua temanku hanya cengar cengir bodoh, oh well, apa boleh buatlah…

“10 menit lagi, kumpul di aula,”

“10 menit?!” Kali ini Mikia terlihat histeris, “Aku perlu mandi, dandan…”

“Dandan tidak dandan sama saja,” Aku berkelit saat tinju Mikia nyaris mengenaiku, “Kita akan melakukan serangan.”

“Hah?” Ryo yang setengah ngantuk tampak muncul lagi begonya, “Serangan? Kemana…?”

“Markas Undead, Pennysylvania, kurang jelas? Jadi siapkan senjata terbaikmu dan ikut denganku,”

Sahabatku yang tadinya malas malasan seolah mendapat cambuk semangat tambahan.
Betapa rindunya ia mendapatkan misi bersama.
“Denganmu? Tidak masalah! Aku masih bisa tidur dipesawat,” Ia mengangguk angguk bersemangat, “4 menit saja, aku pasti sudah ada di aula,” kemudian ia cepat cepat kabur kedalam untuk berganti pakaian, seperti biasa, ia gerak cepat.
Tidak lama terdengar suara grabak grubuk ia menjejalkan apa saja yang bisa ia jejalkan dalam seragam Paladinnya.

Aku dan Mikia melongo tidak percaya.
Mikia seperti terhipnotis, antara ngantuk dan mikir,
Lalu ia tersentak, menyusul Ryo,


“Tunggu, tunggu! 4 menit? Dasar gila!” Mikia berteriak lagi nyaris membuatku tuli.



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 EmptySat Oct 05, 2013 1:17 am

Daina.


______________________
___________________





“Daina..” Aku mendengarkan suaranya memanggilku merdu,
Bersembunyi disudut, aku duduk dilantai sambil memeluk lutut, Berusaha keras melupakan apa apa saja yang kulihat.

“Kau marah padaku?” Dari sisi tempat tidur yang berseberangan denganku, nada bicaranya fasih dan lancar, sekaligus memilukan,
Aku masih tidak menjawab, menutupi wajahku dan bergulung,

“Kau marah padaku… sampai tidak mau bicara atau melihatku lagi,” Lagi lagi memutuskan seenaknya!

“Aku tidak marah karena siapa kau,” Gerutuku, “Aku marah karena kau… Kau melakukannya lagi, padahal aku… aku sudah memintamu untuk berhenti, kan?”

Terdengar desah nafas berat menahan beban, aku meringkuk menenangkan diri, bodoh sekali aku… aku tidak tahu apa yang kupikirkan,
Hanya memaksakan keinginanku sepihak saja…
Bukankah perubahan tidak bisa datang semudah itu? Hatiku selalu, selalu memaafkan bahkan sebelum ia memintanya, Aku sudah bertekad akan selalu mencintai Tasuku apapun dia, tapi kenapa sulit sekali melupakan semua perasaan kecewa itu?


Aku merasa seperti alat…


“Aku akan pergi sekarang,” Ah, begitu, selalu begitu, melarikan diri begitu saja menghindari masalah, tidak tahukah dia dan otak jeniusnya itu kalau sikap semacam ini justru menyebabkan perasaan tidak enakku semakin menjadi jadi.

Kuhitungi detik demi detik,
Kapan Paladin akan datang?
Bisa saja besok, bisa saja satu jam lagi.
Bisa kapan saja, Kak Ari, Kak Ryo, Mikia…
Dan tragisnya justru Tasukulah yang akan menggiring satu persatu teman temanku menuju kematian mereka…


“Kau mau kemana?!” Tanyaku ketus, “Mau membunuh orang lagi?”

Tasuku berhenti tepat didepan pintu, “Apa hanya itu yang ada didalam pikiranmu? Bahwa setiap kali aku pergi, yang akan kulakukan hanya membunuh dan membunuh?” Ia bicara dan ada nada tidak nyaman dalam getaran suaranya.

“Sebegitu menyenangkannya kah membunuh?”

Suara nafasnya semakin berat, bahunya bergerak gerak gelisah, “Aku tidak membunuh,” bantahnya.“Yang kulakukan adalah menghidupkan mereka kembali.”


Lalu pintu dibanting dengan keras sekali, aku menutupi kedua telingaku dengan tangan, wajahku basah oleh air mata.
Egois, egois, egois!

Aneh kan?!
Aku menyumpah nyumpah karena kesal, sesaat kemudian menangis karena menyesali kepergiannya.


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
Sponsored content





Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 8 Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Descendant Of The Death Master
Kembali Ke Atas 
Halaman 8 dari 10Pilih halaman : Previous  1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10  Next

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Descendant Of The DeathMaster :: DESIRE... :: Chronicles...-
Navigasi: