Descendant Of The DeathMaster
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksPortalLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Navigation
 Portal
 Indeks
 Anggota
 Profil
 FAQ
 Pencarian
Latest topics
» Descendant Of The Death Master
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyThu Dec 26, 2013 9:35 am by DeathMaster

» Shirotabi Come here ^o^v
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptySat Aug 03, 2013 3:52 am by DeathMaster

» DeepBlue Kingdom
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyThu Aug 01, 2013 7:05 am by Shirotabi

» Newsletter
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyMon Jul 22, 2013 11:01 pm by DeathMaster

» Lily - I don't even know a milimeter of Romeo and Cinderella
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyMon Apr 09, 2012 2:11 pm by DeathMaster

» Rules...? Sedikit aja kok!
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyMon Apr 09, 2012 12:45 pm by DeathMaster

» Perkenalan
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed Dec 08, 2010 8:28 pm by DeathMaster

» Siapa Male Chara Favoritmu?
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptySun Nov 28, 2010 7:30 am by DeathMaster

» Forum Rules: Read This First!
Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptySat Nov 27, 2010 11:42 pm by DeathMaster

Top posters
DeathMaster
Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_lcapDescendant Of The Death Master - Page 6 Voting_barDescendant Of The Death Master - Page 6 Vote_rcap 
Shirotabi
Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_lcapDescendant Of The Death Master - Page 6 Voting_barDescendant Of The Death Master - Page 6 Vote_rcap 
May 2024
MonTueWedThuFriSatSun
  12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
CalendarCalendar
Social bookmarking
Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of Descendant Of The DeathMaster on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of Descendant Of The DeathMaster on your social bookmarking website
Pencarian
 
 

Display results as :
 
Rechercher Advanced Search
Poll
Siapa Male Chara Favoritmu?
Ari
Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Tasuku
Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_lcap50%Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_rcap
 50% [ 1 ]
Ryo
Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_lcap50%Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_rcap
 50% [ 1 ]
Stats The Origin
Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Others
Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_lcap0%Descendant Of The Death Master - Page 6 Vote_rcap
 0% [ 0 ]
Total Suara : 2

 

 Descendant Of The Death Master

Go down 
Pilih halaman : Previous  1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10  Next
PengirimMessage
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyMon Apr 23, 2012 1:48 pm

Tasuku.

+++


Perlahan lahan ku poles bibir yang tadinya pucat karena kedinginan itu dengan lipstik berwarna jingga muda, pipinya mulai merona lagi,
Bidadariku,
Ia masih belum sadar dari kemarin, walau seluruh ilmu kedokteran yang kupelajari mengatakan ia baik baik saja, aku tetap sangat cemas,
Ia kelelahan sehingga sepertinya tidur sehari semalam belum cukup baginya,
Kuusap pipinya dengan lembut,
Aku mengganti bajunya, dan meletakkannya didalam ranjang besar, menyelimutinya agar ia hangat,
Aku sampai lupa diri, seakan aku kembali mendapatkan hartaku yang pernah hilang,
“Aku sayang padamu,” bisikku ditelinganya, ia menggeliat dibalik selimut,
Aku begitu ingin memeluknya lagi, tapi aku takut akan mematahkannya,
Kuraih tangannya, mencium jemari-jemari lentik yang panjang itu, indera penciumanku sampai ditempat nadinya berada, aku menghirup Aroma manis menggoda yang menjadi buah terlarang bagiku itu, menempelkannya ditelingaku,
Aku mendengar darahnya berdesir,
Suara detak jantungnya, nafasnya, semua yang ia miliki, yang menjadi pertanda bahwa ia masih memiliki selembar kehidupan yang, jika aku mau, aku dapat dengan sangat mudah merenggutnya saat ini.
Lemah, rapuh. Dan mampu membangkitkan naluri pembunuhku seketika,

Aku menciumi nadinya, kalut,
Sekejap kegilaan menguasaiku, kemudian aku menjadi sangat takut.
Kepalaku berdenyut denyut dan tenggorokanku seperti habis menelan bola api,
Panas, membakar,

Haus.

Bunuh dia...
Suara didalam kepalaku berbisik.

Dia tidak lebih dari sekedar domba yang diciptakan untuk menjadi hidangan bagi kita, cecap darahnya, sayat dagingnya,

Tidak.
Aku... Aku...

Gugup, kuletakkan tangan itu diatas dadanya, kutinggalkan tuan puteri ini sendiri, membiarkannya beristirahat dengan tenang.
Aku terhuyung mundur, memegangi kepalaku, berusaha mengeyahkan warna merah yang saat ini berusaha mengambil alih kewarasanku,
Saat aku berusaha menjauhkannya dari predator ini sendiri,
Jari yang tidak pernah merasa takut ini gemetar.

Aku tidak akan pernah menyakitimu…
Betapapun aku ingin merenggut semua yang kau miliki itu.




+++

Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyMon Apr 23, 2012 2:02 pm

Ari.

+++


“Ari…!”
Seketika aku menoleh kearah suara yang memanggil namaku,
Mikia menerobos masuk kedalam ruangan Syeikh Ibrahim, terlihat sangat marah.
Syeikh tetap ditempat duduknya, menunggu,

“Kau akan keluar…?” Tanya nya dengan tatapan tidak percaya.
Aku menunduk, caranya mengintimidasi orang amat mirip dengan mendiang kakeknya, karena itu…

“Ya.” Jawabku singkat tanpa berani menatap matanya.

“Kau pengecut,” ia menggeram, “Kau Pengecut, Ar…!”

“Aku minta maaf,” Hanya itu yang terucap dari mulutku, Aku mengangguk pada Syeikh Ibrahim sesaat sebelum meninggalkan ruangan.

“Misi terakhirmu,” Sela syeikh Ibrahim yang menghentikan langkahku padahal aku telah berada tepat didepan pintu.
“Ini akan menjadi hadiah perpisahan darimu, Berusahalah lebih keras agar kau bisa menikmati hari harimu yang terlepas dari tanggung jawab Organisasi nanti”

“Aku mengerti.”

Aku kembali dikejutkan oleh Ryo yang bersandar di samping pintu sekeluarnya aku dari ruangan Syeikh Ibrahim.

“Apa ini yang kau inginkan…?” Ekspresinya datar, nyaris tanpa menunjukkan perasaan.

Aku mengangguk mantap. “Ini keputusanku.”
Ryo menghela nafas berat.

“Misi terakhir, ya,” Ujarnya, “Aku tidak akan melupakannya,” Lalu ia menepuk bahuku. “Sahabat sampai mati,”
Aku tersenyum lemah, “Ya, Sahabat sampai mati,”
Dan akupun meninggalkannya dibelakangku, berdiri mematung.
Entah mengapa, aku merasakan tepukannya dibahuku tadi lain,
Pandangan Ryo menohokku, Lalu ia mengalihkan matanya kelain tempat.
Harusnya yang ia lakukan adalah meninjuku, tidak heran kalau tadi ia juga menampakkan wajah sangat menyesal karena tidak melakukannya.

Aku serasa sulit bernafas.
Mungkin sebaiknya Ryo langsung saja menembak dahiku tadi.
Jadi aku bisa terbebas sepenuhnya dari dunia yang tidak ada apa apa ini,
Bukan, Bukan dunia yang tidak ada apa apa,
Akulah, Aku, yang tidak punya apa apa lagi,

Aku tidak peduli lagi,
Salah, jika mereka ingin memberikan misi ini padaku…
Aku… Aku bahkan tidak tahu lagi, Apa tujuanku hidup didunia ini…
Kemana aku harus, atau kenapa aku berdiri disini,
Apapun, Tidak ada,

Tapi mungkin saja ini juga adalah jalan pintas terbaik bagiku untuk mati.


+++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyMon Apr 23, 2012 2:03 pm

Ryo.


+++


Harusnya tadi kupatahkan kaki atau tangannya agar dia tidak bisa kemana mana! Ck!
Dan aku membiarkan saja ia melenggang keluar, bahkan sempat menyemangatinya, aku munafik juga ya, masa tidak mengaku kalau aku marah? aku menertawakan diriku sendiri. Berlagak baik disaat seperti ini, Ryo?
Aku masuk kedalam ruangan Syeikh, Mikia juga ada disana.

“Dia tidak akan kemana mana,” Hibur Syeikh kepada Mikia.

“Tapi dia sudah membuat surat pengunduran diri!” Debat Mikia. “Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi untuk menahannya.”

“Kita akan melihat,” jawab Syeikh, “Aku tidak akan membahas tentang pengunduran dirinya didalam rapat, aku akan menyimpan masalah ini sampai misi terakhirnya selesai, kita lihat apa keputusannya saat itu.”
Mikia duduk disofa panjang disudut ruangan, mencoba menenangkan diri.
menarik narik ujung rambutnya, ia juga pusing, semua orang pusing.

Apalagi aku.

“Padahal kupikir, Kupikir dia, hanya dia yang bisa memimpin Organisasi setelah kakek wafat” ia mengurut dahi, “Aku tidak habis pikir kenapa dia begitu mudah menyerah,”

Mikia menangis lagi, oh bagus,
eh kenapa aku malah marah marah sendiri sih?
Sesakit itukah aku melihat Mikia bersedih?
Ah, aku tidak terbiasa berpikir banyak, bunuh, bunuh dan bunuh,
hanya itu yang aku bisa,
Harus kuakui, Paladin butuh seseorang yang berjiwa pemimpin,
Dan laki laki dihadapanku sudah terlalu tua untuk itu,
Mikia seorang wanita, yah, bukannya aku Antipati terhadap wanita, tapi, kalian tahulah, Gentleman sepertiku selalu menempatkan para wanita sebagai sosok 'yang patut dilindungi', bukan malah sebaliknya.
Walaupun ia cucu dari Alexander sendiri, Tetap saja...

Aku mendengarnya melanjutkan,
“Dan jika aku memikirkan tempatku bergantung selain kakek, aku hanya bisa melihat bayangannya, Tidak ada yang lain, karena ada dia aku bisa percaya dan tidak berhenti berharap disaat paling mustahil sekalipun, bahwa kedamaian bukan hal yang tidak mungkin.”

Aku mengepalkan tangan mendengar kata kata Mikia,
Entah kenapa hatiku agak sakit,
Kenapa aku harus merasa sakit terhadap hal yang tidak salah?
Tapi, Aku yang saat ini, Bahkan tidak cukup kuat untuk mengalahkan takdirku sendiri…
Kenapa Ari? Orang yang dianugrahi teramat sangat kemampuan seperti itu, malah menyia nyiakannya?
Aku punya kedua tangan ini dan mereka tidak sekuat Ari.
Kenapa tidak orang tidak berguna sepertiku saja yang mengalami nasib sial?

Bayangan rambut merah dan senyum itu mengusikku entah untuk keberapa kalinya.
Ah, aku bahkan selalu lari dari masa laluku,

Kesal, Sangat marah sekali rasanya,
Dan juga sakit, saat aku mengetahui keputusan Ari.
Kami tumbuh bersama selama beberapa tahun belakangan ini,
Aku berkesempatan melihatnya berjuang, dan sekarang ia menyerah didepan mataku juga? Apa apaan ini?

“Kau tahu?” aku menyela, “Kau benar tentang satu hal,”

Mikia mengangkat wajahnya,

“Hanya dia yang bisa mewujudkannya, kedamaian…”
Aku tidak tahu darimana datangnya keyakinan ini, intinya aku masih berharap, walau kusadari bahwa aku sendiri mulai merasa muak pada Ari.


+++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyMon Apr 23, 2012 2:06 pm

Ryo (Lanjutan)


Schwechat, Niederösterreich.
Wilayah perbatasan.
Pukul 02:22 pagi.



+++


Teriakan demi teriakan membahana,
Semua anggota Paladin sedang berusaha mengevakuasi penduduk sipil yang nyaris saja terkurung di dalam kota mati ini,

Vienna telah dikosongkan, hampir dapat di pastikan tidak ada seorangpun yang tersisa di kota ini, kecuali mayat mayat hidup dan monster kelaparan yang terus berkeliaran didalamnya.
Gerbang masuk kota ditutup,

Aku tersadar diantara hiruk pikuk ini, memperhatikan sosok di dekatku,
“Ar…? Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku, agak keheranan, Rekan yang selama ini tidak pernah kulihat diam dan berpangku tangan kini terlihat lesu,
Tanpa berbuat apa apa.
Ari menatapku sesaat sebelum ia memalingkan wajahnya kembali dan menjauh dariku.
Ada apa dengannya…?

“Semua OK?!” Teriakku memastikan.

“Ryo…!” Mikia berlari menghampiriku. “Ada yang tidak beres.”
Aku menghela nafas, disaat seperti ini…
Kuikuti Mikia menuju Kamp.

“Ini,” Mikia menghamparkan selembar peta besar dihadapan wajahku.
Dengan komputer tabletnya ia menunjukkan sebuah lokasi padaku.

“Katedral besar,” Gumamku membaca denah yang diberikan mikia padaku.

“Dia ada,” Tiba tiba saja Syeikh Ibrahim masuk, dibelakangnya, Ari, dengan sangat tenang.

“Ya Tuhan…Baguslah, kau bisa,” Mikia menghembuskan nafas lega. “Ini sangat darurat, kurasa, jika bukan kalian, mustahil mengatasinya.”

Dengan keheranan aku mengerinyitkan alis, “Ada apa sebenarnya…?”
Mikia berkacak pinggang didepan kami.
Dari raut wajahnya benar benar tergambar jelas bahwa ada yang tidak bagus.

“Sekitar 20-30 orang terkurung didalam Katedral, mereka berhasil menghubungi kita disaat saat terakhir, tapi mereka tidak bisa bergerak dari sana, tanpa bantuan, Dan komunikasi terputus begitu saja,”

“Misi darurat” Syeikh Ibrahim menimpali. “Evakuasi dan selamatkan nyawa sebanyak yang kalian mampu.”

"Kemungkinan besar waktu kalian 25 menit untuk mencapai lokasi ini," Mikia memberitahu. "Tapi usahakan lebih cepat dari itu, ya?"

Aku tertawa, Wanita, Seenaknya saja, selalu begitu...

“Baiklah,Baik, kurasa aku mengerti situasinya…?” Kulirik Ari,
Yang tetap diam mematung di tempatnya tanpa komentar sedikitpun.
Ari berbalik tanpa suara.
Lalu punggungnya menghilang begitu saja.

“Ada apa dengannya?” Mikia bertanya padaku. “Ia tampak lain…”
Aku mengangkat bahu, “Entahlah, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya,”

Syeikh Ibrahim menyerahkan sebuah pedang besar ke tanganku,
Aku melongo melihat bentuk pedang besar yang kuanggap keren itu.

“Berikan pada Gabriel,” Perintahnya, “Milik Alexander yang telah di perbaiki.”

“Kau tahu kan’ kondisi kita saat ini dalam keadaan krisis, maaf hanya menugasi kalian berdua saja, kita tidak bisa mempertaruhkan nyawa prajurit kita begitu saja.” Syeikh menatapku dengan matanya yang dalam. “Kisaragi, hanya kau dan Ari Guardian Paladin yang tersisa, dengan kemampuannya paling ku percaya, jadi jaga nyawamu baik baik, Jika terjadi sesuatu atau kalian berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan untuk membawa mereka semua, kau tahu kemana harus menghubungi kami.
Mikia akan berjaga didepan komputer dan saluran telepon.”

“Aku tidak akan mati” elakku, “Dan aku paham, kalau dengan Ari atau Aku, kau tidak perlu bertaruh, pak tua.” Aku memberi penekanan pada kata ‘Bertaruh’.
“Karena kau sudah tahu hasilnya,”
Aku melihat senyuman tipis melengkung di balik janggut nya yang seputih salju itu.
“Tapi Ari akan keluar setelah ini…” Mikia mengalihkan pandangannya.
“Tidak akan,” timpalku “Aku tidak akan membiarkannya.”

Syeikh menepuk bahuku “Berdoalah.”
Aku mengangguk.

“Hati-hati dijalan,” Ucapnya lagi,

“Hei,” Tegurku, “Pak Tua,” Langkah Syeikh Ibrahim terhenti ketika mendengar panggilanku.
“Aku sudah mengikuti kata katamu, untuk hidup dengan cara yang aku mau,”
Aku agak ragu melanjutkan kata kataku, sejurus kemudian…
“Terima kasih sudah mempercayaiku sampai saat ini, Ayah…”

Mikia seperti zombie berwajah super pucat memandangi kami berdua,
Syeikh Ibrahim terbatuk keras dan meneruskan langkahnya,
Tapi aku bisa menduga duga rupa sebentuk senyum yang terukir di wajahnya saat ia pergi,

“Jangan bilang yang tadi itu…” Mikia menunjuk wajahku.

“Rahasiakan itu,” bisikku, “Selain Ari, hanya kau yang boleh tahu, Aku masuk kedalam Paladin atas usahaku sendiri, Ayahku tidak ada hubungannya dengan ini,”

“Ta…Tapi nama keluargamu…?!”

“Nama belakangku nama ibuku, dia meninggal ketika melahirkan aku,” jawabku enteng, “Ayah dan ibuku tidak direstui, tapi aku tetap lahir, aku hebat kan?”

“Kau…Kau tidak sedih karena itu?” Mikia masih mencecarku dengan pertanyaan ketika aku memilih senjata mana yang harus kubawa.

“Untuk apa?” tanyaku keheranan, “Hidup kan’ terus berjalan.” ujarku nyengir bangga.

“Kau anak yang bahagia,” Mikia menyerahkan sekotak peluru padaku. “Aku selalu bertanya tanya apa alasanmu menjadi seorang Paladin.”

Aku tersenyum, mengulurkan tangan untuk mengusap kepala gadis didepanku, “Kalau yang itu, aku belum bisa cerita,” jawabku sambil tertawa riang.
Mikia tidak bertanya lagi, walau ia tampak sangat penasaran.

“Ryo…” Panggilnya, “Kau tidak boleh mati, karena aku ingin mendengar ceritamu setelah kau kembali dari misi nanti...”
Aku tersenyum dan melambaikan tanganku, sebelum masuk kedalam truk besar yang didalamnya, Ari telah menungguku.
Yah, Kekurangan orang mendekatkan kami semua, adiknya Ari tahu betul caranya menyingkirkan musuh musuhnya,
I can't compare to him.
Tapi yang jelas, selama aku masih bisa bergerak, aku akan bertarung.
Aku tidak mau berubah menjadi menyedihkan karena kehilangan harapan..., Mungkin.

Aku menyerahkan pedang besar titipan Syeikh Ibrahim pada Ari,
Ari memandangi senjata yang kuberikan,

“Untuk apa ini?”

Astaga, dia itu bayi atau apa ya?
Kemana larinya sahabatku yang cepat tanggap itu?

Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal, Membetulkan sarung tanganku lalu mendelik kepada Ari.

“Obat anti tewas,” Beritahuku sekenanya, Mulai menghidupkan mesin mobil.

Misi telah dimulai.



+++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed Apr 25, 2012 3:35 pm

Ryo (Lanjutan)

+++



Asap tebal menutupi pandangan kami saat truk yang kukendarai melewati jalan raya dan terus melaju menuju pusat kota.
Anehnya, Suasana di dalam kota terlihat begitu sunyi, tak ada sesosok mayat hidup pun tampak berkeliaran.
Kota Vienna yang dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan terbaik didunia terlihat begitu menyedihkan.

Dan Katedral Stephansdom sendiri adalah simbol kota Vienna yang terletak dekat dengan jalan yang juga menjadi pusat perbelanjaan besar.
Harusnya dilokasi yang biasanya juga tempat berkumpulnya turis dari seluruh penjuru dunia ini kami mendapat banyak serangan, Minimal efek kejut dari makhluk makhluk horror atau apalah,
Yah, Bukannya mengharapkan ada hambatan sih,
Hanya bertanya tanya…

“Ini aneh, Apa sekarang mereka punya kemampuan baru, Mengendap endap dan bersembunyi ?” Tanyaku iseng pada Ari.
Yang ditanya diam saja.
Aku merasa seperti membawa seekor mayat hidup lagi bersama denganku.

Gereja yang kami datangi merupakan salah satu bangunan paling indah yang pernah kulihat. Arsitekturnya masih bergaya Gothik, Seluruh bangunan berwarna putih bak mutiara yang mewah.
Walau mungkin bentuknya sudah tidak terlalu mirip dengan seratus dua ratus tahun lalu,
Karena Gereja ini telah mengalami banyak perombakan dan perbaikan.
Walau begitu, Giant’s door, Sebutan bagi pintu legendaris yang memiliki seribu satu macam keindahan tersembunyi, tetap saja mempesona bagiku,
Sejak meletusnya perang antara manusia melawan Undead, Pintu ini sudah sangat diperkuat sehingga tidak ada satu celahpun terbuka.
Yah, bisa dibilang juga ini adalah benteng yang sangat kuat,
Dengan catatan kalau kau sempat kabur kesana,

Walau begitu, tetap saja indah, pikirku.
Harus diakui, Para survivor itu aman berada didalamnya,

Kami memarkir truk tepat didepan Stephansdom,
Aku melompat turun,
Agak tergesa gesa berusaha membuka gerbang depannya, menyentuh gagang pintu dan menyentakkan tanganku lagi saat kurasakan sesuatu menyengat ujung jariku.

Listrik.

“Sistem pengamannya korslet,” Keluhku. Shit! “Jangankan mengeluarkan mereka, Bahkan tidak seorangpun bisa hidup setelah menyentuh pintu ini,”

Perkecualian bagi yang punya lengan artifisial.

Perlindungan yang tidak terpatahkan, sekaligus penjara yang sangat sulit diruntuhkan.
Kenapa ya, yang indah indah terkadang mematikan?

Kulirik Ari, Astaga, Ada apa dengan temanku ini, Dia tampak santai dan tidak berminat dengan apa yang kulakukan, Kerjaannya hanya melamun dan melamun saja.

Sialan.
Dia akan mati bahkan sebelum dia sempat sadar Undead berada di belakangnya.

Kuingat ingat peta yang kubaca saat kami masih berada di kamp tadi, “Seharusnya ada sebuah pintu lagi menuju tangga menara selatan,Rasanya Mikia menunjukkan letak panel listriknya padaku… Kita harus mematikan sumber energinya dari sana,"

Susah payah aku melambatkan langkahku mengikuti langkah kakinya,
Ia berjalan sangat lambat sekali sedangkan semua pembuluh darah di otakku seakan mau pecah menunggunya,
Ia juga semakin larut dalam lamunannya, Tatapan matanya kosong, Tidak ada satupun kegairahan hidup ada disana,
Yang ia lakukan hanya membuntutiku seperti tikus,
Apa ini orang yang dahulu menjadi kapten kebanggaan Paladin?

Aku mengulurkan tanganku pada Ari yang hampir tidak melihat kearahku, Ia menggenggam tanganku dengan malas malasan.
Seperti kalau bisa ia tidak usah berada disini saja.

Kami hampir mencapai pintu masuk rumah kecil yang berdiri tepat dibawah katedral Stephansdom, Tempat yang aneh untuk sebuah rumah, tapi kenyataannya inilah jalan menuju menara setinggi 136,4 meter tersebut.

Perlahan lahan kutarik pegangan pintu, tidak terkunci,
pandanganku menyapu kesekitar, tidak ada seorangpun didalam.
Hanya bercak bercak bekas cipratan darah memenuhi dinding yang bercat putih bersih itu.
Mataku segera tertuju pada boks panel disudut ruangan.
Oh syukurlah aku tidak harus memanjat ratusan anak tangga sempit itu,

“Aku yang berjaga,” Perintahku pada, Ehm, Ari, “Matikan aliran listriknya supaya kita bisa masuk.” Rasanya canggung menyuruh nyuruh Ari.
Karena biasanya akulah yang berada pada posisi ini…
Ari melakukannya sesuai permintaanku, Ekspresi wajahnya datar.
Lelah, dan tidak perduli.
Mau bagaimana lagi? Apa dia yang sekarang bisa dipercaya untuk tugas berjaga jaga? Salah-salah kami bisa mati berdua…
Agak was was aku menungguinya didepan pintu.

Ari menghampiriku, “Aku sudah mematikan aliran listriknya…”

Aku menghela nafas lega, Mengajaknya kembali kedepan Giant’s door.
Ketika aku mendengar kelebatan suara sesuatu yang bergerak sangat cepat disekitarku,
Aku memasang telinga dengan posisi waspada,

Tidak ada apa apa…

Kuteruskan langkah kakiku, Ari masih mengikutiku dibelakang.
Aneh sekali memimpin orang yang biasanya memimpinku,

Baiklah, Kali ini aku bisa menyentuh gagang pintu dengan aman, Tapi sialnya,
“Dikunci dari dalam…” Marahku mengacak rambut.
Oke, Aku bukan orang yang sabaran seperti orang dibelakangku itu, setidaknya ketika dia masih waras,
Dia sabarnya luar biasa kayak Bunda Maria saja, hahaha
Kucoba mengetuk pintu raksasa yang diukir dengan ketelitian luar biasa itu, Sayang sekali karya seni bernilai tinggi begini mati dengan sia sia...
Tidak ada jawaban, Apa mereka semua sudah mati?
“Paladin.” Ujarku berdehem, Berharap suaraku terdengar sampai ke dalam.
Menggedor pintu raksasa itu,

Hening,

Kesal, Kutendang saja pintunya, Perbuatan sia sia, Karena aku tahu perbuatan seperti apapun tidak akan bisa menghancurkan pintu sebesar ini.
Ah, kalau di bom mungkin bisa rubuh.

“Ok, Kalian semua sudah mati.” Ejekku kesal. “Berarti aku tidak punya kepentingan apapun dan akan segera angkat kaki dari sini.”

“Mundurlah sejauh mungkin, Anak muda.”

Terdengar suara serak setengah berbisik dari balik pintu, Aku menghembuskan nafas lega.

“Orang tua, Siapapun kau, Bukakan kami pintu, Bagaimana kami bisa membawa kalian semua kalau begini? Mengangkat bangunan beserta kalian didalamnya lalu dimasukkan kedalam saku celana?” Tawaku.

Pintu didepanku masih tidak bergerak ataupun mengayun terbuka.
Aku mulai kehilangan semua kesabaranku.
“Buka pintunya!” Teriakku tidak sabar. “Brengsek, Buka!”
Kutendang tendang pintu berkali kali sehingga menimbulkan bunyi berisik yang mengganggu pendengaran.
Ari menatapku tidak berminat.
Ya, ya, aku memang tidak sabaran, lalu kenapa, hah? Tidak senang?

“Kami tidak tahu apa perbedaan kalian dari mahkluk makhluk diluar sana” Bisik suara serak itu sekali lagi.

“Astaga, Kalian tidak mempercayaiku? Mana ada undead yang bisa berbicara dengan waras seperti ini? Apa apaan kalian?”

Hening, Tidak ada jawaban.

“Percuma saja,” Ari mengeluh malas, Duduk diatas lantai dingin.“Mereka sendiri yang tidak ingin ditolong, Bagaimana kita bisa menolong mereka?”

Aku menyumpah nyumpah.
“Diam, Tolol.” Umpatku, Berkacak pinggang. Nyaris kehabisan akal.
Apa sih, Repot sekali, Makanya aku tidak pernah suka misi penyelamatan…

Bayangan berkelebat lagi disekitarku,
Aku tersentak kaget.
Secara spontan melihat kearah sekitarku, Memastikan.
Sebuah lecutan-entah-apa keluar dari dasar tanah, memukul mukul dan mengait kakiku hingga aku terjungkal.
Jatuh berdebam kesakitan, Kutahan rasa panas dan perih dikulitku yang dihempas semen kasar lalu segera bangun.

“Brengsek, Kau sudah membuat jambulku berantakan…”

Makhluk itu bersembunyi diantara pepohonan atau sudut sudut jalan yang sepi, tapi aku bisa melihat siluetnya yang ramping dan aku yakin ia ada disana.

Benda berlendir itu melecut lagi, Aku bersiap hendak menghindarinya,
Betapa terkejutnya aku saat aku menyadari bukan aku yang diincar,
Seperti tombak, Mencoba membolongi tengkorak kepala partnerku yang berdiri tidak-mau-tahu dibelakang,
Ari menutup matanya, benar benar tidak peduli,
Aku terkesiap, Secara reflek meraih belati dipinggangku dan melemparkannya,

Setidaknya sulur itu sekarang tidak bisa bergerak dengan mata pisauku membuatnya tertancap di dinding batu,

Sial, Hanya selisih sepersekian detik saja… Dan beberapa sentimeter…
Kalau tidak… Kalau tidak…

Kalau tidak Ari pasti sudah mati sekarang…

“Bedebah!” Kutarik Ari menjauh, “Kau pikir apa hah! Mau mati ya?!”

Ari membuang mukanya, membuatku semakin kesal.
Aku berpaling, Menangkap sulur itu dengan tanganku, Mencabut belatiku dan memotong, Cairan keunguan menyembur, Undead dibalik pohon berteriak marah.

Aku membiarkan Ari duduk mencangkung seperti pasien rumah sakit jiwa, Aku tidak bisa membahayakannya sekarang, Ya Tuhan, Betapa inginnya aku dari dulu menjadi lebih kuat daripada Ari,
Tapi masa begini keadaannya?
Aku tidak terima. Hah!

Undead itu maju mendekatiku, Bunyi berkerosak seram ranting ranting patah saat ia melangkah menyeret kakinya membuatku sinting.

“Ryo…”

Suara itu…
Aku menajamkan penglihatanku, Kurasa aku salah lihat…

“R’lyeh?”



+++





Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 5:22 am

Bab 15: Method of Inheritance

Ryo Kisaragi -FlashBack-


_ _ _ _



“Kenapa kau tidak ikut saja dengan ayahmu?”

“Apa yang akan kulakukan?” Aku tersenyum manis sekali, “Aku tidak ingin dianggap membantunya.”

Rambut merah berkilauan menyapu pandanganku.

R’lyeh memeluk punggungku lembut.

“Apakah takut kalau kalau Ryo tidak bisa melindungiku lagi?”

“Ya…”

Ia menggosokkan tangannya dipipiku, Tersenyum lagi, Gadis ini kelihatannya hobi sekali cengar cengir ya?

“Aku berpikir, Sepertinya menyenangkan hidup sebagai Undead ya?”

“Ha?” Aku terbatuk, “Maksudnya?”

“Aaah, Habisnya tidak usah merasa sedih, sakit, tidak usah menderita, tidak akan mati, tidak akan ada kata berpisah," Ia menekan tanganku kedadanya, agar aku ikut merasakan kepedihan yang ia rasakan.

"tidak berpikir akan terpisah darimu,”

Aku yang tadinya agak jengkel dengan kekonyolannya mendadak tertawa mendengar kalimat terakhirnya,

“Jangan konyol,” Kuacak acak rambutnya, pondok kecil kami agak bergoyang tertiup angin, “Tanpa begitupun kita tidak akan pernah bisa dipisahkan,”

R’lyeh mendekapku sambil menunggu kalimat selanjutnya.

“Aku mencintaimu, Aku akan selalu bersamamu dan melindungimu.”

--


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 5:23 am

-Ryo kisaragi-

(Lanjutan)

+++





“R’lyeh?”

Aku mengenalinya, Tidak mungkin salah…
Wanita yang 8 tahun lalu telah direnggut paksa dariku…

Yang telah gagal kulindungi.

Makhluk itu menatapiku tanpa emosi.
Dari sehelai kain tipis yang menutupi tubuhnya ia kelihatan Bak manusia porselen yang setengah dari tubuhnya dijahit jahit secara sembrono setelah dibongkar pasang dengan sangat brutal.

Bidadari kegelapan ditengah malam pekat ini.
Makhluk itu mundur.

“Kau kelihatan kacau sekali…” Komentarku.

Nada suaraku terdengar biasa saja,
tapi kakiku tidak bisa kuhentikan. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan satupun dari jari jariku untuk menembaknya.
Ia menarik diri kearah belokan jalan. Aku hendak melompat menangkapnya.

Tangan yang secara kasar memagutku dari belakang. Menarikku dan mengembalikan kesadaran ini.

“Anak muda!” Teriak seseorang padaku. “Siapapun dia, Dia bukan lagi orang yang kita semua kenal!”
Pendeta tua memegangiku serta membisikkan doa doa ketelingaku.
Aku tahu aku tidak sedang kerasukan setan, Tapi perih yang luar biasa menyengat dada ini.

Tiba tiba terdengar suara suara yang lain, Semuanya langkah kaki yang diseret seret,
Satu, dua, tiga, Ada banyak!
“Father Joseph! Cepatlah masuk!” Terdengar teriakan dari beberapa orang yang menunggu diantara celah pintu gereja yang terbuka. “Mereka sudah datang!”
“Sialan…” Aku menggertakkan gigiku, Menoleh kearah sahabatku yang sedang tolol duduk santai seakan kematian adalah hal yang paling ditunggunya didunia ini.

“Kita harus cepat masuk kedalam! Mereka akan mengepung tempat ini!”

“Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri!” Bentakku pada pendeta tua itu yang terperangah melihatku.

Terdengar suara langkah langkah lagi, Satu demi satu kepala bermunculan dari sela sela pepohonan dan bangunan di sekeliling kami.
Si pendeta tua menunggu didepan pintu, Mengisyaratkan agar aku dan Ari cepat masuk.

“Bodoh," Kuseret Ari yang malas malasan,
Mereka toh tidak akan bisa berjalan secepat it…

Kelihatannya aku terlalu percaya diri.

Seekor Zombie berlari kearahku dengan kecepatan yang membuatku ngeri.
Secara reflek aku mengarahkan moncong bowgunku kearahnya, Ia membuka mulutnya bersiap untuk melahap otakku.

Bang!

Anak panahku melesat melewati mulut mayat itu terus hingga menembus belakang kepala.
Mayat itu terjungkal kebelakang,
Aku terbelalak seakan terkena sengatan listrik yang tidak terperikan.
Kali ini tiga ekor sekaligus meloncat dan mengincarku, Sebagian lagi naik ke atas pepohonan berteriak teriak melengking, Kutembakkan anak panahku menembus kepala mereka satu persatu sambil menghindar dari terjangan demi terjangan,

Kutarik lengan Ari, berusaha semakin dekat kearah pintu,Kurasa tidak ada pilihan lain,
Zombie yang nampak seperti anak balita berusia 3-4 tahun melompat memagutiku, Kubanting ia ketanah,
Kuinjak dadanya hingga ia tidak bisa bergerak lagi, Ia menatapku dengan bola matanya yang putih semua, mendesis desis seperti ular, darah kental menetes netes dari luka gigitan disekujur tubuhnya,

“Selamat tidur,” Ucapku sebelum akhirnya membuat isi kepalanya berhamburan kemana mana.

Aku dan Ari masuk kedalam katedral, Orang orang didalam bergegas menutup kembali pintu rapat rapat.
Terdengar suara hantaman para mayat hidup yang membentur pintu.

“Bangsat!” Aku menendang pintu. “Bagaimana bisa mereka… Sejak kapan mereka bisa bergerak secepat itu?!”

“Mereka ganas”
“Mereka tidak bisa diatasi dengan sistem keamanan biasa.”
“Bagaimana ini?”

Suara suara bergema disekitarku.
“Mereka bukan Zombie biasa,” Pastor tua yang sebelumnya membukakan pintu untuk kami memberikanku dan Ari masing masing segelas air.
Ari tidak menerima suguhan hangat tersebut jadi si pendeta meletakkan gelas disamping tempat duduknya.
“Kecepatannya, selain itu mereka juga masih memiliki sedikit ingatan dari apa apa yang mereka pelajari semasa hidupnya”

Aku mengerinyitkan kening. “Mayat hidup tidak punya ingatan,”

“Itulah kenyataannya, Kalian tidak melihat apa apa sewaktu dalam perjalanan menuju kemari tadi?”

Aku menggeleng.
Pak pendeta tua menghela nafasnya.

“Virusnya,”

Untuk pertama kalinya Ari membuka mulutnya yang tidak berguna sama sekali itu, Berbicara dengan serius
“Ia mengembangkan virusnya…” Ia tertawa mengejek. “Hebat kan? Adik kandungku…”

“Kalau ingin mati bilang saja,” Komentarku, “Tidak perlu repot repot, Aku dengan senang hati mewakili Tasuku untuk melakukannya.”

“Lakukan,” Tantang Ari. Menatap tajam kearahku. “Buktikan kalau kau itu bukan Cuma sekedar pecundang yang mengekor dibelakangku!”

Aku hendak berdiri, Berharap satu dua tinju dariku bisa menyadarkannya bahwa saat ini dia itu terlihat luar biasa sangat menyebalkan sekali.

Pendeta dan beberapa lelaki setengah Baya menghentikanku, “Berhenti berkelahi,” Kata Si pendeta menengahi. “Jika ada sesuatu yang ingin diperbuat, Maka akan lebih baik kalau kita bersama sama memikirkan caranya keluar dari sini.”

Aku terdiam, Didalam hatiku membenarkan,
Kusapukan pandanganku kearah setiap sudut ruangan, dimana wanita wanita mendekap anak anak mereka, Para pria sibuk melindungi keluarga mereka…
wajah anak anak itu.
semua prihatin dan sama tidak berdayanya.
Aku tertunduk.

“Ya…” Ujarku akhirnya. “Aku harusnya memikirkan sesuatu,”

Karena entah sejak kapan Ari berubah menjadi sangat-tidak-bisa-diandalkan.


+++

Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 5:24 am

Ryo Kisaragi (Lanjutan)

+++


Setengah jam berlalu dalam kebisuan.
Hanya terdengar suara desah nafas orang orang yang kalut.
Kami terkurung disini karena sesuatu yang sangat diluar dugaan.
Bapa pendeta penuh kasih sibuk merawat orang orang yang terluka, Beberapa wanita tua membagikan roti dan air minum.
Aku memperhatikan aktifitas itu dan bersyukur tidak ada seorangpun disini yang terlihat hanya memikirkan dirinya sendiri.
Entah mengapa pemandangan ini membuat suasana hatiku menjadi damai.
Perasaan menusuk tentang R'lyeh semula mengaburkan pikiranku, tapi sekarang sudah agak tenang,
Aku menoleh pada Ari. Menyesali sikapku yang agak kasar padanya.

“Hei, Father,”

“Ya?”
Pendeta tua itu menjawab tanpa memandang kearahku, Ia mencuci tangannya kedalam baskom air hangat, lalu kembali mengobati luka luka orang lain,

“Kenapa membukakan pintu untuk kami?” Tanyaku.

Father Joseph membetulkan letak kacamatanya, Ia terduduk letih disebelahku. “Karena Undead tidak akan menyerang Undead.”

Aku terbatuk.
Lumayan punya selera humor juga ternyata…

“Aku akan menghubungi pasukan, Kami tidak bisa membawa orang sebanyak ini sekaligus,” Aku menambahkan “Kalau keadaannya seperti diluar sana…”

Terdengar gumaman gumaman bernada kekecewaan.

“Tenang,” Pak pendeta mengangkat sebelah tangannya.

Aku bersandar, Meraih alat komunikasi didalam jaketku.
Gadis kecil dengan rambut diekor kuda sewarna emas mendekatiku, Ia menyentuh lenganku yang terbuat dari baja.

“Belinda!” Tegur pak pendeta.

“Tidak apa apa,” Ujarku sambil berusaha mengutak atik alat komunikasi, Sial, Sinyalnya kecil sekali…

“Apakah sakit saat memakai itu?” Belinda kecil mengetuk ngetukkan kuku, Membuat bunyi tuk-tuk-tuk pelan pada lenganku.

“Mmm… Tidak, Awalnya pegal sih, Tapi sekarang tidak lagi.” Jawabku. Merasa –Ehem- Keren.

“Kau membunuh Undead dengan ini?”

“Keren sekali, Seperti dibuku komik!”

Dengan segera bocah bocah entah darimana mengerubungiku.
Bergantian ingin memegang lengan Artifisial ku.

“Hey anak anak, Sudahlah, Jangan ganggu dia,” Pak pendeta menepuk kepala anak anak itu satu persatu dengan penuh rasa sayang.
Aku tertawa, Masih berusaha mencari cari sinyal.

“Kelihatannya kau juga sudah kehilangan banyak hal, Ya,” Candanya, Ikut ikutan melirik dengan penuh minat kearah lenganku.

“Astaga, Jangan kau juga, Pak tua” Aku menggeleng gelengkan kepala, Merasa lucu sekali. “Aku tidak bisa menemukan sinyalnya,” Gerutuku lagi.

Ari Bangkit dari duduknya, “Mereka pasti sudah memutuskannya, Jalur komunikasi disini,” ia melihat kearah jendela,

Aku mengibaskan tangan membantahnya, “Tidak mungkin, Jalur komunikasi Paladin berbeda dengan jalur komunikasi biasa… Harusnya…”

“Ada sesuatu yang menghalangi jaringan komunikasi,” Tukas Ari acuh tak acuh.

Aku menghela nafas.
“Lalu bagaimana sekarang?” Susah sekali bicara pada orang yang tidak ada niat, Bukannya Bantu bantu berpikir dia malah menambah pusing kepalaku. Tidak ada ide, tidak ada jalan keluar, bagus sekali…
Stress rasanya.
Pemuda dengan kacamata tebal berambut abu abu mengangkat tangannya yang gemetaran.
Aku menelengkan kepala kearahnya, Mengatakan padanya bahwa aku tidak akan menggigitnya meskipun ia bicara.

“Ba…Bagaimana dengan E-mail?”

Aku berpikir sejenak. “Koneksinya saja tidak ada, Bagaimana kau bisa menyarankan aku untuk melakukan hal seperti itu?”

“Lembaga Pers Internasional, Sir,” Jawabnya,

“Tidak semudah itu, Kalau jaringan yang berada dikota ini sendiri sudah tidak bisa bekerja dengan baik maka…”

“Tidak, Jalur komunikasi disana berbeda dengan jalur komunikasi pada umumnya,”

Aku terdiam.
Untuk pertama kalinya aku menatap pemuda ini secara serius.
Ia terlihat seperti pemuda yang baru lulus sekolah menengah atas, sangat muda.
Badannya kurus membuat kemeja kerja yang ia kenakan tampak longgar, Gaya bicaranya sepotong sepotong entah karena kehabisan tenaga atau gugup.
Aku mengangguk memintanya menjelaskan dengan lebih terperinci. “Siapa namamu?”

“Johann” Jawabnya, kali ini dengan mantap. Aku kembali mengangguk angguk serius.

“Baiklah, Johann, Bagaimana kau tahu kalau jalur komunikasi disana bisa dipakai? Bisa kau beritahu aku bagaimana cara kerjanya?”

“Aku bekerja disana, ka, kami memiliki dua buah jalur yang berbeda, Jadi yang satu adalah jalur yang bisa digunakan oleh semua orang,”

“Dan yang satu lagi?”

“Yang satu lagi adalah jalur komunikasi rahasia yang hanya bisa diakses oleh orang orang tertentu yang bekerja disana,”

“Bagaimana cara mengaksesnya?”

“Dengan Password, Dan harus dari komputer yang berada didalam gedung lembaga, Setiap komputer disana memiliki nomer seri unik yang telah terdaftar,”

Aku menghela nafas.
Berpikir lagi,
Bagaimana kalau aku membawa saja para survivor ini langsung kedalam truk? Ah, Tapi apa aku bisa melakukannya sendiri? Melindungi orang sebanyak ini sendirian? Disaat Ari tidak berguna sama sekali? Dan para Zombie yang kecepatan serta kemampuannya diluar dugaanku?
Tambahan lagi mereka warga sipil yang tidak mengerti cara melindungi diri mereka sendiri…
Aku mengacak rambutku sendiri, Kebingungan.
Selama beberapa menit terdiam.
Andai saja Ari tidak datang kesini dengan niatan ingin bunuh diri…

“Baiklah, Aku akan pergi kesana, Berikan passwordnya padaku…” Putusku akhirnya,

Ari membuang muka.
“Tapi kita tidak tahu apa komputer bahkan listrik disana masih berfungsi kan? Atau apakah kita bisa Konek dari situ atau tidak?”

Pak pendeta memberikan bolpen dan Kertas kepada Johann muda,

“Berisik sekali!” Teriakku pada Ari. “Kalau kau tidak ingin pergi ya tinggal saja disini! Aku akan mencobanya sendiri!”

“Sia sia,” cemooh Ari, “Untuk apa sih kau mempertaruhkan nyawamu dengan pergi kesana? Untuk orang orang ini yang bahkan kau tidak tahu siapa? Bodoh, Ryo,”

Aku tidak bicara lagi, Tetapi menerjang Ari, Membenturkan kepalanya kedinding, Menarik kerah bajunya dan mencengkeramnya erat erat.
Mata sahabatku tidak berkedip sedikitpun, Aku tidak bisa menemukan hal lain disana kecuali kekecewaan dan keputusasaan,
Baik rasa takut maupun perlawanan tidak ia tunjukkan kepadaku.
Semua orang yang ada di ruangan mundur ketakutan melihat kami,

“Kenapa? Kau tidak ingin memukulku?” Ari berujar semanis madu, “Pantas saja kau tidak akan pernah bisa menang dariku, Ryo…”

Aku jujur dan tidak munafik, Aku sangat ingin meninjunya sekarang, Paling tidak satu dua pukulan yang mematahkan rahang bisa membungkam mulut sampahnya itu untuk sementara.

Tidak, Ryo, Tidak, Kau harus tahan emosimu, Bukan waktunya untuk ini…

Kututup mataku rapat rapat, Berusaha menenangkan diri,
Dan kelihatannya berhasil, Karena beberapa detik kemudian kusadari aku sudah mulai mengendurkan cengkeramanku, mendorong Ari hingga merosot kedinding, Membiarkannya menarik nafas dan terbatuk.

Aku berjalan menghampiri Johann, Mengambil secarik kertas ditangannya, Memandanginya sebentar, Lalu mengantonginya, “Aku tidak perlu alasan, Untuk melakukan kewajibanku,”

Aku tahu bahwa Ari mendengarkanku, tapi ia diam saja, tersungkur disudut seperti layaknya seorang pecundang.

Kembali aku melemparkan pertanyaan kepada Johann yang agak kebingungan menatapku dan Ari.

“Ini bisa digunakan komputer mana saja asalkan berada di lokasi yang tadi kau sebutkan?”

“Ya, Seharusnya begitu memasuki gedung lembaga akan ada komputer tersendiri dimeja sekuriti atau meja resepsionis, Jadi tidak usah masuk terlalu jauh sampai kedalam” Jelasnya,

“Baiklah,”

“Apakah tidak apa apa tanpa penunjuk jalan?” Father Joseph menatapku khawatir,

Aku mengerling, “Pak pendeta yang baik hati, Kalau aku bisa selamat dari ini aku mau jadi pendeta saja sepertimu, Dengan catatan kalau tidak ada gadis yang naksir aku lagi,” Tawaku.

Tentu saja aku yakin aku tidak akan tersesat, Kami Paladin memang diharuskan untuk menghafalkan setiap sudut kota diseluruh dunia,
Jaga jaga siapa tahu kami menghadapi keadaan seperti ini,
Lagipula, Bertarung sambil melindungi orang lain, Itu sangat-sangat merepotkan…

Father Joseph tersenyum lemah menanggapi candaanku, “Sebaiknya berhati hati, memang kelihatannya seperti tidak ada aktifitas apapun diluar. Tapi jangan lengah, Terutama ketika akan keluar dari Kärntnerstrasse, Jika kau menggunakan mobil, Tutup semua jendela dan jangan turun kecuali sudah sampai ditujuan…”

Aku membalas senyuman itu,
Memang sepertinya sepanjang jalan pusat perbelanjaan yang terbentang dari stephenplatz tepat didepan Alun alun katedral besar stephansdom ini terlihat sepi saat aku dan Ari tiba disini beberapa jam lalu.
Tapi tidak ada salahnya mendengarkan,
Ketika Father membukakan pintu untukku, Aku masih sempat melirik kearah Ari,
Kau yang sekarang tidak berharga untuk dihajar, Batinku.

Aku tidak boleh terlalu memikirkan Ari,.
Sekarang giliranku mempertaruhkan segalanya, Ini jalan seorang pejuang.
Semua orang ingin hidup, Begitu pula aku,

Begitu pula R’lyeh…
Susah payah sekali aku mencoba untuk tidak membayangkan apa saja yang terjadi kepadanya selama beberapa tahun belakangan ini…
Sial... kenapa orang orang terdekatku tidak pernah berhenti membuatku stress?

Pintu dibelakangku mengayun dan tertutup
Meninggalkanku diluar seorang diri dengan Beban nyawa puluhan orang lain yang saat ini kupikul dipundakku.

+++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 5:25 am

Ari

---


Ryo sungguh mudah ditebak,
Harusnya aku tadi mengikutinya, Tetapi tubuhku tidak melakukan seperti yang kuinginkan.
Kata kata penyemangat yang seharusnya kukatakan malah berubah jadi kalimat menyebalkan yang melukainya,
Aku sungguh tidak bermaksud mengacaukan tujuan hidup orang lain,
Namun setiap kali aku melihat Ryo yang seperti itu,
Dia orang yang pikirannya terlalu gampang, Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan kemungkinan yang sulit,
Dia pikir asalkan ia berusaha keras itu sudah cukup.
Mengingatkanku akan diriku yang dulu.
Dan aku dikhianati keyakinanku sendiri kan? Lihat… Hebat sekali.

Aku tidak tahan.
Hidup begini, Tanpa ada alasan yang jelas, Terus saja bertarung,,
Untuk apa?
Aku mencari cari alasannya, Sebagai manusia aku sudah gagal.
Orang lain mungkin lebih berhasil daripadaku.
Betapa menyedihkannya diriku ini.
Kupandangi langit langit katedral yang tinggi, berharap menghilang saja.

Memikirkan kenyataan, aku tidak bisa berpikir untuk hidup.
Aku takut, sangat takut.
Tidak mau mundur, juga tidak berani melangkah maju.
Seluruh ingatanku dipenuhi oleh kenyataan pahit bahwa orang orang yang selama ini kusayangi dan ingin kulindungi telah membuangku, sekaligus membunuh semua alasanku agar tetap berpijak diatas kakiku sendiri.
Aku sakit,
Dengan mengingat rasa sakit itu saja aku seperti ingin lari, berpaling selama lamanya dari kenyataan ini dan tidak pernah kembali lagi.

Seperti inikah perasaan Tasuku saat itu?
Dia membuatku merasakan hal yang sama, penderitaan yang sama, seperti yang pernah ia rasakan dengan baik sekali.
Tidak ingin mati, Juga tidak ingin hidup.

Tanganku gemetar.
Bahkan siapapun tidak bisa menghibur ataupun menyembuhkan luka yang fatal ini.
Keputusasaan dan semuanya…
Kupandangi kepergian rekanku dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.
Aku meringkuk disudut merasakan kesepian teramat dalam.

+++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 5:26 am

Ryo Kisaragi


+++


Kudorong mayat seorang wanita yang tertelungkup didepan meja kerjanya hingga terjerembab di lantai.
Masa bodohlah, dibilang tidak menghormati yang sudah meninggal juga, peduli amat, aku butuh tempat duduk.
Tanganku gemetar ketika aku dengan panik mengetikkan huruf demi huruf kata sandi yang menjadi satu satunya tumpuan harapanku saat ini,
Sambil menunggu koneksinya tersambung, aku terdiam memandangi layar komputer dihadapanku.
Lumayan lama, disini sungguhan buruk, sekaligus memberiku cukup waktu untuk melamun.
Memikirkan pemandangan yang kulihat saat berada didalam perjalanan menuju kesini tadi,

‘Jangan keluar dari mobil.’
Aku teringat pesan bapak pastor tua yang menasehatiku, aku mengikutinya tanpa tahu apa apa,
Tapi setelah masuk jauh ke pusat kota, semuanya jelas sudah bagiku.

Mayat mayat itu bergerak.
Melakukan aktifitasnya seperti mereka belum mati saja,
Polisi lalu lintas dengan seragam tercabik cabik masih terus berusaha mengatur lalu lintas yang tidak ada seorangpun yang lewat,
Ibu dan anak bergandengan tangan, wajah keduanya dipenuhi darah.
Orang orang sibuk berlalu lalang dijalanan,

Tentu saja semuanya mayat.

Seorang suster berjalan ringkih lewat didepan mobilku, Aku menahan nafas.
Aku sendirian, Kalau ketahuan, Habislah sudah…
Ia mendorong kursi roda berisi anggota tubuh manusia tanpa tangan kaki, dan kepala,
Hidup, dan berdenyut.
Lalu dibelakangnya muncul dua tiga mayat lain dengan pakaian kerja lapangan.
Masing masing membawa troli, Kulihat sesuatu merah lunak bercampur aduk didalam troli itu yang demi kebaikan perutku sendiri, kucoba untuk tidak memikirkannya.

Aku terdiam memperhatikan,
Tubuh mereka penuh luka, Tetapi tidak ada satupun tanda tanda pembusukan seperti melelehnya daging yang melengket, atau apa,
Mereka tetap seperti mayat baru yang sekeras batu,
Normalnya mayat mayat itu tidak akan bertahan lebih dari beberapa jam, Virusnya akan menggerogoti tubuh mereka dan mempercepat proses pembusukan hingga tiga kali lebih cepat daripada pembusukan normal, Walaupun mereka bisa terus bergerak menggunakan tubuh yang seperti itu.
Aku ingat mayat mayat hidup yang kuhadapi bersama Ari selama ini,
Minimal mereka semua setengah busuk,
Mudah dihancurkan.
Aku mengingat ingat zombie yang tadi kuhabisi didepan Katedral Stephansdom,
Astaga, Keras.
Aku bisa mendengarkan panah bajaku melesak dengan suara berisik menembus tulang tulang mereka,
Tidak seperti mayat rapuh biasanya yang tangan bahkan kepalanya akan terlepas dengan mudah kalau kau tarik, Tidak akan menimbulkan suara kecuali desis halus jika senjatamu menembus daging mereka.

Yang ini lebih seperti makhluk hidup.

Mereka semua bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti,
Kadang kedengaran seperti geraman geraman, ceracauan tidak jelas.
Yah, Aku Paladin, ini memalukan sekali aku merasa takut.
Ari mengatakan rasa takut adalah naluri alami manusia untuk bertahan hidup.
Tapi bagiku, Yah, Rasa takut, adalah aib.
Kurasa sebagai gentleman aku akan menyimpannya sendiri, tidak akan pernah menceritakannya kepada siapapun.
Mau tidak mau hati kecilku membenarkan,
Aku yang tidak pernah melihat pemandangan ganjil seram ini merasakan bulu kudukku meremang.

Mayat mayat itu menyebrangi jalan dengan tertatih tatih,
Salah satu mayat menoleh melihat kaca mobilku,
Aku berdoa entah pada apa semoga ia tidak menyadari keberadaanku,
Wajahnya yang berlepotan darah segar celinguk celinguk bodoh di kaca depan mobilku.
Aku menahan nafas, Tidak berani bergerak satu senti pun.

‘Teman temannya’ memanggilnya dengan suara berisik seperti burung,
Makhluk itu menjauh, memberikanku satu tarikan nafas sebelum stress berat ini memutuskan saluran pernafasanku.
Akhirnya aku bisa menjalankan trukku dengan perlahan.

Dan begitulah bagaimana aku bisa sampai kesini,
Ada beberapa hal yang kumengerti, Mayat jenis baru ini tidak buta,
Mereka bisa mengingat mimik muka, ekspresi, bicara pada sesamanya, geraknya cepat, bahkan kebiasaan kebiasaan kecil atau apa saja yang mereka kerjakan mereka semasa hidup.
Yang tidak berubah hanyalah mereka tampaknya masih membaui dengan hidung, Dan penciuman mereka tidak sebagus jenis lama,
Mungkin mereka sekarang lebih mirip ikan hiu daripada serigala, sebagai predator mereka cenderung menyerang hanya pada sesuatu yang mencolok mata,
Insting mereka tidak lebih kuat walau kecepatannya mengerikan.
Bisa lari, melompat, Mengejarmu,
Aku menggelengkan kepala tidak habis pikir.

Mereka memiliki rasa kebersamaan yang kuat.
Mereka tersenyum satu sama lain.
Dan mereka abadi? Hahaha…
Kelihatan seperti tujuan asli Stats The Origin ketika ia mengumandangkan bualannya tentang masyarakat yang ia idam idamkan bertahun tahun lalu.

God, Kira kira masyarakat macam apa yang akan di ciptakan dari dan oleh para Undead?
Kelompok bahagia yang kalau lapar memakan daging mentah teman temannya sendiri bergiliran?
Psycho.
Ini membuatku gila.

Lalu, Potongan potongan tubuh itu, Alih alih untuk dimakan, untuk apa mereka membawanya?
Kelihatannya ada semacam task yang harus diselesaikan dengan itu,
Yang aku tidak tahu entah apa.

Dan aku harus menemukan jawabannya.

Bip!

Saluran komunikasi tersambung,

Tergesa gesa aku mengetik kata sandi messenger ku, Mengirimkan Email kepada Mikia yang mungkin saja saat ini sedang bersiaga didepan komputernya, Menanti berita dariku yang bisa datang kapan saja.

Berpikir soal Mikia,
Terpikir kembali soal R’lyeh, padahal apa kaitannya?
Aku kadang kadang tidak nyambung.kalau soal perempuan, yeah… perempuan…
Aku mengangguk angguk setuju pada pemikiranku sendiri.
Tapi kenapa?

Mataku mencari cari disepanjang jalan tadi, tidak nampak tanda tanda keberadaan R’lyeh.
Kutekan dahiku dengan gerakan mengurut urut.
Kemana dia? Dan bagaimana bisa dia berakhir dengan… dengan bentuk Chimera menyedihkan seperti itu?

Lamunanku berakhir saat pintu otomatis tepat didepan meja tempatku duduk terbuka.
Aku mengangkat muka, menatap lurus kedepan.

Pada saat bersamaan, Dibelakangku terdengar desis halus air liur yang menetes dari mulut mayat karyawati yang tadi kusingkirkan kebelakang meja.

Aku tertawa sedih,
Ingatan orang mati yang tersisa dari R’lyeh pastilah mencari cariku, wajahnya yang berlumur darah tampak bahagia sekali.

Gerakan sesuatu dibelakangku melesat cepat.
Aku terlalu sibuk bertatapan dengan R’lyeh sehingga tidak menyadarinya,

Komputer mengeluarkan bunyi Bip sekali lagi.




Message sent.


++++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 5:27 am

Mikia.

Perbatasan Schwechat,

+++


Hampir dua jam aku menunggui kalau kalau ada berita yang datang,
kelihatannya akulah yang terlalu paranoid.
Duduk memeluk lutut diatas kursi, berdoa, aktifitas apa saja yang bisa kulakukan agar hatiku tenang,
Kenapa perasaanku sangat tidak enak?
Kupegang erat liontin pemberian kakek dileherku, bermaksud menyamankan diri sendiri.

Tes!

Aku terkejut, Kalungku putus begitu saja, Liontin yang diberikan kakek jatuh diatas lututku,
Dengan perasaan tidak menentu aku memungutnya.
Jari jariku bergetar.

Ryo?

Aku menatap cemas pada layar komputerku.
Tidak ada berita apa apa, mereka juga belum kembali,
Aku seperti ingin menangis, bodoh sekali, padahal ini bukan pertama kalinya Ryo dan Ari pergi menjalankan tugasnya kan?

Air mataku menggenang sendiri.
Aku sempat kebingungan bagaimana cara menghentikannya.
Perasaanku...
Perasaanku sangat tidak enak...
Hanya Ryo. Ryo, Dan Ryo saja yang ada di kepalaku.

“Nona Mikia!”
Aku mendengar seseorang memanggilku, tersentak dari kebisuanku, Seruan itu datang lagi, kali ini dengan lebih memohon.
Aku keluar dari tenda, “Ada apa James?” tanyaku,
Ternyata orang yang memanggilku adalah salah seorang prajurit yang kukenali bernama Viktor James yang setelah menghormat kepadaku, segera melaporkan bahwa telah terjadi hal tidak diinginkan.

“Serangan sudah sampai diperbatasan, Syeikh Ibrahim, Tuan Caesar, sedang berada dalam pertempuran, Beliau mengirimkan pesan bahwa bantuan nona Mikia sangat diperlukan saat ini,”

Jadi Vlad sudah bersama Syeikh dan Caesar? Aku mengangguk angguk,
Mencengkeram ujung Coat hitamku sendiri, gelisah
Tapi bagaimana seandainya berita dari Ryo datang?

Ah, mungkin aku yang agak paranoid, benar, mana mungkin Ryo butuh bantuan, ya kan?
Benar kan?
Benar, Mikia, Tidak ada yang perlu dicemaskan,
Ryo kuat.
Percayalah padanya.

Percaya padanya? Memangnya aku ini siapanya Ryo?
Aku cuma rekan kerjanya saja!
Gumamku lagi pada diriku sendiri, Akulah yang terlalu… ya, terlalu banyak berpikir, Mungkin.
Segera kusimpan liontinku, mengantonginya supaya tidak hilang,
Lalu bergegas meninggalkan meja komputer setelah menatap selama beberapa detik.

+++



Lima menit setelah kepergian Mikia. Bunyi pertanda pesan masuk terdengar dari komputernya.



++


Terakhir diubah oleh DeathMaster tanggal Mon Aug 05, 2013 5:58 am, total 1 kali diubah
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 4:38 pm

Ryo kisaragi,
Flashback :


“Sudah berapa kali kukatakan, kami tidak butuh perlindungan Paladin!” Tuan Selenu berteriak keras pada pegawai pemerintahan yang terus terusan mengelap keringat di dahinya.

“Tapi, Sir,” Bantah Frederick Bellamy setengah menyatakan ketidak setujuannya dan setengah lagi takut takut,
Bellamy kurus jangkung, selalu berpakaian perlente. dahinya licin dan kulit wajahnya mengkilat karena minyak, saat ini ia bekerja di kantor pemerintah sebagai seorang ahli keuangan ,
Ia sangat dekat dengan tuanku seperti keluarga sendiri.
“Saat ini saja invasi besar besaran sudah mengambil alih kota kota besar, Bukan tidak mungkin suatu saat mereka akan sampai kesini dan…”

“Ah, omong kosong, mana mungkin Stast the origin berminat sama kota kecil seperti ini, dia orang sinting yang memiliki tujuan tersendiri macam pemberontakan terhadap pemerintahan, kota kita tidak akan dilihatnya.”

“Sir! Perlindungan untuk keluarga anda saat ini prioritas utama!”

“Octavia,” Tegas Selenu berang, “Aman disini.”
“Kami disini memiliki persenjataan yang cukup untuk diri kami sendiri, kalau hanya untuk melindungi diri kami sendiri, kami bisa.” Ia terlihat marah sekali saat disinggung mengenai putri semata wayangnya.
Dengan penuh keyakinan ia melihat kearahku, yang saat itu tengah duduk diteras sambil meminyaki senapan.
Aku tersenyum kecil padanya seperti bintang iklan pasta gigi.

“Dia Kisaragi, Bodyguard kami dengan kemampuan sebaik siapapun prajurit Paladin yang kalian sewa, aku mempercayakan nyawa puteriku padanya, jadi hentikan bualan ini dan cepatlah pergi dari sini, sekarang juga,”

Fred Bellamy kembali mengelap keringatnya, mendengus,
kentara sekali kalau ia tidak puas, “Octavia membutuhkan lebih dari sekedar anak muda tidak berpengalaman!”

Ah, aku langsung membuang muka, bukannya aku tersinggung, tapi setelah ini pasti mereka masih akan melanjutkan kembali adu argumen itu dengan suara nyaring-nyaring.
Belakangan ini selalu seperti itu, aku tahu dengan sekali lihat saja, bahwa Bellamy, yang umurnya mungkin hanya setahun dua tahun diatasku amat sangat menyukai Miss Octavia R’lyeh Selenu, puteri Edgar Jacob Selenu, sang tuan tanah pemilik perkebunan terbesar di Buford ini. Sekaligus orang yang sekarang berada dibawah perlindunganku.

Dia bahkan menyukainya lebih dari sekedar kawan masa kecil, kalau boleh kuartikan.
Itulah alasan kenapa Bellamy begitu ngotot ingin melindungi R’lyeh,
Sayangnya dia tidak bisa melakukannya sendirian.

“Ryo!”

Aku mencari cari asal suara yang memanggilku .
Kepala R’lyeh muncul dari samping rumah, melambai padaku, menyuruhku mendekat, aku meletakan senapanku, penasaran.
Mengikutinya ketempat dimana mata Selenu dan Bellamy tidak bisa mengikuti kami lagi.
R’lyeh terus berjalan cepat cepat tanpa mempedulikanku, geraknya ringan seperti terbang, ia terus saja masuk kedalam tepian hutan yang berada tepat di belakang rumahnya, sebelum akhirnya menyetop langkah kakinya, duduk diantara dedaunan kering,

“Ini,” katanya menunjukkan padaku. “Anak burung, sepertinya terjatuh dari sarangnya,” Ia meletakkan bayi burung pipit diatas pangkuannya, membelai belainya hati hati.

Aku memandang kesekitar “Kita harus mengembalikannya ke pohonnya kalau begitu,”

Wajah cantik R’lyeh memberengut,
Berbeda dengan ayahnya yang berwajah kasar, R’lyeh memiliki paras wajah lembut, rambutnya merah terurai, disekitar pipinya ada bintik bintik merah muda, khas gadis desa.

“Princess,” Bujukku, “Kita tidak bisa memeliharanya dirumah, ayahmu akan sangat marah kalau dia tahu ada binatang selucu apapun berbagi rumah dengannya,”

Masih tidak dihiraukan, aku beringsut mendekatinya,
“Hewan itu, ditakdirkan hidup bebas,” nasehatku, “Apa gunanya melindunginya kalau ternyata kita hanya merenggut hak hidupnya?”

Berhasil, R’lyeh menatapku, kelihatannya tertarik, aku melanjutkan khotbahku,
“Lebih baik mati sebagai jiwa yang bebas, daripada harus mati sebagai tawanan didalam sangkar emas, benar?”

R’lyeh memikirkannya sebentar, aku mengulurkan tangan, menunggunya, akhirnya ia menyetujui dan meletakkan anak burung itu ditelapak tanganku, aku menghadiahinya senyuman termanis seraya menepuk nepuk kepalanya, “Anak baik.” Pujiku. “Pohon yang mana?”
R’lyeh menunjuk dahan pohon pinus yang tidak terlalu tinggi dibelakangku, aku mendongak ke langit, sarang burung disalah satu dahannya tertangkap mataku.

“Mantap,” Komentarku.

R’lyeh dengan riang menepuk nepuk bahuku, ia senang sekali tahu ia merepotkanku,

“Kau juga ya,” katanya, saat aku sudah sampai diatas sana.

“Hah?”

“Menganggapku anak kecil,”

Aku bisa melihat tangan mungilnya memainkan rumput kering, menggerutu dan mengeluh.

“Ayahmu menyuruhku melindungimu,” jawabku lelah, duduk sebentar pada dahan yang besar itu. Capek juga setelah memanjat keatas,

“Ayah Cuma peduli dengan bisnisnya,” Keluh R’lyeh, “Makanya dia tidak mau pemerintah ikut campur dalam melindunginya, pun begitu, usaha pabrik dan pertanian ayah adalah denyut nadi kota kecil ini, hampir semua warga kota ini bekerja pada ayah, karena itu kecemasan Bellamy beralasan, kurasa,”
Aku menggaruk kepala mendengar kata kata R’lyeh.

“Tapi setidaknya ayahmu kan peduli padamu, Dia juga memikirkanmu, itulah arti keberadaanku saat ini, kan? Atau kau tidak puas dengan kinerja ku? Mau diganti saja?” Iseng-iseng aku menanyainya.

R’lyeh kelihatan sangat terkejut dengan kata kataku, aku sendiri tidak menyangka efeknya akan seperti ini, padahal aku cuma ceplas ceplos.

“Tidak!” ia membantah tegas,

Akupun bisa merasakan bahwa senyum di wajahku menghilang sudah.
Digantikan rasa panas yang luar biasa pada pipiku,
R’lyeh tampaknya menyadari dan salah tingkah juga, terbukti dengan ia yang sesegera mungkin mengalihkan pembicaraan.

“Apa enak duduk diatas sana?” ia bertanya,

“Bisa masuk angin,” jawabku, berpegang pada dahan dahan dengan tangan kiriku, menangkap lalu bergantung pada dahan lain yang lebih rendah, setelah selesai memperagakan sedikit akrobat kemudian dengan lincah melompat turun, “Suatu saat nanti kalau kau sudah bertambah tinggi kau akan kuajak naik kesini, Mau?”
R’lyeh menatapku penuh kekaguman.

“Mau, Tapi Ryo, harusnya kau jadi Paladin saja,” tukasnya memuji, “Manusia biasa tidak mungkin bisa melakukannya,”

“Ngomong ngomong,” aku ikut ikutan mengalihkan pembicaraan, “Kurasa Bellamy naksir kau,”

R’lyeh meninju bahuku, yang tertawa terbahak bahak.
Bukan rahasia umum lagi kurasa, para pegawai Selenu yang lain menggosipkannya, R’lyeh selalu berpura pura tidak tahu,

“Ia hanya teman!”

“Ya, ya,” Komentarku santai, aku menikmati saat saat menggodanya seperti ini,

“Lagipula aku…”

Aku terhenti, “Kau apa?” tanyaku penasaran,

R’lyeh menundukkan kepalanya dalam dalam, “Ada orang lain yang kusukai, tahu,”

Bingo!

“Oh ya?” Aku pura pura tidak tahu, “Siapa? Fred Bellamy juga?”

R’lyeh mengambil segenggam daun kering di tanah, melemparkannya padaku yang menghindar dengan gesit,

“Meleset, Baby, sekarang coba ceritakan padaku tentang perasaan cintamu pada Bellamy…”

R’lyeh semakin marah.
Aku tertawa lepas, membiarkannya berlari mengejarku, mencoba melempariku dengan daun lagi.
Kami berlari lari di sepanjang jalan pulang kerumah.


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 4:41 pm

Flashback (Lanjutan)

+++++



“Kematian itu takdir tetap semua makhluk hidup,” Hiburku, ketika pada hari berikutnya R’lyeh menemukan anak anak burungnya mati.

“Ini salahmu!” R'lyeh menangis. “Jika saja Ryo setuju untuk membawa mereka pulang kerumah!” Ia mengcongkel congkel tanah, membuat kuburan sambil marah marah.
Aku menghela nafas.

“Kalaupun aku setuju, Princess, Ayahmu tidak akan mungkin setuju,”

“Kau bukan ayahku!” Ia membentakku lagi,

Kami berdua sama sama terdiam, aku menunduk,
bagaimana rasanya dibilang seperti itu oleh anak perempuan 16 tahun yang…
yang benar benar membuatmu tertarik?

“Benar, Nona Octavia,” ujarku sekalian, entah karena dorongan apa. “Dan sekarang sudah larut, sudah waktunya anda kembali kerumah, saya akan mengantar anda.”

R’lyeh menabrakku begitu saja saat ia berlari sedetik berikutnya, ia pulang sendiri tanpa menungguiku,
Lalu R’lyeh tidak mendengarkanku, juga tidak mau bicara,
Bersikap seolah aku tidak ada.
Keadaan seperti ini tidak berubah hingga beberapa waktu lamanya.



+++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 4:43 pm

Flashback (Lanjutan) :

+++



Aku berjalan ditengah tengah pepohonan rimbun, mencari cari sesuatu,
Tanganku menyentuh pohon pinus raksasa, menengadah keatasnya.

“Disitu kau rupanya, kucing kecil.”

R’lyeh tersenyum kecut dari atas. “Bagaimana kau bisa menemukanku?”

“Seorang ksatria harus tahu dimana menemukan tuan puterinya sendiri, bukan?”
Aku duduk bersandar dibawah. “Sekarang turunlah, kau tidak tahu kalau orang rumah mencemaskanmu?”

R’lyeh membuang muka enggan.

“Hei…” Tegurnya.

“Hn?”

“Aku mau minta maaf…” Bisiknya dari atas sana, pelan, nyaris tidak terdengar. “Aku sudah seenaknya menyalahkanmu padahal kau sudah berusaha melakukan yang terbaik buatku…,”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Kenapa Ryo tidak menjadi Paladin saja?”

Mulai lagi, Ia selalu berusaha mengorek keterangan yang sama sekali tidak ingin kuungkit ungkit.
Aku menggaruk kepala, agak bingung bagaimana menjawabnya.

“Kau tahu, sebenarnya aku selalu ingin tahu tentangmu, aku selalu penasaran,”

“Dan tidak bisakah rasa penasaranmu itu kau simpan saja sendiri?”

R’lyeh menggeleng,

“Tidak, Kau yang bilang kalau kata kata tuan puteri adalah mutlak.”

Ck, Wanita…
Sambil duduk dan menyender dibawah pohon, aku mendengarnya berkicau lagi.

“Aku selalu bingung, semua orang ingin menjadi Paladin, mereka juga ingin berjuang, tapi tidakkah kau berpikir, kalau sebenarnya Paladin juga bukan… maksudku… mungkin saja mereka tidak sewaras kelihatannya,”

“Ha?” Aku ternganga, “Apa sih yang kau bicarakan?”

R’lyeh menatap lurus pada matahari terbenam, “Mereka tidak takut pada hal hal yang membuat kita takut…”

Aku terdiam, “Tidak takut… pada hal hal yang seharusnya membuat kita takut?” Ujarku membetulkan.

“Ya,”

“Hmmm… Contohnya apa? Undead?” Tawaku berderai.

“Jangan tertawa!” R’lyeh menjatuhkan ranting kekepalaku.
Aku mengusap dahiku dan kembali berusaha memasang tampang serius kendati rasanya geli sekali mendengar ia bicara.
“Kau tidak takut pada Undead?” Tanya R’lyeh hati hati.

“Tidak.”

Hening beberapa saat.

“Pernah membunuh Undead?”

“Oh, Ayolah R’lyeh, makhluk ini bahkan tidak hidup, yang hidup itu Virusnya, jadi jangan gunakan kata ‘Membunuh’ seperti aku sudah pernah melakukannya pada orang hidup…”

“Jadi kau pernah?”

Aku menganguk.
Dia itu bodoh atau apa sih? Bagaimana mungkin ayahnya mempekerjakanku kalau aku tidak bisa mengatasi mayat-mayat hidup bau Bangkai itu…?

“Berapa banyak?”

“Entahlah, aku tidak menghitungnya…”

R’lyeh terdiam, berusaha keras memikirkan pertanyaan selanjutnya, “Umm… Tidak pernah bermimpi buruk setelah membantai Undead? Maksudku… Dari luar bagaimanapun mereka tetap kelihatan seperti manusia… kau tahu…”

“Tidak pernah.”

“Nah kan…, Kurasa kau cocok kalau masuk Paladin…, Paladin juga pasti begitu… Perlu sisi Psikopat setidaknya, supaya bisa dilatih menjadi mesin pembunuh, menghadapi musuh berwujud para manusia itu sendiri… ”

“Psikopat huh…, turunlah sekarang,” Bujukku memotong kalimatnya, sebenarnya aku agak salah tingkah dengan semua pertanyaan tadi,
“Kalau tidak aku akan menunggumu disini sampai subuh, kita kemping di hutan, tidak buruk juga idemu, aku hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan nyamuknya,”

Di atas, R’lyeh terkikik geli khas anak gadis.

“Masalahnya…” Ia tersenyum penuh arti, “A… aku tidak tahu caranya turun…”
Bahkan didalam keremangan senja aku bisa melihat kedua pipinya bersemu merah sekali.
Aku tidak dapat menyalahkan diriku jika tidak bisa tidak terpesona karenanya.

“Kemari, aku akan menyambutmu disini, loncat saja, tidak apa apa,”

“Tapi…”

“Percaya saja padaku, ayolah, tidak apa apa,”

Tapi aku belum bersiap, R’lyeh sudah terlebih dahulu melompat,
Aku gelagapan menyambutnya,

Ia jatuh begitu saja menimpa tubuhku.

“Aduh!” Keluhnya, “Kau empuk Ryo!”

Dibawahnya aku mendelik kesal, Apa apaan reaksi itu... “Aku-belum-memberimu-aba-aba-untuk-turun, Princess…”

“Oh? Belum yah?” Tawanya berhenti saat ia memandang wajahku lekat lekat, aku tidak bisa menghentikan diriku melakukan hal yang sama.

“Aku terlalu tampan yah?” Godaku dengan wajah tetap serius.
R’lyeh tersadar dan memukuli dadaku,

“Ryo!” Tegurnya parau.

Tapi kurasakan ia tidak sedikitpun beralih dari posisi kami sekarang, aku juga tidak berniat melakukannya, malah, ia menyusupkan kepalanya kedalam pelukanku.

“Aku akan katakan satu saja rahasiaku padamu,” Susah payah aku menarik nafas, aku cukup tahu kelemahan ini, bahwa seseorang yang tidak bisa bernafas dengan benar saat berdekatan dengan orang yang mereka cintai.
R’lyeh tidak menjawab melainkan mendengarkan,
Aku tahu alih alih suaraku, ia malah sedang mendengarkan degup jantungku yang seperti berlomba dengan waktu.

“Ayahku bekerja untuk Paladin…”

R’lyeh kelihatan tidak terkejut, yang dilakukannya hanya mencengkeram baju bagian dadaku kuat kuat,
“Aku tidak yakin apa posisinya disana, aku hanya bertemu dengannya dua tiga kali… aku tidak terlalu mengenalnya juga… tidak tahu banyak tentang dia…”

“Jadi dari sanalah bakatmu berasal…” Bisiknya, aku bisa merasakan nafasnya dileherku, agak geli.

“Aku tidak tahu, Princess,” Aku tersenyum menutup mata.

R’lyeh mengangkat wajahnya, “Terima kasih sudah memberitahuku…,” Katanya lembut, “Sebagai gantinya, aku akan memberitahumu mimpiku,”

Kusingkirkan helaian rambut merah yang menutupi pemandangan indah gadis Belia dihadapanku,

“Kalau bisa memilih dilahirkan sebagai apa, aku ingin menjadi hutan…”

“Hutan?” Tidak tertawanya aku kurasa sudah cukup membuktikan betapa aku menghormati setiap kata yang diucapkannya saat ini,
Kupandangi bola matanya, gerakan bibirnya ketika ia bicara, nafas halusnya,
Tidak ada satupun lelucon, semuanya diucapkan dengan serius, tulus,
Khas dia.

“Iya, karena tidak akan kesepian kalau menjadi hutan… dan…”

Dan, R’lyeh sudah tidak bisa melanjutkan apa apa yang ingin disampaikannya lagi.
Karena aku sekarang telah menautkan bibirku ke bibirnya.

+++



End of flashback
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 4:45 pm

Ryo kisaragi


+++


Tidak menutup mata sama sekali, kubiarkan sulur sulur dan tentakel itu melecut.

Menghabisi zombie dibelakangku.
Aku merasa aku sudah sadar sepenuhnya akan apa yang ia lakukan.
Entah bagaimana.

“Ada apa?” seruku seraya maju mendekatinya, “Kenapa tidak membunuhku?”

Bola bola mata R’lyeh melebar, Beradu pandang dengan mataku.
“Hidup sebagai Undead…” Ia bicara padaku sepotong sepotong, susah payah, “Lebih baik…”

Aku tidak percaya apa yang baru saja kudengar, Chimera bicara padaku!
R’lyeh mundur, lari.

“R’lyeh!” Teriakku.
Cepat cepat aku menyusulnya keluar dari gedung perkantoran tersebut,
Ada sesuatu yang menyerangku,
Aku melompat kearah dua ekor Monster dihadapanku, lebih cepat dari gerakan mereka, mencabut pistol dipinggangku,
Menembak tepat didahi mereka.
Terburu buru menaiki trukku sebelum makhluk yang lain mulai berdatangan dan melaju dengan kecepatan tinggi, Berkeliling mencari keberadaan seseorang.
Mikia pasti sudah menerima pesanku, mereka akan menyelamatkan Ari dan yang lain.

Sekarang waktunya aku membereskan urusanku.

+++

Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 4:48 pm

Ari.

St. Stephen's Cathedral, Vienna



+++


Suara keras terdengar dari luar pintu, mendengarnya sekilas saja aku bisa tahu kalau ada yang sedang mencoba memaksa masuk kedalam.
Orang orang mundur kebelakang, berusaha membuat jarak sejauh mungkin dari Giant’s door.

“Tidak apa apa, Tidak apa apa,” Father Joseph menenangkan, “Pintu dan jendela jendela itu sudah dibuat khusus untuk keadaan seperti ini, pasti akan bertahan sampai pasukan Paladin datang menjemput kita semua,”

Gadis kecil yang tadi dipanggil ‘Belinda’ bertanya khawatir,

“Father, mereka akan segera datang kan…?”

“Tentu,” Pastor itu membungkuk, tangan keriputnya membelai kepala si bocah, “Kakak yang tadi sudah berjanji akan menyelamatkan kita, dia tidak akan membiarkan kita menunggunya terlalu lama,” suaranya terdengar jelas meskipun itu hanya berupa bisikan.

“Dia tidak akan datang,” Cemoohku. “Jangan jangan dia malah sudah mati,”
Aku kesal sekali, kesal pada orang sebodoh Ryo, yang menyia nyiakan hidupnya demi dunia yang tidak berharga ini.
Menyelamatkan dunia yang sudah rusak ini?
Sungguh mimpi buruk dari seorang idiot paling tolol.

Father Joseph dan semua mata berpaling menatapku yang langsung membuang muka.

“Anakku…” Tegurnya, “Kau tidak percaya pada rekanmu sendiri?”

Kukepalkan tanganku mendengar kata katanya.

“Nak, kelihatannya kau sudah mengalami begitu banyak hal yang tidak menyenangkan,” hiburnya.
“Kalau ada sesuatu yang mau kau ceritakan agar hatimu bisa sedikit lebih lapang…”

“Jangan bersikap seolah kalian peduli!” Teriakku yang tidak tahan.
Rasa sakitku semakin menjadi jadi.
Didalam ingatanku terus berputar putar ingatan pada detik detik gugurnya Alexander, Tangis rekanku, Mikia,
Dan yang paling membekas didalam memoriku adalah,
Kepergian Tasuku, membawa Daina bersamanya…

Sakitnya tidak terperikan, semua alasan keberadaanku direnggut begitu saja,
Aku seperti sampah, orang gagal yang hanya berdiri tanpa memiliki kebanggaan lagi.
Ironisnya semuanya justru dilakukan oleh alasan itu sendiri!

Tasuku, Tasukulah alasanku berdiri sampai saat ini,
Karena Tasuku aku berjuang hingga titik darah penghabisan.

Tapi semua perjuanganku, jerih payahku mencari kekuatan untuk melindunginya dan Daina…

Aku gagal bukan?
Betapa menyedihkannya hidup seperti ini…

“Berjuang? apa gunanya sekarang? setelah alasanmu untuk hidup direnggut justru oleh seseorang yang menjadi alasan itu sendiri?!“
Aku mengacak acak rambutku sendiri, gelisah sambil tetap duduk memeluk lutut.
“Kalian semua cuma orang asing.” Aku menambahkan,

Ya, Tasuku,
Kepada siapa jiwa dan raga ini kuserahkan…
Adikku, tumpuan harapanku selama ini…

Father melihatku, membuatku merasa seperti binatang liar yang meraung menyedihkan, dikasihani orang lain…

Pastor itu membuka mulutnya setelah diam sesaat, menghampiriku, duduk disebelahku,
“Kau ingin tahu dimana salahnya?”

Aku diam saja, sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Salahnya, bukan ‘Tasuku’ inilah alasanmu hidup selama ini,”

Aku tersentak.

“Apa maksudmu, Pak tua?!”

“Tetapi Ambisi dan dendam,” Lanjutnya semakin berani.
“Tasuku, hanyalah keberadaan yang sengaja kau ciptakan sebagai tamengmu selama ini, tempatmu bersembunyi dari masa lalu yang selama ini selalu mengejarmu!”

Aku menatap dengan mata mengancam, tapi pancaran sinar mata orang tua ini tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut padaku.
Aku teringat mata Ryo tadi... Dalam hati aku takut...
Aku takut dilihat sampai kedalam diriku...

“Lanjutkan kata katamu, dan aku akan…”

“Bukan kau yang sudah gagal, tapi Tasuku!”

Aku mendesaknya hingga terpelanting, beberapa wanita mundur sambil berteriak.
Father mengangkat tangan kirinya, menghentikan beberapa pria tinggi besar yang membuat gerakan seperti mau memisahkan kami.
tubuhnya yang lain nyaris mati rasa dalam tindihanku yang bersiap dalam posisi akan mencekiknya sampai mati.

“Lihat, Kau marah saat ini, nak? Marah kenapa? Tersinggung karena kata kata orang tua ini melecehkan orang yang bagaimanapun masih sangat berarti bagimu?” tantangnya berani.
“Tasuku-mu yang gagal sebagai tameng…,” ia masih susah payah bicara,

Aku... apa?

“Andai saja tasuku... bisa memenuhi ambisimu dengan tetap melakukan semuanya dijalur yang sudah kau tentukan, tetap seperti keinginanmu... tentu saja hasilnya akan lain, karena Tasuku gagal sebagai tameng, kau sekarang sampai pada titik terburukmu, tidak bisa lagi bersembunyi dari apa yang selama ini kau takuti yaitu berhadapan langsung dengan dendam masa lalumu, lalu kau mulai menyalahkan segalanya…”

Tanganku mulai melemah.
Tidak!
Itu tidak benar!
Banyak yang sudah kukorbankan, banyak penderitaan yang sudah kujalani, hingga rasanya tidak ada seorangpun yang mampu mengerti rasa sakit ini...


“Lepaskan Father!” Belinda dan teman temannya memukul mukul punggung dan lenganku,

“…Berharap Tasuku tidak pernah ada, berharap dunia tidak pernah ada, berharap dirimu sendiri tidak pernah ada, ingin ikut menghilang bersamanya!”

Aku... Aku ini...
Lalu... Lalu selama ini apa yang...


Beberapa orang membantu Father duduk, sementara aku masih agak linglung mendengar kata katanya.

Terbayang lagi ingatan ingatan lain.
Kematian orang tuaku, Hari hariku bersama Tasuku, perasaanku yang tidak terbalas pada Daina…

Hari kematian orang tuaku…
Hari dimana aku kehilangan mereka…

“Apa ayah dan ibu bisa pergi kesurga?”

“Kau selalu dibebani oleh perasaan itu,
Betapa sakitnya kehilangan sesuatu yang berharga,
Selalu berharap semua ini hanya mimpi,
Mimpi buruk yang ketika kau bangun, akan hilang dan terlupakan.
Lalu ketika kau Bangun dan menyadari kalau semua ini nyata, kau segera mendendam kepada takdir, sambil berusaha mengubah kenyataan.”
Suara Father masih bergema ditelingaku…

“Tidak Tasuku, tidak akan ada surga sebelum semua kengerian ini berakhir…”

Kita akan membuat surga…


Selama ini…
Pada saat aku nyaris kalah didalam suatu pertarungan…
Ingatan akan dendam masa lalu lah yang selalu memberikanku kekuatan tak terhingga…
Yang membuatku tak terkalahkan… hidup. Sampai saat ini…
Dendam… ambisi… dendam… ambisi…

Pada akhirnya selalu…
Nama Tasuku dan janji masa kecil kami yang muncul…

Kita akan membuat surga…

Lututku lemas, kakiku seperti tidak bisa lagi menopang tubuhku.
Aku jatuh bersimpuh, nafasku tidak beraturan.

“Jadi, Selama ini…” Tenggorokanku tercekat, “Hidupku sia sia? Semua… semua tidak ada artinya kan…”

“Anakku,”
Kurasakan tangan tua Father membelai rambutku lembut, ia sedang –lagi lagi- duduk didekatku.
“Tidak ada satu manusiapun yang terlahir gagal dan hidupnya sia sia, Apapun yang kau lakukan, itu tidak sia sia, kalaupun ada sesuatu yang sia sia, itu hanyalah waktumu…” Aku mendengarnya terkekeh. “Masih belum terlambat untuk memulainya lagi…”

Aku menutup mataku kuat kuat.
Yang mana yang harus kuambil…? Keyakinan orang tua yang bicara sembarangan tentang diriku seolah ia mengenalku, orang asing yang sama sekali tidak kuketahui ini,
Ataukah keyakinanku sendiri? Bahwa hidup seperti ini sudah tidak ada artinya sama sekali?
Disaat saat terakhir, Keinginan yang tiba tiba saja melesak dasyhat memenuhi celah celah hatiku adalah kegairahan akan sesuatu yang sama sekali tidak kusangka masih ada padaku…
Aku… aku…

Aku ingin hidup…

Ingin hidup…

Tapi aku tidak yakin hidup macam apa yang bisa kujalani dalam keadaan seperti ini…

Belum selesai aku memutuskan,
Suara menggelegar dan sesuatu yang luar biasa menghantam pintu raksasa Giant’s door.
Menghancurkannya berkeping keping,
Teriakan histeris bercampur jerit kepanikan dan ketakutan bercampur aduk jadi satu terdengar dimana mana.

Aku menengadah.
Monster itu bertubuh raksasa, dipunggungnya banyak sekali tangan manusia yang dijahit jahit, jumlahnya mungkin puluhan…
Ia meninju dinding dinding stephansdom yang mulai rapuh karena serangan tadi, memperluas jalan baginya agar bisa masuk.
Air liur menetes dari wajah jelek berhidung pesek itu, yang memperlihatkan gigi memerah karena darah.

“Aryanov Gabriel!” Gelegarnya menyebutkan namaku,

Kelihatannya aku telah menjadi targetnya yang sudah ditetapkan.


+++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyWed May 09, 2012 4:50 pm

-Ryo kisaragi-



+++




Zombie berambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya menempel tepat dikaca mobil disebelahku, memperlihatkan wajah seramnya, ia mengetuk ngetuk dan terus terusan mengatakan hal yang sama seperti R’lyeh katakan.

‘Hidup sebagai Undead lebih baik.’

Menggelikan.

Aku terus saja mengebut dalam kecepatan tinggi, mataku nanar menatapi jalan jalan kosong, berdoa semoga aku bisa menemukan R’lyeh diantara mereka,
Kubanting stirku berharap undead yang menempel dan mengganggu pemandanganku ini enyah.
Setelah beberapa lama akhirnya usahaku membuahkan hasil juga.
Aku berhasil menjatuhkannya kejalanan beraspal,
Sesaat aku merasa lega, perasaan lega sementara, sesaat kemudian kusadari sekitar 30-an sosok berantakan berlarian mengejarku dibelakang,

“Shit…!”

Sambil terus menghindari Undead bersayap yang membentur bentur kaca depan,
Trukku terbanting keras, menabrak begitu saja, aku tidak peduli,

Terkepung.

Kuraih Senjata tepat di jok sebelahku yang kosong,
“Baiklah, kalau itu mau kalian…”
Ketika pintu mobil menjeblak terbuka, sudah ada undead yang menyambutku duluan.
Melompat kearahku siap menerkam,
Aku agak kaget,

Cepatnya!

Detik itu juga dia terjengkang kebelakang dengan kepala hancur.
Tubuhnya kejang kejang karena aliran listrik mematikan dari submachine gun ku menyambarnya.
Membuatnya lumpuh seketika.

Secepat kilat aku melompat memanjat, naik keatas truk,
Undead yang lainnya mengerubungiku, menyerang dari segala arah.
Aku merunduk dan memutar tubuhku 360 derajat sambil menembakkan sinar laser, memisah-misahkan tubuh mayat mayat didepanku hingga tak bersisa,
Kuangkat tanganku keatas, pedang mencuat dari lengan artifisialku, menusuk ghoul yang mencoba menyerangku dari atas.
Tidak perduli percikan darahnya menetes netes mengotori wajah, aku melemparkannya kebawah.

Sesaat seperti hujan darah, aku bergulat dengan mereka sementara yang lainnya terus menerus datang dan datang.

Aku menikmati ini, merasakan serpihan Undead ditanganku jauh lebih memuaskanku daripada pengalaman ejakulasi paling hebat sekalipun...

Bukan rahasia umum kan’ bahwa didalam tubuh Paladin masing masing Guardiannya memiliki sisi Psycho mereka tersendiri,
R'lyeh pernah mengatakannya, ya...
Dulu sekali, Aku selalu mencoba tidak memikirkan tentang ini,
tapi sekarang sudah tidak bisa lagi, mau tidak mau aku harus mengakuinya,
Begitulah aku tahu betul kegilaan ini menagihku.
Maniak mengenaskan tidak ubahnya mesin tempur milik Paladin.
Aku menyukai pekerjaanku sekarang.

Apa rasanya saat berada dimedan pertempuran?

Seperti sedang bersetubuh dengan cinta sejatimu.

Tidak bisa kulukiskan kenikmatan ketika aku bertukar posisi dengan monster dan menunjukkan siapa pemangsa sebenarnya.
Karena inilah Ari selalu menyebutku gegabah kelebihan tenaga sia sia yang bertarung tidak pakai otak, Dumbass.
Tapi kenyataannya aku lebih berguna kalau dikeroyok, Atau lebih suka dikeroyok? Haha,
Tipe berbeda dengan Ari yang ahli pada pertarungan satu-lawan-satu.
Aku tertawa kecil sambil menahan serangan, melemparkan Submachine-gun ku yang sudah kehabisan energi, merobek bahu Zombie dengan pisau sampai kebagian pinggangnya.
Berlari dan menusuk perut dua ekor sekaligus, langsung menarik pisauku keatas, melakukan sayatan berantakan di dada, lalu leher, kepala,
Aku memutar mutar pisau ditanganku ketika mereka berjatuhan, tersenyum bangga.

Hal seperti ini terus berlanjut beberapa belas menit kemudian hingga kejadian mengejutkan menghentikan pertarunganku.

Ayolah, aku masih belum yakin apa aku puas…

Suara seperti bunyi terompet yang ditiup kasar membuat telingaku ikut berdengung, aku berdiri tegak diatas truk, memastikan tidak ada Undead yang merayap naik keatas lagi,
Tapi tidak ada yang menyerangku.
Mereka bahkan tidak menatap kearahku, seakan aku ini tidak ada.
Mereka hanya melihat kesatu arah, aku mengikuti arah mata mereka tapi tidak ada apapun yang terlihat kecuali jalanan kosong,
Lalu mereka berbondong bondong meninggalkanku sendirian,
Berjalan menuju arah yang kutahu adalah jalan menuju taman kota di distrik pertama Vienna, Stadtpark.

Mereka berkumpul?

“Hidup sebagai undead… lebih baik…”

Lagi lagi aku mendengar bisikan konyol mereka yang seakan memberitahuku.

Zombie zombie itu tidak lagi mempedulikanku, mereka bahkan menginjak injak begitu saja potongan tubuh jenis mereka, tidak terpengaruh oleh darah yang berceceran.
Aku menoleh keheranan ke kiri dan kananku, semua bertingkah sama anehnya.
Apa yang mereka datangi?
Oh , Tidak… Jangan bilang, satu satunya cara untuk tahu…

Yeah, Ternyata memang harus masuk kedalam kerumunan Zombie…

Aku menyumpah nyumpah dalam hati, meloncat turun dari atap truk, tetap waspada. Menyelinap diantara masyarakat aneh itu,
Semakin lama, semakin banyak saja yang bergabung, pada awalnya hanya dua puluh-tiga puluh ekor, sekarang kelihatannya hampir seluruh isi kota yang terinfeksi tumpah kesini,
Kupercepat langkahku, menyusup nyusup,
Bertahan agar tidak terganggu bau mayat dan darah menyengat saat aku menyelusup gesit diantara orang-orang mati ini,
Tapi aku tidak merasakan bahaya sama sekali, lalu kulihat semakin dekat dengan tujuannya, para Undead ini…
Aku memperhatikan sekelilingku, yang sekarang bising akan bahasa bahasa yang masih tetap tidak kumengerti sama sekali.
Aku terdiam,

Mereka semua saling berpegangan tangan, berduyun duyun.

Ini gila, Zombie?! Berpegangan tangan?!

Aku menguatkan langkahku menatap lurus kedepan, Dihadapanku ternyata sudah berdiri banyak sekali tenda tenda berwarna biru bergaris putih,
Mereka, Mayat mayat itu menari dan tertawa, bicara dalam bahasa kacau mereka.
Anak anak mereka yang sudah dipastikan tidak akan pernah tumbuh dewasa masing masing menggenggam balon berbentuk hati ditangan mereka.
Bendera berwarna warni menggantung disana sini,
Stadtpark seperti sedang ada karnaval dadakan…

Aku berputar putar, Bukannya menikmati ‘karnaval’ aku malah merasa sinting sekali.
Semuanya kelihatan senang kendatipun wajah maupun pakaian mereka bersimbah darah pekat...
Apa ini? Pesta Horror? Terlalu awal untuk Halloween...
Stast... Tasuku...
Inikah yang mereka rencanakan? Masyarakat idaman mereka?
Tiba tiba saja aku merasa mual,
Apalagi saat aku menyaksikan pemandangan yang kulihat berikutnya,

R’lyeh.
Gaun tidur birunya hanya berupa carikan carikan kain berlumut,
Walau aku masih mengenali kilau kemerahan Ruby itu dari rambutnya…
Aku hanya melihatnya dari samping, kelihatan memegangi sesuatu entah apa, ia sedang berbicara dengan Zombie lelaki tua –kedua bola matanya hancur- yang sedang membagi bagikan balon.

Pemandangan mencekam itu berlanjut saat R’lyeh bertemu mata denganku.
Ia kelihatan bergairah.
Ia membalikkan badannya,
Isi perutku kembali bergolak melihat benda apa yang tengah dipegang olehnya,
Itu seperti… Kepala orang dewasa berambut panjang, mereka menjahitnya pada tubuh kanak kanak, yang jelas benda apapun itu, kepala dan tubuhnya tidak sesuai,

“Ryo…”

Oh bagus, kelihatannya virus jenis baru berhasil mempertahankan sebagian ingatan yang katanya “Tidak akan dilupakan meskipun ajal menjemput,”.
Ternyata namaku yang paling diingat kekasihku yang sudah menjadi Undead.
Manis sekali, So sweet,

Yang benar saja, Goblok.

Seorang wanita menabrakku, aku terhuyung, Zombie itu memegang bungkusan, tidak hanya sempat terlihat, mahkluk yang semula berada didalam gulungan selimut tipis itu bahkan melompat menerkamku.

Aku menghindar hingga terguling,
Sempat menembakkan anak panahku kearah bayi setan yang menyerangku barusan.
Bayi itu berkelojot sesaat dilantai, darah menggenang, tapi tidak terjadi apapun setelah itu,
Sementara sosok sosok disekitarku bersikap seolah tidak terjadi apapun dan sibuk menikmati jalannya 'Karnaval'.

Ibu dari ‘Bayi’ itu memungut benda tergeletak bersimbah darah dikakiku, menggendongnya dengan sayang, Aku sedikit merasa bersalah sekaligus marah pada diriku sendiri yang tidak waspada.
Kembali menatap kearah dimana R’lyeh berada.

Ia sudah tidak ada disana.

Aku berputar mencari cari, urusan ini harus diselesaikan saat ini juga…
Saat itu kulihat kepala R’lyeh terselip diantara kerumunan.
Aku mengikutinya, ikut menyelip nyelip diantara kerumunan, ia berjalan setengah berdendang seperti kebiasaannya 'Semasa hidup', tapi dengan cara aneh dan itu membuatku jengah.

“Kau mau berduaan saja denganku, ya?” Ucapku asal saja setelah kami agak cukup jauh dari karnaval setan tadi.
Kami berhenti didepan gedung tua yang sepertinya sudah tidak terurus,
Ada banyak sekali mayat bergelimpangan dijalan.
Menambah seram bangunan keabu abuan berdebu itu.

R’lyeh menghampiri mayat seorang wanita ditengah jalan.
Mulai mencabuti kukunya.
Aku mendengarnya bicara, ya, bicara.

“Aku… senang bertemu dengan… Ryo…”
Ia mengeluarkan jarum dan benang, menempelkan kuku kuku itu ketangannya sendiri, mulai menjahitkan mereka.

Aku geleng geleng kepala menyaksikan aktifitas itu dari belakang.
“Gadis yang keras kepala seperti biasanya, ya?”

Perasaan Ari ketika Tasuku begini? Jangan Tanya aku.
Pantas saja Ari stress.

Karena aku juga sedang stress sekarang.

Tidak sampai lima menit kemudian ia selesai menjahit. “Aku terlihat… lebih cantik sekarang…?”

“Sangat menawan…” tawaku putus asa, bisa merasakan getar aneh dalam suaraku.

R’lyeh menatapku senang, aku tahu itu bukan dia… itu bukan dia lagi, tapi…
Tatapan itu, wajah itu, semuanya sama…
Lalu ia menyuarakan harapannya.
“Sekarang kita… bisa… bersama sama lagi… kan?” Ucapnya terputus putus.

“R’lyeh…” Potongku mendekatinya, “Aku akan menolongmu…”

“Aku akan membebaskanmu dari penderitaan ini… Aku bersumpah aku akan…”

Dan ia tidak menjawab, melainkan berdiri tegak.

“Kita bersama selamanya kan’…?” Pertanyaannya diulang seperti dialog opera yang dihafalkan,
Aku hanya bisa terperangah menyaksikan tubuhnya perlahan berubah didepan mataku.
Kedua betis ramping itu membesar dan menyatu, menancap ketanah seperti berakar.
Benar saja, tubuhnya bermutasi dengan cepat,
Sekarang ia kelihatan seperti… seperti…
Pohon raksasa.

"Aku ingin menjadi hutan..."

Itu visualisasinya,
Itulah bentuk paling mendekati keinginan sejati yang bisa dipikirkan R’lyeh sebagai Chimera…

Walau bukannya hutan... Yang kulihat sekarang hanya sebatang pohon besar, ada banyak sekali wajah manusia disana,
Aneh... Aneh sekali...

Aku tahu ini bodoh,
Pada saat kau tahu orang yang kau sayangi telah berubah menjadi apa yang seharusnya kau perangi, kau akan tahu bahwa tidak ada satu detikpun didalam hidupmu yang lebih menderita daripada saat ini.
Mencoba memanggil namanya dan hal tersebut sia sia.

Mayat mayat disekitarnya mendadak kering.
R’lyeh nampak semakin besar saja.
Dahan dahan itu menyemburkan darah seperti orang muntah kekenyangan,
Entah karena kebanyakan mengambil sari kehidupan dari mereka yang sudah mati,
Udara disekitarku mendadak berat sekali.

R’lyeh meraung.

Sulur sulur kayu memukul mukul, Secara reflek aku menggunakan lenganku untuk menangkis.

Ia telah bermetamorfosis dengan sempurna.


+++


To Be Continued
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyThu May 30, 2013 5:28 pm

Ryo. (Lanjutan)


Harus kuakui aku terkesan dengan perubahannya.
Aku mengerti betul kalau ini memang ia, bentuk itu memvisualisasikan sesuatu yang paling diingatnya.
Dengan terkagum kagum aku membiarkan aliran dedaunan berwarna merah darah berputar disekelilingku.

Angin berhembus menambah seram pemandangan disekitar, ada banyak tumpukan mayat disekelilingku, satu persatu tubuh mati yang belum sempat bangkit lagi itu menyusut perlahan.
Aku mengerutkan kening menatap pemandangan dihadapanku.
Pohon besar itu semakin membesar dan meninggi, akarnya tidak terlihat berada dibawah tanah tetapi ia mengeluarkan banyak sulur yang–tidak salah lagi- memang sedang menyedot darah mayat mayat disekitarnya,
Seperti jarum suntik mematikan yang bahkan mencabik hingga kedaging.

Aku melompat saat sulur mematikan hendak mematuk kepalaku.
Dalam sekejap saja bertebaran mayat mayat kering dimana mana.
Sambil tetap waspada kusaksikan transformasi horror ini hingga selesai.
R’lyeh sepertinya kekenyangan meminum darah karena cairan kental berwarna merah menetes netes dari pori pori kulit kayunya.

“Sudah selesai makan?” Tegurku.
Lecutan yang kejam nyaris saja mengakhiri riwayatku kalau saja aku tidak merunduk untuk menghindar.

Aku menggigit belati dimulutku dan melompat, tinggi sekali.
Bersalto diudara, Ketika serangan itu datang, aku menembakan panah panahku dan membuat sulur sulur itu tertancap kuat diatas jalanan semen yang kokoh, menggelepar gelepar tidak berdaya.
Tangan kananku yang memegang pistol menembaki benda berlendir yang berhasil lolos,
Lalu merasakan salah satu dari sulur sulur itu membelit leherku saat aku jatuh.
Aku menjatuhkan belati dimulutku agar tangan kiriku yang terbuat dari logam bisa meraihnya dengan mudah, Memotong benda aneh yang membelit leherku sampai aku sempat merasakan sesak nafas,
tidak memberikannya kesempatan untuk menikmati secuilpun dari dagingku.
R’lyeh terlihat marah sekali, suara raungan memekakkan telinga terdengar makin keras.

Aku bersalto sekali lagi dan mendarat dengan sempurna diatas tanah yang berasap karena pijakanku yang terlalu keras.
Aku menatapnya dengan tatapan hampa saat aku menodongkan senjataku kearahnya.

Aku menang.
Dia hanya Undead biasa, Bahkan bukan Vampir… Bukan tandingan prajurit kelas atas Paladin sepertiku… Tapi, tapi…

Ia kekasihku…

Sesuatu yang hangat mengalir diantara kedua mataku.
Aku menangis.


+++

Aku selalu bertanya tanya apakah Ari juga menangis saat orang orang yang disayanginya terpaksa menjadi musuhnya karena takdir yang jelek ini.
Ia tidak pernah mau memperlihatkan wajahnya kepada siapapun pada saat ia kesusahan,

Itulah Ari, ia tidak pernah menyusahkan orang lain.
Tapi hari ini, aku yakin, waktu itu ia menangis.

Karena aku juga menangis.

Aku tidak bisa menyalahkannya mengapa ia kehilangan gairah hidupnya.
Aku menyesal mengatainya pengecut.
Karena kenyataannya aku juga,

Aku juga merasakan ketakutan itu.

+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyThu May 30, 2013 5:29 pm

Flashback :

Ketakutan,
Kau tidak akan pernah tahu apa artinya, Kecuali jika kau menghadapi kemungkinan akan hilangnya sosok sosok yang paling kau sayangi didunia ini.

“R’lyeh! Lari!”
Aku ingat saat itu aku berteriak.
Lebih keras daripada apa yang bisa kuteriakkan,
Kami terkurung didalam kobaran api saat kami berusaha menyelamatkan diri, Bersama dengan mayat mayat hidup,

“Ryo!” Ia menggenggam tanganku erat sekali, Gemetar dan ketakutan, Menyebutkan namaku berkali kali.
Aku menjaganya agar tetap dibelakangku,
Menembaki sosok sosok terbalut api yang bisa menerkam kapan saja walaupun gerakan mereka lambat.
Mereka tidak mempedulikan lidah api menjilat jilat tubuh mereka.

Aku tahu aku tidak bisa menyuruh R’lyeh melarikan diri sendirian.
Dia hanya akan dimangsa diluar sana.
Dan gudang tua tempat kami bersembunyi saat ini… Tidak akan bertahan hingga fajar menyingsing.
Bahkan sekarang tampaknya sedang ada masalah dengan arus listrik, menyebabkan seluruh bagian kota kecil ini tenggelam dalam lautan api.
Invansi terparah.

Pertanyaanku, mengapa?
Bukankah seharusnya ada sistem keamanan yang cukup untuk menjaga dari serangan Undead?

Aku menembak Zombie terdekat denganku, R'lyeh berteriak histeris, merasakan tarikan dirambutnya,
Ia meraih sekop, sebelum aku sempat menolongna, memukulkannya secara sembarangan kearah si mayat hidup dan sukses memenggal kepalanya.

"Wow..." Aku berdecak kagum.

"Aku sudah bilang padamu aku bisa melindungi diriku sendiri, kan," Jawabnya senang karena telah membuatku bangga.
Namun sekejap saja, perasaan senang itu memudar, akupun tidak menyadarinya karena terjadi sedemikian cepat.

Seekor Ghoul melompat kearah R'lyeh, membuatnya terjengkang dan sekop ditangannya terlempar.

"Sial!" Aku memaki sambil mencoba menembakkan shotgun ditanganku.
Tidak, mana mungkin aku bisa menembak jika dalam posisi begini? R'lyeh bisa kena juga!

R'lyeh mati matian menahan agar Ghoul itu tidak mencabik lehernya, "Ryo...! Sekopnya!" Teriaknya.

Aku berlari memungut benda terkutuk itu, yeah, kenapa terlemparnya harus sejauh ini sih...?

Aku menarik Ghoul itu, mencoba menjauhkannya dari R'lyeh,
Tidak bisa, terlalu berat, Kupukulkan sekop itu secara membabi buta kearah kepalanya,

"Muridku... memang hebat..." Desah R'lyeh saat akhirnya aku berhasil menyingkirkan bangkai makhluk penghisap darah itu dari atas tubuhnya.

Aku menghela nafas, begitupun, R'lyeh tidak bisa menyembunyikan shock yang melanda dirinya saat tahu bajunya basah akan cairan merah kehitaman kental yang berbau memuakkan itu, Darah Undead.

Tidak bisa begini...
Harus ada, seorang, Setidaknya, seseorang, untuk menjaganya, sementara aku bertarung disini.

"Kau tidak boleh disini...." Lirihku.

"Apa...?" Tanya R'lyeh, masih tidak bisa mencerna ucapanku.

Kemudian terdengar suara seseorang berteriak, aku menoleh kebelakang, menyaksikan Bellamy dan beberapa orang anak buahnya menerobos masuk, mereka membawa senapan.
“Berikan dia padaku,” Pintanya.

“Tidak! Aku disini saja, Aku mau bersama Ryo!”

“Ayolah, Kau tidak boleh egois,”

“Tidak mau! Aku akan selalu bersama Ryo, Apapun yang terjadi,” Ia memeluk punggungku.
Aku menepiskan pegangannya.

“Pergi,” Perintahku.
R’lyeh tampak tidak percaya dengan apa yg kuucapkan.

“Ryo…” Ucapnya memohon, dengan mata berkaca kaca, “Ryo… Apa yang kau ucapkan itu… Kau berjanji kan… Akan membawaku bersamamu… kau berjanji...”

“Realistislah,” Aku menyentuh kedua pipinya, “Harus ada yang tinggal untuk menahan mereka sekaligus membuka jalan, dan aku yang memiliki kemungkinan untuk selamat paling tinggi diantara semuanya,”

“Tidak mau!” R’lyeh menggeleng kuat kuat, “Kenapa harus kau?!”

Aku berhenti menatap matanya, “Bawa dia.”

Lalu suara suara yang terdengar berikutnya hanyalah teriakan teriakan melengking R’lyeh yang meminta agar anak buah Bellamy melepaskannya.

“Aku akan menahan mereka selama yg aku mampu, Kau tolong jaga dia…” Aku bersikap seolah tidak mendengar, berkata demikian pada Bellamy.
Lelaki itu mengangguk tanpa suara.

Apa yang terjadi setelah itu?
Dan mengapa bisa terjadi?
Aku tidak tahu, aku tidak tahu apapun, satu satunya yang kusadari adalah… Kebodohanku.

Karena itulah kali terakhir aku melihat R’lyeh…


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyThu May 30, 2013 5:30 pm

Ryo (Lanjutan)

Aku menangkis serangan demi serangan yang ia berikan.
Terus berusaha memperkecil jarak diantara kami,
R’lyeh meraung mengerikan, Aku tidak peduli, Kutangkap ranting terakhir, Mencegahnya melukai wajahku.

Tanpa kuduga dari sulur yang berhasil kuhentikan gerakannya beberapa saat yang lalu kini tumbuh sebuah cabang, sulur kedua yang dalam beberapa detik saja sudah membesar dan melecut sama seperti yang lain.
Ia bergerak dengan cepat membelit tanganku, aku terkejut luar biasa dan spontan menutup wajahku dengan tangan, melindungi bagian vital seperti penglihatan dan kepala.
Mengira ia akan menusuk kepalaku dengan ujung sulurnya yang seperti alat bor itu.

Tetapi ternyata ia malah menarikku kearahnya dengan tenaga luar biasa, tidak hanya itu, ia juga menancapkan akar akarnya sedalam mungkin dibawah tanah agar aku tidak bisa balas menariknya.
Tidak akan kubiarkan…
Sebelah tanganku yang bebas menarik pisau lain yang lebih besar dari pinggangku, baiklah… Aku tahu kau kangen padaku, tariklah semaumu, begitu aku sudah dekat sekali denganmu, saat itulah aku akan…

Detik itu pula ia menarikku sekaligus kearahnya, aku membentur tubuh kayunya yang keras itu.
Aku mengangkat tanganku mencoba menusuknya,

“Ryo…”
Gerakannya mendadak terhenti pada saat kami sudah dekat sekali.
Aku menatap mata yang semuanya berwarna hitam itu, membeku dalam sekejap, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menghentikanku.

Seperti angin tornado, sesuatu menyapu pandangan mataku.
membawaku pergi.

++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyThu May 30, 2013 5:34 pm

Ryo (Lanjutan)

“Biarkan aku kembali...!”

Api… api berkobar dimana mana…

Ini...Dimana?

“Jangan gila!” Suara Bellamy terdengar bergaung ditelingaku. “Apa yang kau tunggu diam saja disini? Mau mati? Ayahmu tidak ada lagi sekarang ikutlah denganku!”

“Tidak mau!”

R’lyeh?
Aku berkata, memanggil manggil orang orang ini, yang anehnya, meskipun mereka berada dihadapanku, mereka seakan tidak menyadari keberadaanku.
Sudut pandangku bergerak gerak seakan aku diterbangkan kemanapun mereka pergi, begitu dekat, sangat nyata...
Aku mencoba menyentuh R'lyeh... tetapi tanganku tidak bisa menjangkaunya, seperti angin.

Membeku ditempat, kupandangi tanganku,
Ini apa? Aku dimana?

Lalu aku melihatnya, R’lyeh menampar Bellamy dengan sangat keras.
Lelaki jangkung itu nampak sangat terkejut dengan tindakan R’lyeh.
Ia memegangi pipinya, tak hanya itu, wajahnya juga terlihat sangat marah.

“Ayahmu menitipkanmu padaku untuk menjagamu,” Ia berbisik tajam, “Sekarang kau harus ikut denganku, kau paham?”

“Jangan memerintahku!” Teriak R’lyeh, “Aku tidak akan menuruti kata kata siapapun!”

Kutajamkan penglihatanku, mencoba untuk percaya, ini bukan mimpi, kan...?
Kembali ke beberapa tahun lalu...
Saat aku... Ya, benar,
Aku tersenyum pahit.
Saat aku meninggalkan R'lyeh...

Bellamy tertawa, membuang muka. “Ternyata memang dia, ya…”
Terlihat olehku R’lyeh mengerinyitkan alisnya tanda tak mengerti. “Apa…?” tanyanya.

“Si bocah pesuruh ayahmu…”

R’lyeh diam.

“Benar, bukan…?” Desaknya.

“Jangan…” R’lyeh berbisik serak. “Jangan sebut dia pesuruh…!”

Sebagian atap gudang rubuh, meninggalkan jejak api yang berkobar,
Malam itu sangat gelap, tetapi cahaya yang berasal dari kobaran panas tersebut seakan mampu menerangi segalanya.
Bahkan pertanyaan pertanyaan yang selama ini tak terjawab dibenakku.

“Boss, Sudahlah, kita tinggalkan saja dia,” Anak buah Bellamy menyarankan dengan hati hati,

R’lyeh berbalik kearah berlawanan, “Aku akan kembali pada Ryo, anak buahmu benar, lebih baik kau tinggalkan aku disini demi keselamatanmu sendiri,”

Lalu berikutnya yang kudengar hanyalah suara letusan senjata.

Dan anak buah Bellamy yang berguguran satu persatu dengan lubang pada kepala mereka.
R’lyeh tertegun.

“Kau benar… tentang apa…?”

Bellamy mendekat kearah R’lyeh, yang mulai mundur menjauhinya.

“Kau… jangan… mendekat…” R’lyeh memperingatkan.

“Aku menginginkanmu… kau tahu…? Aku sangat menginginkanmu melebihi apapun, bahkan sejak kita masih kanak kanak…” suara Bellamy berubah mengerikan, “kau tahu! Kau benar! Kau sangat mengetahuinya melebihi siapapun…!” Ia berseru, bertepuk tangan seperti orang gila, “Tapi tebak apa yang kemudian terjadi?”

“Kumohon…” R’lyeh masih mundur, menjaga jarak dari lelaki dihadapannya, “Kau kuanggap kakakku sejak kecil… aku…”

R’lyeh hendak berlari, tetapi Bellamy lebih cepat, ia menarik gadisku dan menghempaskannya keras sekali kearah dinding.
“Bajingan itu datang dan merebutmu dari jangkauanku!” Teriakan Bellamy menggaung kencang.
“Kau milikku! Selamanya akan menjadi milikku, sekarang ikutlah denganku atau aku akan membunuhmu!” Ia melingkarkan tangannya pada leher R’lyeh, mencoba memperlihatkan bahwa ia bisa mencekik dan membunuhnya kapanpun ia mau.

R’lyeh menggeleng kuat.

“Yah… benar… seperti ayahmu,”

Apa apaan ini? Apa yang kulihat sekarang?
Apa ini kejadian saat sepeninggalku…?

R’lyeh terbelalak tidak mengerti, yang keluar dari mulutnya hanya suara seperti terceguk, ia nampak seperti melihat hantu sekarang, dengan lelaki dihadapannya memberitahunya kenyataan yang sama sekali tidak pernah ia sangka sebelumnya.

“Hebat bukan…?” Bellamy tertawa, “Stast The Origin memberiku jalan untuk memilikimu… menukarnya dengan seluruh penduduk kota kecil ini…”

Gila… ini benar benar sinting…

“Atau lebih tepatnya akulah yang mencari dan menemuinya…? Ayolah Octavia… berilah aku selamat…” Ia memainkan pistolnya didekat rambut R’lyeh, “Berkat kepintaranku, sekarang aku bisa mencicipi sedikit perasaan menjadi Tuhan…” Ia tersenyum lagi, “Hidupmu berada ditanganku, aku sekarang bisa memutuskan kau akan mati, atau kau akan hidup… membuatmu melakukan segalanya untukku karena hidupmu berada ditangan ini sekarang,”

R’lyeh masih menggeleng.
Tapi sekarang ia menatap penuh kebencian.
Semua rasa bersalah maupun simpati terhadap pria dihadapannya sirna.

“Maukah kau mengatakan kau mencintaiku?”

Bellamy mendekatkan wajahnya kearah kekasihku, menunggu jawaban.
R’lyeh meludahinya, “Kau bukan Tuhan…” Desisnya, “Kau itu Iblis…!”

“Begitu…?” Bellamy tersenyum, membersihkan wajahnya dengan tangan,
Ia memukul R’lyeh. “Untuk balasan yang tadi…” Bellamy menyeringai, “Sekarang, bisa kau ulangi sekali lagi…?”

R’lyeh, tidak menampakkan gentar, bahkan didalam sorot matanya, kebencian tak berkurang sedikitpun,

“Kau Iblis…”

Aku berteriak, Bellamy mengangkat kakinya, ia menginjak jari jari tangan gadis itu,

Nafasku memburu tak karuan, menahan sesak akibat pemandangan yang kulihat, R’lyeh meringis, menahan sakitnya jemari jemarinya yang patah.

“Kau Iblis,” Ia mengulang.

“Kalau begitu kau sudah tahu apa akibatnya membuat Iblis marah.” Lelaki itu… tanpa belas kasihan ia menginjak injak gadisku, Tidak puas sampai disitu, Bellamy memungut sebatang kayu yang berserakan, memukul mukulkannya ketubuh R’lyeh,

Tidak ada satupun suara kesakitan keluar dari mulut R’lyeh,

Setiap kali Bellamy bertanya, ia menjawab dengan makian, kutukan, atau apapun yang menegaskan kebenciannya sekarang, pada orang yang telah menewaskan ayahnya dan menimpakan malapetaka terhadap tanah kelahirannya.

Begitu berulang ulang yang terjadi.
Hanya aku dan Tuhan yang tahu jeritanku saat itu,
Sampai akhirnya suara R'lyeh melemah dan ia tidak bisa mengutuk lagi.
Air mataku tumpah dalam keputusasaan.
Tidak bisa menghentikan apapun yang kulihat, Aku berteriak teriak, memohon agar Bellamy menghentikan perbuatannya,
Tapi mereka tidak menyadari keberadaanku saat ini, seakan akan aku dan mereka berada didunia berbeda dan hanya dilindungi oleh selaput tipis dimana aku bisa melihat apa yang mereka lakukan saat ini dan mereka tidak bisa mendengarku.

“Katakan!” Suara Bellamy menggelegar bak monster, aku terduduk lemas didepan pemandangan berdarah itu. “Katakan sekarang, kau mencintaiku!” dengan tangan berlumuran darah, ia membelai rambut R’lyeh, masih mencoba membujuknya,

R’lyeh tidak menjawab, matanya bergerak gerak tetapi hanya itulah dari bagian tubuhnya yang tersisa yang bisa ia gerakkan sekarang.

“Katakan!” Lalu suara pukulan pukulan benda benda keras lagi… Aku menutup kedua telingaku mencoba menyudahinya, tapi betapapun aku menolak, bayangan dan suara itu menghampiriku, memaksakan informasi untuk masuk kedalam sistem otakku, walaupun aku sendiri tak menginginkannya.

“Kau bodoh!” Teriakku, “Untuk apa kau menahan sakit seperti itu? Katakan saja kau mencintainya…! Selamatkan hidupmu… Berbohonglah…” Aku menutup mataku rapat rapat, “Berbohonglah untuk satu kali ini saja…!”
Beberapa lama aku berteriak teriak, berharap ia mendengarku, kemudian terlihat olehku, R’lyeh membuka bibirnya, terlihat ada gerakan kecil disana, Bellamy menunggu dengan sabar apa yang akan ia katakan.

“Terbakarlah… di Neraka…”

Bellamy meletuskan pistolnya, Aku menengadahkan kepalaku, putus asa.
Akulah… Aku yang menyebabkannya mengalami semua ini… Aku…
Aku yang dengan sukarela menyerahkannya ketangan orang lain, Aku memegangi kepalaku, sakitnya luar biasa, Hati dan ragaku.

“Seharusnya dari awal kau kubunuh saja, Lalu aku hidup senang dengan uang simpanan ayahmu, kaget? Aku tahu semua Rekening ayahmu diluar negeri, aku yang mengurus semuanya,” Bellamy terkekeh, memutar mutar pistol ditangannya, “Kau membuang buang waktuku,”

R’lyeh tergeletak tak berdaya, memegangi bahunya yang berdarah, ia masih hidup, ya, Dengan luka teramat parah disekujur tubuhnya.

“Berikutnya adalah kepalamu, Dengan begitu kau bisa bahagia bersama kekasihmu, pasti dia sudah jadi santapan mayat hidup sekarang,”

Ia akan menembak R’lyeh,
Aku mencoba menghalangi pemandangan itu memasuki pikiranku, Lalu…

“Bukankah kita sudah memiliki perjanjian…? Kau biarkan aku pergi dan kau memiliki kota ini…!”

“Kau bilang kau akan meninggalkan kota ini bersama dengan wanita itu, kenapa sekarang kau berbalik ingin membunuhnya…?” terdengar olehku suara yang tidak asing sama sekali, Aku kembali menengadahkan kepala, “Berarti kau sendiri yang tidak sesuai perjanjian…”

Stast, The Origin.
Tidak mungkin aku salah mengenali wajah rupawan berambut hitam berantakan dan sangat kontras dengan kulit pucatnya itu.
Ia menahan tubuh Bellamy dari belakang, memegangi tangannya, seolah mencoba menghentikan apapun yang akan dilakukan Bellamy.

“Dia milikku! Aku tidak mengingkari apapun! Aku berhak melakukan apapun padanya, kan?” Bellamy tertawa menutupi rasa takut, pun Vampir dibelakangnya ikut tersenyum tanpa terlihat mengancam, ia tetap tidak bisa menyembunyikan kengeriannya dihadapan makhluk itu.

“Hooo…” Stast tersenyum lagi, sesaat kemudian ia menyeringai, tangan sekeras marmer itu menggerakkan tangan Bellamy, pria itu tersentak, panik, menebak nebak apa yang akan dilakukan Stast berikutnya.

Jantungku berdebar kencang.

“Kalau begitu anggap saja aku yang mengingkari janji,” Stast berujar dengan nada kekasih yang mengalah, sekarang ia terlihat lebih sinting daripada siapapun yang kukenal, Aku sudah tahu ia sinting, tapi…

“He-hei! Apa ini…?! Ki-kita sudah sepakat bukan…?” Bellamy berteriak teriak sementara Stast membalikkan senjata itu kearah dirinya sendiri, “Jangan…! Kau-Kumohon… Kau… A-aaghh” Lalu segala ucapannya teredam, Stast menyurukkan moncong pistol kedalam mulut Bellamy,
Raja Undead itu memalingkan wajahnya kesamping, masih dengan posisi yang sama, terkikik geli dan nampak sangat senang sekali.

Ia menarik pemicunya.
Suara letusan senjata api kembali bergema, kemudian, sunyi.

Bellamy terjatuh diatas lantai dingin, diam tak bergerak, dari belakang kepalanya mengalir darah segar.
Stast menyeka wajahnya yang terpercik darah, warna merah mengotori kemeja putihnya.

“Kasihan sekali, anakku…” Kata katanya ditujukan kepada R’lyeh, yang menatap tak berkedip menyaksikan semua kejadian tersebut. “Kau tidak punya harapan hidup lagi… Dengan luka seperti itu… bahkan untuk sepuluh menit kedepan.” Stast mendekati R’lyeh, masih tergolek lemah dilantai, basah oleh genangan darah.
Tapi Stast-alih-alih kehilangan kontrolnya sebagai Undead- ia justru kelihatan tenang,
Seakan akan ia sama sekali tidak berselera terhadap orang sekarat serta darah penjahat terlalu kotor baginya.

Ia menghampiri kekasihku, mengangkat kepala yang terkulai itu dengan amat perlahan, meletakkan diatas pangkuannya sendiri. “Begitulah manusia,” Stast tersenyum sinis, “Mereka selalu memikirkan diri mereka sendiri, tenang saja, setelah ini kau tidak akan merasakan sakit lagi.”

R’ lyeh tidak menjawab, matanya bertemu dengan mata Stast,

“Apa aku boleh mendengar permintaanmu…? Sebelum aku mengakhiri penderitaanmu.” Tanya Stast, lembut.
Aku tahu ia kejam, meskipun ia memang selalu berbicara dengan nada selembut sutera, tetapi kali ini terdengar lain, begitu dalam, dipenuhi oleh simpati, atau mungkin empati… seakan ia dulu juga pernah merasakan bagaimana rasanya dikhianati.

“Ryo…” Pada akhirnya R’lyeh membuka suaranya, seakan ia yakin bahwa ia takkan bertahan lebih lama lagi, “Aku ingin bertemu…”

Stast terdiam, ia menutupi mata R’lyeh dengan tangan seputih salju miliknya, “Aku mengerti, terima kasih…”

Kepalaku disengat rasa sakit luar biasa seakan aku akan buta bersamaan dengan bunyi ‘Krak’ tulang dipatahkan.

Semua bayangan itu lenyap dan hanya menyisakan rasa sakit.



++++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyThu May 30, 2013 5:35 pm

Ryo (Lanjutan)

Bayangan itu pecah berkeping keping didepan mataku,
Semua yang kulihat kembali ke titik awal dimana aku berada sebelumnya,

Pelukan R’lyeh.

Ia Undead, dan ia harus kubunuh… Ia Undead… Tapi… Tapi…

“Bagaimana caramu melakukannya…?” Tanyaku, Aku tidak tahu bagaimana,
Ia memasuki pikiranku begitu saja.
Apakah ini salah satu kemampuan baru para Undead selain gerakan cepat mereka...? Aku tidak habis pikir.
Mereka mampu menunjukkan bagaimana mereka mati, hanya dengan menyentuhmu.
Memperkosa jiwa dan pikiranmu,
Membuatmu tersiksa oleh rasa bersalahmu bahkan kengerianmu sendiri.
Setidaknya itulah yang kurasakan, karena bagaimanapun aku dan R'lyeh pernah berbagi dunia bersama...

R’lyeh diam, tentu saja, dia tidak bisa bicara sekarang, Ia Undead! Berkali kali aku meyakinkan diriku sendiri agar tetap waras.

Undead apa yang bisa mengingat dengan jelas perasaannya?
Bahkan sebelum ia mati…

Undead apa yang masih menyimpan dengan erat ikatannya semasa hidup…?

Undead apa yang mengerti rasa cinta…?


Kurasakan Sulur sulur yang mengikatku semakin erat, tetapi tak ada satupun dari mereka yang menyakitiku,
Seakan memang tidak berniat untuk melakukannya sama sekali.

Tuhan… Permainan apa lagi ini…?
Aku menatap matanya yang sekarang berwarna hitam,
Pisau ditanganku terjatuh.

Salahku,
Andaikan aku tidak melepaskanmu apapun yang terjadi…
Andaikan hancur ditanganpun, kau tetap disampingku…
Kau tidak perlu mati, tidak perlu merasakan sakit.
Dan tidak perlu...Hidup dalam bentuk seperti ini.

“Aku mengerti… R’lyeh selama ini… sangat kesepian… kan…” Bisikku,
Sudahlah…
Jangan banyak berandai andai, Ryo… yang lalu biarlah berlalu.
Disesalipun tak akan pernah bisa kembali lagi...
Aku tersenyum, Mengaktifkan peledak dilenganku.
Jujur saja, Aku kesal, Aku tidak menyangka perjalananku akan terhenti sampai disini,
Ironisnya, Aku sendirilah yang mengakhirinya,
Alih-alih kematian yang terhormat seperti Alexander… Aku masih sempat menertawakan diriku sendiri.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati sendiri, sekali lagi…”

Jadi inilah pilar cahaya yang dilihat Alexander, sesaat sebelum kematiannya,
Aku menutup mata menunggu saatku tiba.

‘Kembalilah dengan selamat.’

Saat aku menutup mata,
Aku cukup kaget mendapati bahwa bukan suara R’lyeh yang bergema ditelingaku.

'Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati, Bodoh!'


+++
Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyFri May 31, 2013 12:49 pm

Ari.


Suara ledakan memekakkan telinga bercampur dengan bunyi gemuruh angin ribut yang tiba tiba saja datang, Langit langit katedral hancur berantakan, Dan kini siapapun bisa melihat bintang bintang memenuhi langit malam…

Sekitar 8 ekor Chimera berkepala kambing dengan tubuh manusia dan lengan panjang yang diseret mendobrak masuk.
Makhluk ini besar berotot, tingginya sekitar 5 meter, kulit mereka mengilat berminyak dengan rambut panjang menutupi sebagian wajah mereka.
Aku bisa melihat dengan jelas sayap kelelawar dipunggung mereka mengepak kejam.
Mereka membawa kapak besar dipenuhi noda darah mengering yang menimbulkan bunyi mengerikan saat mereka menyeretnya diatas tanah.

“Aryanov… Gabriel…” Aku mendengar namaku disebut.

Apa ini? Undead bisa bicara? Tidak mungkin…
Sampai sejauh apa Tasuku telah mengembangkan ciptaan ciptaannya…
Aku benar kan...? Tidak ada gunanya harapan harapan itu.
Jika itu dia, jika itu Tasuku.

Maka ia mampu melakukan apa saja.

Karena aku tahu dia, aku mengerti bagaimana caranya berpikir.
Dia tipe orang yang tidak akan berhenti sampai berhasil.
Karenanya, jika itu adalah dia, jika orang sepertinya yang menjadi musuh dunia ini...
Maka tidak ada, tidak akan ada harapan lagi.

Semua orang mundur mendekati Altar,
Seekor Chimera berlari kearah kami, Gerakannya cepat!
Dengan kapaknya ia menebas secara sembarangan ditengah kerumunan, Segera saja tempat suci itu berubah menjadi arena pembantaian maha biadab.
Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Chimera chimera itu membantai para survivor yang tersisa, apalagi ada beberapa diantara mereka yang sudah terluka karena tertimpa reruntuhan bangunan dan tidak punya kesempatan untuk melarikan diri.

Chimera itu berhasil membuka jalan dan menerjang kearahku.
Baik, sakitnya pasti hanya sebentar saja,
Tidak apa apa, Ari, setelah ini kau tidak akan merasakan apa apa lagi...

Ryo bodoh percaya pada mimpi... dan akupun akan menjadi bodoh jika percaya padanya.
Terlalu naif berpegang pada sesuatu seperti mimpi dan harapan didunia ini, sementara kenyataan jauh lebih pahit.
Apalagi... sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Aku sendirian, bisa apa?
Aku menutup mataku.
Akhir yang buruk atau baik, aku tidak peduli.

Terdengar bunyi ledakan, Spontan aku membuka mata,
sebelum makhluk itu sempat menyentuhku Otaknya sudah berhamburan terkena tembakan anggota Paladin dari atas heli.
Pasukan bersenjata dengan sigap menembaki para Undead kelaparan itu.
Mataku terbelalak.

Paladin telah datang,
Mustahil... Ryo berhasil.

Dalam sekejap, disekelilingku telah dipenuhi para prajurit, bertarung sambil menyelamatkan, melindungi dan bertempur.
Mereka berusaha keras menunaikan tugasnya bahkan meskipun sesuatu yang mati matian mereka perjuangkan sama sekali tidak mereka kenal.
Sensasi hangat dibahuku menyadarkanku, Aku menoleh kesamping, Pastor tua berwajah ramah disampingku tersenyum penuh arti sambil menepuk bahuku.

Ketulusannya telah membuktikan keyakinannya.
Ia mempercayai Ryo.
Yang bahkan aku saja sebagai sahabat, Tidak memiliki keyakinan apapun lagi…

Pasukan Paladin membuat jalan untuk dilalui agar para survivor bisa keluar dari Stephansdom yang hanya tinggal puing puing ini.

“Tuan Aryanov, Anda tidak apa apa?” Tanya salah seorang prajurit padaku,
Aku setengah linglung setengah mengangguk,
Kemudian Prajurit itu menawarkan pada pendeta disampingku, “Cepatlah jalan, Father, Kami akan melindungi kalian,”

Tetapi Father Joseph malah mengangsurkan anak anak yang sedari tadi terus bersembunyi dibelakang punggungnya, “Bawalah mereka juga,” Pintanya,

“Hanya satu orang dewasa yang dituntun, Bapa, Atau dua tiga anak anak, Tidak bisa melindungi kalian sekaligus…” Keluh prajurit itu.

“Kalau begitu, Bawalah mereka lebih dahulu, Aku tidak akan pergi sebelum semua jemaatku naik,”

Prajurit itu mengangguk menuruti kata kata Pendeta tua dihadapannya.
Aku hanya mendengarkan percakapan mereka setengah setengah.
Mataku mencari cari.

Bulu bulu burung berwarna hitam berjatuhan,
Aku menengadah keatas langit, masih agak pening,
Sayap… Hitam…

Perasaanku benar benar tidak enak sekarang,
Aku tidak melihat Ryo dimanapun.

Aku mencari dan tetap tidak bisa menemukannya.




+++



Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptyFri May 31, 2013 12:50 pm

Ari. (Lanjutan)

Itu tidak mungkin.
Ia berjanji bukan? Ya, ia berjanji akan kembali.
Jangan membuat janji yang tidak bisa kau tepati, bodoh!

Itu tidak mungkin, Ari.
Semua yang kau harapkan kembali sudah lenyap.
Bahkan sahabatmu sudah mati.

Tidak... Dia tidak boleh mati... bodoh... tidak boleh mati.
Seluruh tubuhku gemetar memikirkan kemungkinan terburuk.

“Gabriel! Awas!”
Aku tidak melihat lagi, Rasanya begitu cepat, Aku hanya merasakan dorongan begitu kuat membuatku terjerembab jatuh.
Sakit… Tapi tidak terlalu kurasakan, Susah payah aku bangun, Membalikkan badan untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi dibelakangku.

Yang ada hanya Undead.
Gagak besar… Aku melihat ia menancapkan paruhnya pada sesuatu yang lemah dan ringkih,
Sesuatu yang sekejap tadi melindungiku dari serangan yang nyaris saja merenggut nyawaku,
Darah dengan segera merembes keluar membasahi lantai batu.

Father Joseph jatuh tepat didepan mataku.



++++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
DeathMaster
Admin
DeathMaster


Jumlah posting : 264
Power : 285
Blood You Give Me : 0
Join date : 27.11.10
Lokasi : -

Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 EmptySun Jul 14, 2013 3:44 am

Ryo Kisaragi.


_________________________
___________________

Terakhir kali aku terbangun dalam keadaan sekarat begini, adalah hari ketika aku melihat punggung ayahku lagi…

Ya, pada hari itu yang menyelamatkanku adalah ayah…
Berkali kali, ayah…

Tapi hari ini, tidak ada ayah yang senantiasa menjaga anaknya,
Aku tidak mungkin terbangun lagi seperti dulu.
Aku selama ini selalu selamat dengan cara ajaib entah bagaimana, aku mulai merasa congkak sebagai pria beruntung.
Aku ragu apakah keberuntungan tersebut masih menyertaiku pada saat aku sendirilah yang justru mengundang kesialan untuk datang.

Suara ledakan keras menulikan indera pendengaranku, dalam sekejap aku tidak dapat merasakan apapun lagi,


'Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati, bodoh...!'

Suara siapa itu...?

Cemas, aku membuka mataku.


+++


Putih... semua yang kulihat disekelilingku berwarna putih,
Aku merasa berjalan jalan tanpa arah dan tujuan.

"Datang juga, kau, si bodoh..."

Aku menoleh kebelakang, terkejut mendapati sosok kurus berambut silver dihadapanku, Ia mengenakan setelan putih, beda sekali dengan ia yang biasanya berpakaian serba hitam, Tampaknya ia sedang membaca kitab sucinya. "Yudas...?" Aku terbelalak kaget.

Yudas, masih berlagak tidak melihatku, berbicara sambil membalik balik halaman bukunya.

"Kau... Apa aku sudah mati...?" Tanyaku, melihat kearah tanganku sendiri,
Yudas terkekeh, Dengan sebelah tangan ia mengibas ngibas kesembarangan arah, membuat gerakan seperti mengusir lalat.

"Rasanya aku mendengar seseorang yang bicara disini," Katanya menyebalkan.
Aku berteriak sambil menunjuknya.

"Dasar pastur sial!" Makiku, "Kau sudah mati tetap saja menyebalkan!"

"Jangan menjahilinya, Yudas!" Berikutnya aku kembali mendengar suara yang kukenali. "Membuat orang lain kesal itu kebiasaan yang buruk sekali."

"Eva," Ujarku,
Betapa kagetnya aku, menyadari dibalik siapa Eva bersembunyi sekarang.
Sosok berperawakan tinggi besar yang kukenali sebagai
"Alexander Boranichov..."

Alexander tersenyum arif kepadaku, "Apa sekarang kau sudah berani memanggilku hanya dengan nama saja?"

Aku terkesiap, "Sir...!" Ralatku cepat, "Saya minta maaf!"

Betapa leganya aku melihat Alexander tertawa lepas.
"Apa kabarmu...? Kurasa, jika kau berakhir disini, berarti ada sesuatu yang tidak begitu menyenangkan terjadi, hm?"

Menunduk, aku menyembunyikan wajahku, andaikan aku bisa menghilang saja saat ini, aku malu dan sedih sekali mengakuinya.

"Yah... sejujurnya..." Aku mengepalkan tangan, "Ada banyak hal yang tak sempat kulakukan..."

"Urusanmu mau masuk neraka atau apa, tapi kau tidak bisa mati begitu saja."

Nyaris tersedak udara yang memutar diperutku, mendengar sindiran Yudas, "Kau...Tahu...?"

Yudas mengangkat bahunya, "Kami selalu mengawasimu disini."

"Kenapa...? Kau tampak sedih," Eva tersenyum lembut, aku belum pernah melihat mata Evangelina lebih hidup dari sekarang sebelumnya, betapa aku merasakan energi hangat mengalir dipembuluh darahku saat aku bertatapan langsung dengan orbs keperakan yang cantik itu.

"Kau bisa melihatku?" tanyaku, terpesona.

"Kita semua bisa disini," Eva mengerling, "Kematian adalah pembebasan, jika kau mau memahami artinya,"

"Tapi bagi sebagian orang, kematian juga merupakan salah satu jalan untuk melarikan diri," Yudas menyela.

Aku...? Melarikan diri dari apa?

Yudas menggerutu pelan seakan bisa melihat kedalam pikiranku,

"Banyak... Dari dunia yang kejam, dari beban yang menghimpit, juga dari rasa bersalahmu..."

...Rasa bersalah...

"Pulanglah," Alexander berujar. "Masih ada janji yang harus kau tepati."

Janji...? Aku terperangah.

"Ini adalah perintahku yang terakhir," Saat itu aku bersedia bersumpah bahwa aku melihat senyuman Alexander nampak begitu sedih.

Rasa bersalahku.

"Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati!"
Suara itu lagi...

Ari...?

Aku tersenyum mengejek.
Bajingan cengeng sok kuat itu...
Matipun aku takkan tenang karena meninggalkannya sendirian disana.
Sudah kuduga, dia takkan bisa apa apa tanpa aku.

"Sudah lihat?" Yudas melirikku jijik, "Pacarmu membutuhkanmu,"

"Apa aku bebas menghajarmu sampai mati sekarang...? Kau kan' sudah mati, sah sah saja kan?" Balasku.

"Coba saja," Yudas mengacungkan jari tengahnya padaku dengan ekspresi menghina, "Tapi itu harus menunggu,"

Meskipun demikian kenapa aku merasa rindu…?
Samar samar aku mendengar suara lain, bukan suara...

Sebuah Doa.

'Kembalilah dengan selamat...'

Siapa itu...? siapa yang begitu mengharapkan aku hidup melebihi Ari sekalipun...?
Sampai sampai suaranya begitu menyayat hatiku.
Seseorang sedang berdoa untuk kehidupan serta keselamatanku jauh disana...
Siapa?

Aku sudah akan membuka mulutku untuk bertanya,
tetapi teman temanku sudah melangkah pergi kearah sebuah cahaya menyilaukan yang nyaris menutupi pandanganku, menjauh dariku.

"Hei...! Kalian mau kemana?" Aku berteriak, "Masih ada hal yang..."

"Mikia dan Ari...," Aku masih bisa mendengar Alexander berkata, "Kutitipkan padamu."

Mikia...?
Mikia, Ya, Mikia...
Aku berpikir sejenak dalam diam, otakku berusaha keras mencerna kata kata penuh misteri.
Dalam sekejab aku telah mendapat jawaban.
Aku tertawa setengah takjub, "Sebagai gantinya, lain kali boleh aku memanggilmu dengan nama saja, Sir?"

Alexander Boranitchov melambai kebelakang, terus berjalan diikuti Yudas dan Eva.

"Ya, Lain kali, saat kita melakukan reuni kedua ditempat ini..."



++++


Kembali Ke Atas Go down
https://deathmaster.indonesianforum.net
Sponsored content





Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty
PostSubyek: Re: Descendant Of The Death Master   Descendant Of The Death Master - Page 6 Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Descendant Of The Death Master
Kembali Ke Atas 
Halaman 6 dari 10Pilih halaman : Previous  1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10  Next

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Descendant Of The DeathMaster :: DESIRE... :: Chronicles...-
Navigasi: